Pov Selly.
1 minggu berlalu. Aron bahkan masih belum sadarkan dirinya. Dia masih di rumah Alex. Tetapi, Selly demi menjaga semua barang Aron. Ayahnya dan dirinya tinggal di rumah Aron. Tapi, dia mematikan jika semuanya masih utuh. Saat malam, mereka pulang ke rumahnya. Karena tak mau tinggal berada di sana. Apalagi jika ada yang kehilangan.
Semua sudah berlalu. Saat suasana semakin membaik. Sudah beberapa hari juga dia tidak ada yang mengganggu. Saat Zen ayah Selly menganggap jika semua sudah berakhir. Tapi, mereka belum tahu. Jika di balik semua masih ada yang bergerak. Tanpa ada yang menunjukan jati dirinya. Mereka bergerak di balik layar.
"Ayah, apa Aron belum juga bangun." tanya Selly. Dia menguntupkan bibirnya. Mengerjapkan kedua matanya mencari jawaban dari ayahnya. Kedua mata itu terlihat sayu.
Jemari tangan Zen membelai lembut rambut anaknya. "Sayang, kita akan bangun nanti jika semua sudah aman. Sekarang, jangan lagi bicara tentang Aron. Kasihan dia. Pasti banyak sekali orang yang mengincar dia."
Selly menganggukan kepalanya. "Kenapa?" tanya Selly.
"Suatu saat Kamu pasti akan tahu. Apa alasan aku ayah mengatakan ini. Dan, kamu juga harus hati-hati. Jika suatu saat ayah tidak ada. Selly juga harus jaga diri. Tidak boleh gegabah. Suatu saat Selly akan bertemu dengan orang-orang hebat seperti Aron. Dan, apa yang Selly lakukan. Selly harus yakin. Jangan sampai Selly menyerah dengan kehidupan yang kejam." ucap Ayahnya. Selly merasa dirinya ada yang aneh dengan ucapan ayahnya.
"Ayah kenapa bicara seakan ayah akan meninggalkan Selly?" tanya Selly.
"Anak ayah sudah besar. Selly harus jaga diri. Suatu saat Selly tahu jika mengalami kejamnya kehidupan. Selly juga harus bekerja. Jika apa kelebihan yang Selly miliki gunakan dengan baik Jangan gunakan itu untuk kejahatan." Zen duduk jongkok di depan Selly. Dia memegang kedua tangannya Selly. Tangan kanan menyentuh lembut lembut pipi Selly.
"Selly, ayah tahu apa kelebihan Selly. Ayah ingin Selly membantu orang yang membutuhkan nantinya. Gunakan dengan baik kekuatan yang Selly miliki. Miliki sekarang belum berkembang. suatu saat tanyakan pada Aron. Dia pasti membantu kamu. Dia orang baik. Ayah percaya padanya. Tapi, tolong sembunyikan semua kekuatan yang kamu miliki. Ayah tidak mau jika kamu kenapa-napa." jelas Zen. Dia berbicara bijak pada anaknya. Suara lembut Zen melambangkan sebuah kebahagiaan. Gemuruh perasaan Selly terasa campur aduk. Dia memeluk tubuh Zen. Wajahnya terlihat bersedih. Selly pandai sekali menyembunyikan kesedihannya. Dia mengusap punggung Zen. Mencoba untuk tetap tenang. Meski hatinya merasa ada yang aneh.
Pikirannya terasa sangat kacau. Ingin sekali menunjukan jati dirinya segera. Cara menggunakan kekuatannya. Untuk mencari tahu apa yang dipikirkan ayahnya.
Seandainya aku jadi Aron. Aku bisa membaca pikiran ayahnya. Kesedihan yang dia rasakan sekarang. Ingin sekali dia berbagai kesedihan dengannya.
"Baiklah! Sekarang ayo kita pulang!" ucap Zen.
"Iya, yah!" Selly tersenyum simpul.
**
Suasana semakin mencengkeram Jalanan terasa sangat sunyi. Penerangan juga tidak terlalu terang. hanya lampu redup menerangi jalan. Lalu lalang mobil atau bahkan montor pun tidak terlihat di sana. Hanya beberapa orang yang melintas. Dan, itu juga satu dua orang. Mereka berjalan dengan langkah cepat. Suasana gelapnya malam yang membuat nuansa menyenangkan sendiri bagi Selly. Dia merasa hanya ada dirinya dan Ayahnya. Hidupnya seketika damai.
