"Gimana dok keadaan dia?" tanya Alex panik. Dia melihat Aron yang masih terbaring di ranjang miliknya. Bahkan, dokter masih melihat keadaannya sepenuhnya. Dengan peralatan kesalahan yang dibawa olehnya.
Setelah beberapa menit kondisi. Dokter mengakhiri pemeriksaannya. Dia segera memasang alat-alat. Dan, menyiapkan beberapa hal yang harus dilakukan.
"untung sana kamu cepat bawa dia?" ucap Dokter itu menghela napasnya lega.
"Memangnya kenapa, dok?" tanya Alex bingung.
"Dia terkena serangan jantung. Bahkan jantungnya tidak berdetak secara normal. Sekarang, aku harus pasangkan alat bantu. Racun di tubuhnya Bahkan hampir saja menyebar sempurna. Wajahnya juga sudah mulai membuat. dia telat sedikit saja pasti tidak akan bisa diselamatkan." jelas sang dokter. Alex mendengarkan dengan jelas. Dia menarik bagian dalam bibir bawahnya ke dalam sela-sela giginya.
"Gimana bisa!" ucap Alex.
"Saya juga tidak tahu. Ini kejadian sangat langka. Bahkan, aliran darahnya juga berubah drastis."
"Apa jangan-jangan?" Alex mengingat sesuatu.
"Memangnya kamu tahu sesuatu?" saut sang dokter.
"Tidak, Dok. Hanya saja aku ingat teman aku." ucap Alex beralasan. di tidak bisa katakan ini semua pada dokter itu. Jika memang dibiarkan begitu saja. Semua akan tahu, bahkan Angel atau musuh lainya akan tahu bagaimana Aron.
"Saya akan periksa lagi. Dan, menghilangkan racun yang menyebar. Sebelum, tambah parah dan menguasai tubuhnya."
"Baiklah! Lakukan saja yang terbaik." ucap Alex.
"Gimana?" sambung Zen.
"Ternyata sesuai dengan dugaanku. Mereka pasti mencoba dibunuh oleh seseorang. Dan, dalangnya sudah pasti siapa dia."Setelah itu, aku akan membuat orang yang berbuat masalah dengan Aron. Menerima akibatnya." geram Alex. Dia merasa sekarang, harus mengambil posisi Brian untuk Sementara. Laki-laki itu bahkan tidak ada kabar lagi. Dia masih hidup atau sudah meninggal. Atau, mereka pergi ke tempat yang aman.
"Apa saya harus bantu?" tanya Zen.
"Tidak perlu. Ini berbahaya. Lebih baik kamu ajak anak kamu ke tempat yang aman. jangan sampai ada orang yang tahu sial dia." Alex melirik ke arah anak remaja yang terlihat ketakutan saat menatapnya. Dia menarik lengan tangan ayahnya. Memeluk tangan Ayahnya sembari bersembunyi di belakangnya.
"tidak usah takut! Aku tidak akan melukaimu." ucap Alex. Menundukkan badannya, mengusap ujung kepalanya lembut.
"Jaga diri kamu. Jaga ayah kamu." ucap Alex. "Kamu punya kelebihan mata yang sangat indah. Sangat langka bola mata seperti ini. Dua warna yang berbeda. Dan, ini terlihat menarik. Warna yang tidak pernah ada yang pernah memilikinya." Alex terus menatap kedua mata itu. Selnya yang merasa takut, dia bersembunyi di balik punggung ayahnya.
"Selly, dia orang baik. Kamu tenang saja. Tidak akan ada yang terluka lagi di tubuhmu." ucap Zen ayahnya mencoba menasehati Selly.
Selly hanya menggelengkan kepalanya. Dia terus mencengkram pinggang ayahnya. "Gak mau!" ucap Selly.
"Gimana kata dokter soal anak kamu?" tanya Alex.
"Dia tidak kenapa-naoa, hanya saja memang mengalami amnesia sesaat. Tetapi, anehnya. Dia masih ingat aku. Padahal, dokter menyatakan amnesia dia total. Bahkan tidak ada ingatan pertemuan atau teman siapa sana dalam dirinya." jelas Zen. Dia menunduk, mengusap air mata yang entah kenapa bisa menetes membasahi pipinya.
"Aku pamit pulang dulu." ucap Zen.
"Apa perlu aku antarkan kalian pulang."
"Tidak usah!" tegas Zen. "Aku bisa naik taksi."
"Sudahlah, biarkan sopir aku yang antarkan kalian pulang." ucap Alex.
"Tapi, aku tidak mau merepotkanmu!"
"Aku tidak merasa di repotkan sama sekali!" Alex tersenyum seramah mungkin.
**
Di sebuah rumah yang terlalu gak tau. Rumah dengan dua gedung yangbterkuhatbsangatbgepa. Seperti yang ada di film horor drakula. Banyak sekali burung-burung berwarna hitam bertentangan di atas rumah dengan atap yang sedikit lancip berwarna merah tua. Rumah yang tidak terawat di depannya. Banyak sekali dedaunan kering yang menumpuk di halaman rumahnya. Dari kejauhan terlihat seperti rumahnya tak berpenghuni.
Jaring laba laba merayap di setiap tiang rumah. dari yang satu ke lainya. Bahkan, dinding rumah sudah terlihat berlumur. Berwarna kehijauan sedikit basah. Lantai sudah dipenuhi debu yang menebal beberapa senti. Hanya beberapa mobil tua terparkir di depan rumah itu. Pagar yang terlihat sudah mulai rapuh sedikit roboh.
Di sebuah ruangan yang kimin. Sekali penerangan. Seseorang sedang duduk menikmati secangkir teh hangat di atas meja. Sembari menatap ke dinding kaca. Pandangan di luar yang terlihat sedikit horor tak membuat dia merasa takut. Dia suka hidup di tempat seperti itu. Agar tidak ada yang tahu keberadaannya.
kraak … Krak…
Suara burung gagal membuat nuansa rumah itu semakin horor. Buru roma mulai berdiri saat memasuki rumah yang terlihat udara tak sehat di sekitarnya. Berbeda dengan seorang prof yang sudah menginjak kepala 6. Dia masih tinggal di rumah yang menyeramkan. Rumah yang dihiasi lukisan hantu yang berada di mana-mana. Prof Albern. Dia segera membuat suasana rumah menjadi horor. Agar tidak ada yang berani masuk ke sana.
Tap.. Tap.. Tap.
Suara tetap langkah kaki yang terdengar sangat berat saat melangkah itu membuat Prof Albern tertegun sejenak. Dia tersenyum tipis tanpa menoleh ke belakang. Sepertinya dia tahu segalanya. Tahu siapa yang ada di belakangnya. Apa yang akan dibicarakan.
Seorang laki-laki menganggap jemari tangannya. Menggantung di antara kedua pahanya. Sembari menundukkan kepalanya. Dia merasa takut, tubuhnya yang tak sedekat dulu. Tidak membuat dirinya terus berhenti mengambil pada prof Albern.
"Prof, maaf saya mengganggu waktu anda." ucap seorang laki-laki yang sudah terlihat tua. Bahkan rambut panjangnya sudah mulai memutih dengan sedikit keabadian. Antara warna hitam yang perlahan memutar. Kulit yang sedikit kendur dan berkerut. Dia berjalan dengan hati-hati mendekati seorang profesor yang bisa seukuran dengannya.
"Kamu sudah menciptakan makhluk apa?" tanya sang profesor itu.
"Saya sudah mengirimkan pesan pada profesor Herlin"
"Soal apa?" tanya Prof Albert.
"Dia membuat ulah lagi di kota. Dia yang ingin terus mengalahkan Verlos. Melakukan berbagai cara untuk mengambil anak Verlos. Dan melakukan uji coba." Prof Albern memutar duduknya, menatap ke arah laki-laki paruh baya di depannya. Mungkin masih kepantasan dengannya.
Prof Albern. Dia menghela napasnya. Duduk senyaman mungkin. Menikmati minuman teh hangat yang ada di cangkir dalam genggaman tangan kanannya. Pandangan mata tertuju pada seorang di depannya.
"Dia bertindak terlalu gegabah. Buat apa juga melakukan hal seperti itu. Kita tinggal buat makhluk yang lebih kuat saja. Agar mereka bisa saling menyerang nanti. Siapa yang lebih kuat. Jika dia seperti ini, maka dia yang akan menyesal sendirinya jika suda masuk dalam sel." kata Albern. Menyeruput minuman hangatnya.
Albern menggeleng. Dia sudah berkali-kali mendekati temannya itu. Mengajak dia bekerja sama. Kemampuan dia itu masih sangat rendah. Bahkan dia berniat ingin membantunya menciptakan makhluk yang lebih kuat lagi. Untuk menyeimbangkan bumi " jelas Albern. Dia meletakkan satu gelas teh hangat.
"Kamu duduklah!" pintanya. Seorang laki-laki tua yang saat ini menjadi asistennya itu merasa sudah lelah berdiri. "Jangan berdiri terlalu lama." kata Albern.
"Berilah surat terbuka lagi atas namaku. Aku yang akan menasehati dia. Dia terlalu bodoh jadi orang. Sekarang, ada lima anak yang punya kelebihan masing-masing. Mereka tersebar di kota, bahkan luar negeri. Jika sampai mereka bersatu. Sama saja tidak ada lawannya."
"Pergi engkau menciptakan Roy yang saat ini dia kabur." kata laki-laki tua itu.