Saat pulang dari rumah Aron, mereka jalan berdua dengan santainya. Tanpa disadari di tengah gelapnya malam di pinggiran kota itu. Ada seseorang yang mengincar mereka dari jauh. Sebuah gedung pencakar langit. Tepat dari atas gedung itu. Di tengah gelapnya malam seorang menggunakan pakaian hitam pekat. Membuat pandangan mata manusia tak akan bisa melihat sampai ke puncak gedung. Dengan penerangan yang sama sekali tidak ada. Selly terus berjalan sembari menyanyi, menggandeng tangan ayahnya.
"Ayah… Boleh tanya lagi?" tanya Selly.
"Boleh!" ucap Zen. "Memangnya kamu mau tanya apa?"
"Aron sekarang sudah aman?" Selly mengangkat kepalanya. Melihat ayahnya yang berdiri di sampingnya. Meski tinggi mereka berjarak sangat jauh. Selly tubuh tidak terlalu tinggi. Meski di usianya yang masih 13 tahun. Mendengar kabar baik dari ayahnya Selly tersenyum girang. Dia melompat bahagia. Menarik-narik tangan ayahnya.
"Jangan pernah lagi tanya itu. Sekarang, aku sudah jawab sekarang. Aku takut jika ada yang mendengar percakapan kita." ucap Zen.
"Iya.. Yah!" Selly menganggukan kepalanya pelan. Dia selalu menurut apa yang ayahnya katakan. Meski Selly tidak pernah tahu jika dia bukan anak kandungnya.
"Kamu sudah tahu siapa Aron?"
"Ayah bilang jika dia teman aku. Jadi, aku merasa semua kata ayah benar. Sapa tahu dia memang orang baik."
"Iya, dia sangat baik!" mereka terus berjalan menembus jalanan yang sangat gelap. Beberapa sampah yang sudah penuh dan berantakan di pinggir jalan. Ada pagar besi yang sudah perak keranda. Judul yang berkeliaran mencari makan dari tempat sampah satu ke tempat sampah lainya. Mereka berjalan tanpa curiga sama sekali.
“Ayah, hari ini aku ingin tidur nyenyak. Apalagi Aron teman Selly sekarang dia sudah aman.” Kata Selly, mengangkat kepalanya menatap ke atas. Kedua matanya berkerut saat dia melihat ada yang bergerak di gedung atas tepat di lantai paling atas. Selly menyulitkan ujung matanya. Pandangan matanya bisa melihat jelas siapa di sana. Meski gedung itu sangat tinggi. Mustahil bagi manusia biasa menatap ke atas dengan pandangan yang jauh. Penerangan yang sama sekali tidak ada. Baju gelap membuat penyamaran semakain sempurna saat malam hari. Selly mengerutkan kedua matanya. Mengamati siapa yang ada di sana. Gelapnya gedung itu menghalangi pandangan matanya.
“Ayah..” Selly, menarik lengan baju ayahnya.
“Ada apa?” Tanya ayahnya. Menundukkan kepalanya.
“Itu di atas apa?” Tanya Selly menunjuk ke atas kedung. Ayahnya ,mengangkat kepalanya. Belum sempat menatap ke atas. Suara tembakan terdengar begitu keras. Tubuh Zen terasa kaku seketika. Dia menelan ludahnya. Melirik ke arah Anaknya. Peluru itu berhasil menembus dadanya
Doorr… Dorr.
Suara tembakan bertubi-tubi dari jarak jauh. Spontan mengejutkan Selly.
"A--ayah." Suara Selly tiba-tiba terasa sangat berat. Seolah baru saja dirinya menelan batu sangat keras. Sekujur tubuhnya gemetar, wajahnya bahkan terlihat panik bibir sedikit terbuka, dan bibir bawah gemetar. Menyaksikan apa.yang terjadi di depannya. Darah segar menetes jatuh ke aspal di bawahnya. m*****i baju biru yang di pakai ayahnya.
Seketika ayahnya terdiam, tangan kanan memegang dadanya. Penembak itu sengaja mengincar dadanya. Dia tidak berani menembak kepala yang semula sudah mengarah ke kepala ayah Selly. Selly spontan mengangkat kepalanya. Dia mengamati wajah orang yang menembak. Merasa jelas dia menyimpannya di memori otaknya. Napas Selly terasa sangat berat. Berasa dia baru saja berlari beberapa kilometer.
Dua tembakan mengarah tepat di d**a Zen. Cairan kental berwarna merah itu mulai keluar dari dadanya. Napasnya mulai tersedak, sesak, bibir setengah terbuka tangan kiri memegang erat tangan anaknya Selly. Tubuh ayahnya perlahan mulai melemah. Dia terjatuh tak berdaya di aspal. Kedua mata menatap ke arah Selly. Tangan yang sudah ternoda dengan cairan kental itu menyentuh pipi putih seperti salju milik Selly.
"Ingat apa yang ayah katakan tadi. Kamu harus jaga diri." suara ayahnya terdengar semakin melemah. Tangan mulai terjatuh tepat di samping tubuhnya yang kini sudah lemas. Kedua mata perlahan mulai tertutup. Dia menghembuskan napas.e terakhirnya. Dalam pelukan anaknya.
“Maafin ayah, sekarang pergilah! Selamatkan kamu sendiri. Jangan biarkan mereka menangkapmu. Aku tidak ingin kamu
"Ayah!" teriak Selly.
“Ayah.. Ayah kenapa?” Tanya Selly. "Ayah.. Ayah jangan bercanda. Ayah ini tidak lucu. Ayah tolong bangunlah!" Menarik terus tangannya tanpa henti. Wajahnya terlihat mulai panik saat darah segar terus keluar dari tubuh ayahnya, tangan yang semula bersih seketika mulai ternoda dengan warna merah. Selly membuka bibirnya, napasnya mulai tak beraturan. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya gemetar, menatap tangannya sendiri.
“Ayah… Ayah… Ayah kenapa? Apa yang terjadi?” jemari tangan Selly gemetar. Dia menatap ayahnya, tangan kanan memegang d**a ayahnya. Kedua tangan ayahnya berlumuran darah, dia memegang pipi putih anaknya, hingga membekaskan noda merah di wajahnya.
Air mata mulai berdetak begitu derasnya jatuh membasahi pipinya. "Ayah…." teriak Selly. memeluk erat tubuh ayahnya. "Ayah.. Bangun! Ayah, Selly janji Selly akan menjaga ayah. Ayah.." teriak Selly. Dia menangis tersedu-sedu. sampai dadanya terasa sangat sesak. Bahkan hatinya merasa bagaikan dihantam batu besar saat orang yang sangat dia cintai meninggalkan dirinya hidup sendiri di dunia ini.
Selly meletakkan telinga kanan nya di d**a Zen. Dia mencoba mendengarkan detak jantungnya. Tanpa pedulikan darah yang sudah m*****i semua baju Zen. Merah merona. Aroma bau arus yang menyeruak masuk ke dalam penciumannya. Selly mengerutkan hidungnya. Dia mengangkat kepalanya. Memompa d**a ayahnya berkqli-kali.
"Ayah.. bangunlah! Ayah, kenapa jantung ayah tidak berdetak. Apa ayah capek?"
"Ayah, Selly minta maaf. Selly terlalu membuat ayah kecapekan. Selly yang membuat ayah bekerja seharian tanpa pernah pulang sore hanya demi Selly." Selly berteriak sangat keras.
"Ayah…." Suara itu berdengung ke seluruh penjuru jalan. Wajahnya terlihat begitu menegangkan. Yeri memeluk tubuh lemas ayahnya.
"Ayah.. Bangunlah!" ucap Selly dengan bjbir gemetar. Tangisannga semakain keras. Air mata itu jatuh menet3s tepat di tangan ayahnya yangnmaish memegang d**a yang terus mengeluarkan cairan merah kental dengan bau khas sedikit arus, membaut Selly terus mengerutkan hidungnya. Dia tak peduli lagi baunya. Selly terus memeluk tubuh Ayahnya.
"Ayah…"
"Ayah bangun! Ayah, jangan tinggalin Selly. Ayah, Selly janji akan nurut apa kata ayah. Jemari tangan Selly tak sengaja menyentuh cairan kental berwarna merah sedikit kehitaman.
“Ini.. Ini darah?” Tanya Selly, napasnya mulai tersengal-sengal. Menelan ludahnya berkali-kali hingga melegakan tenggorokannya yang terasa sangat kering.
"Ayah…." teriak Selly sangat keras. Pita suara kecil wanita remaja itu terdengar menggelar di penjuru kota. Gadis kecil yang terus memeluk tubuhbayahmya. Dia meluapkan semua emosi hati dan kesedihannya. Pikirannya masih teringat jelas wajah seorang laki-laki yang menembak ayahnya.
"Aku akan membalasnya. Suatu hari. Aku akan mencarinya. Membunuhnya sama seperi dia membunuh ayah." Selly mengangkat kepalanya. Tatapan mata coklat dan biru itu mulai menajam. Aura mencengkeram ke arah menyelimuti hati Selly. Kedua alis menyatu bibir menyipit dan pandangan mata menajam kedepan. Selly mencengkeram tubuh tak berdaya ayahnya. Aura balas dendam mulai merasuk keseluruh darahnya. Hatinya bergejolak. Wajah Selly mulai memerah, menahan amarah yang mulai membakar sekujur tubuhnya.
Darah ayahnya terus mengalir mengenal sungai. Terlihat gampangan cairan merah kental kehitaman itu di jalan sekitar tubuh ayahnya.
"Ayah, aku bersumpah akan membalas apa yang mereka lakukan. Aku janji. Aku akan mengingat semuanya. Semua.. Memberantas mereka semua." ucap begitu lantang Selly. tubuhnya perlahan terasa snagat lemas. Bibirnya memucat. Tangan yang semula memeras mulai merenggang. Tubuh yang duduk tegap seolah lunglai tanpa tulang. Pandangan mata mulai terlihat samar-samar. Amarah yang merasuk dirinya membaut dadanya terasa begitu sesak. Dia ingin berteriak, berteriak menjerit menceritakan rasa sakit hatinya.
Selly menyeka air mata yang sudah membasahi pipinya dengan punggung tangan. Dia terjatuh tak sadarkan dirinta tepat di samping ayahnya. Dia tak sanggup menahan rasa sakit hatinya.
**
Keesokan harinya. Selly hanya berdiam diri di rumahnya. Tatapan matanya terlihat sangat kosong. Dia memeluk kedua kakinya. Melihat banyak ornag yang menjenguknya. Merasa kasihan dengannya hang hanya tinggal sendiri. Ada yang memberikan sebagian uangnya. Ada yang memberikan makanan dan buah-buahan. di suasana yang masih berkabung. Selly merasa tak mau menatap makanan sama sekali. Bahkan kedua mata itu seakan sangat enggak meliriknua.
Sudah dua puluh empat jam. Dia terus melamun. Melihat kerumunan orang banyak terasa napasnya terasa sangat sesak. Pikiran dia mulai terbayang saat pertama kali ayahnya tertembak.
Bibir Selly tertutup sangat rapat. Dia menolak untuk bicara. Ada tetangga yang bertanya padanya. Dia hanya menjawab dengam celengan atau Anggukkan. Tatapan mata bahkan tidak melihat siapa yang berbicara di depannya. Dia hidup, terasa selama jiwanya sudah mati. Wajahnya sayu, dia seolah berjalan di tepian sungai. Dengan mata sayu, tubuh bergemulai. Berkeliling mendengarkan desiran angin yang menerpa tubuhnya. Jiwanya melayang tanpa arah.
Tetapi itu hanya bayangannya sesaat. Selly terus menundukkan kepalanya. Kali ini dia menyembunyikan wajahnya di antara kedua pahanya.
Isakan tangis terdengar sangat keras. Hanya dia sendiri berada di rumah itu sendiri. Sunyi, sepi, hanya bayangan wajah ayahnya saat tersenyum. Dia mengingat semua kenangan bersama.
"Ayah!" ucap Selly. Tubuhnya terasa sangat lemas.
"Maafkan Selly. Maafkan Selly yang terlambat memberi tahu ayah. Maafkan Selly." ucap Selly dengan bibir gemetar.