"Aku gak papa." ucap anak itu.
"Ya, sudah. Kakak pergi dulu. Kamu jangan lagi pergi ke jalanan sendiri." ucap Aron, mengusap lembut ujung kepalanya. Anak itu hanya tersenyum ke arah Aron.
"Kak.. Boleh tanya." ucap anak itu. Menarik ujung lengan panjang jaket milik Aron.
"Tanya apa?"
"Boleh lihat tangan kakak?" tanya anak itu. Aron mengerutkan keningnya bingung. Kenapa dengan anak di depannya. Tanya seperti itu.
"Kak, kenapa kamu diam?" tanya anak itu menarik ujung bajunya. Dia meninggalkan kepala menatap Aron. "Tangan kakak tadi ada cahayanya. Kenapa bisa?"
"Cahaya? Memangnya cahaya apa?" tanya Aron. Bertingkah seolah tak tahu apa yang dimaksud oleh anak itu.
"Anakku, kenapa kamu bisa ada disini?" Suara seorang wanita berlari menghampiri anak itu. Langsung memeluknya sangat erat. Dia mengusap kepalanya berkali-kali. Mencium anaknya, memeluknya lagi. Dia terlihat sangat panik.
"Apa yang kamu lakukan pada anakku?" tanya Wanita itu menatap tajam ke arah Aron. Dia mendorong bahu Aron kasar.
"Kamu penculik?" pekik wanita itu keras.
Anak kecil di dalam dekapannya itu. Menarik bajunya.
"Ma, kakak ini yang menolong aku tadi." ucapnya menunjuk ke arah Aron.
"Apa kamu yakin?" tanya mamanya. Mengangkat kepala menatap malu pada Aron.
"Iya, ma! Kakak itu yang menolongku saat aku di tengah jalan."
"Oo.. Makasih! Makasih." ucap wanita itu, dia membungkukkan badannya berkali-kali terus mengucapkan kata yang sama.
"Maafkan aku sudah menuduhmu!" lanjutnya.
"Tidak masalah!" jawab Aron. Sembari tersenyum ramah. "Aku pergi dulu. Jaga anak ibu dengan baik." kata Aron. Dia berlari secepat mungkin pergi dari sana.
Ibu anak itu terus memeluk dan menciumnya. Dia merasa menyesal telah meninggalkan anaknya sendiri.
Aron berlari semakin cepat. Dia melesat bagaimana angin yang tak terlihat. Bisa merasakan datangnya angin. Tanpa bisa menyentuh atau bahkan melihatnya. Tanpa di sadari Aron terus berlari, hingga ke luar kita itu. Kecepatannya semakin dia gugup, atau semakin dia panik. Kecepatan itu akan semakin bertambah dan bertambah lagi.
Merasa ada yang aneh pada dirinya. Aron menghentikan larinya. Aron yang tak bisa mengontrol kekuatannya. Dia membentur potong yang sedarintadid diam di depannya. Keningnya mencium batang pohon besar berwarna coklat pekat. Seketika benjolan merah mulai nampak di keningnya. Laki-laki itu terjatuh terpental ke belakang. Dengan kedua siku tangan menyangga punggungnya agar tidak menyentuh tanah.
"Haissstt.. Sialan!" umpat kesal Aron. Dia mengusap keningnya yang masih terasa sakit. Wajahnya mengkerut menahan rasa sakitnya. Aron tertegun sejenak. Terpikirkan apa yang sedang dialaminya adalah hal yang luar biasa. Kedua matanya melirik ke kanan dan ke kiri. Memastikan tidak ada orang di sana. Melihat situasi di sekitarnya sama sekali tidak terlihat ada aktivitas sama sekali. Aron merasa lega. Dia duduk di atas tumpukan tanah yang dihiasi rerumputan hijau. Mencoba mengatur napasnya sejenak.
Aron menghela napasnya. "Dimana aku?" tanya Aron pada dirinya sendiri. Dia terlihat linglung. Bahkan tak tahu ada dimana dirinya. Tempat yang sangat asing baginya.
"Dimana ini?" tanyanya lagi. Kedua mata Aron merasa aneh. Dia beranjak berdiri, mencoba memastikan pada yang terjadi dengannya. Aron mengangkat kedua tangannya tepat di depan perut. Dia membuka kedua telapak tangannya. Wajahnya terlihat begitu pucat saat melihat jemari tangannya terlihat berbeda. Seakan mengeluarkan percikan cahaya keluar dari jeari-jarinya. Aron menakutkan kedua alisnya. Dia menggelengkan kepala tak percaya.
"Apa yang terjadi denganku?" tanya Aron, tubuhnya gemetar. Kedua kaki seketika terasa begitu lemasnya . Aron melangkah ke belakang. Dia masih belum terima apa yang terjadi padanya. Bibirnya gemetar, dengan mulut sedikit terbuka. Punggung menyandar di batang pohon belakangnya.
"Tidak! Tidak! Ini tidak mungkin terjadi padaku. Jika cahaya ini perlahan menguasai tubuhku. Sama saja aku akan mati di tangan cahaya ini." ucap Aron. Napasnya mulai terasa sesak. Seakan baru saja dia di hantam bebatuan besar menimpa tubuhnya. Sekujur tubuhnya terasa sangat sesak.
"Apa yang terjadi padaku ini tidak bisa dibiarkan." ucal Aron. Napasnya semakin menjadi Dia memegang kepalanya yang terasa pusing. Aron terdiam sejenak, mengatur napasnya.
"Apa yang harus aku lakukan?" pikirnya. Aron tertunduk, memejamkan kedua matanya. Dia mencoba untuk tidak panik. Menarik napas dalam-dalam. Dia merasakan aliran darahnya mulai merangkak naik ke. Tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya. Wajahnya mulai memerah. Dia mengerutkan wajahnya. Menahan rasa panas yang semakin membakar tubuhnya. Aron mengepalkan tangannya kuat-kuat hingga otot-otot rahangnya mulai mengeras. Sekujur tubuhnya, mulai menegang.
Tubuhnya semakin tersiksa. Aron menyiarkan dirinya menahan rasa sakit kulitnya terasa baru saja ditusuk ribuan jarum. Napasnya mulai tersengal-sengal. Napas mulai tak beraturan. Aron duduk bersila, dia mencoba untuk menenangkan dirinya. Sembari menahan rasa sakit yang semakin menjadi. Dia menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba untuk mengontrol tubuhnya. Perlahan tubuhnya mulai membaik. Darahnya mengalir beraturan. Tubuh yang semula panas, seketika mulai mendingin. Rasa sakit di tubuhnya mulai berkurang.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya seorang yang seketika membuat dia membuka matanya. Kedua mata itu membulat sempurna saat tahu siapa yang ada di depannya.
"Aku Elson," Laki-laki itu mengulurkan tangannya.
"Elson?" panggil Aron.
"Kenapa kamu bisa ada disini?" tanya Aron gugup.
Elson tersenyum tipis. "Di seberang sana rumahku. Jadi, aku mau jalan kedepan pergi ke kota." ucap Elson. "Kamu kenapa bis duduk di tempat ini."
"Ke kota?" Aron semakin bingung dibuatnya. Bibir sedikit terbuka tak percaya. "Memangnya kita dimana?" tanya Aron.
"Aku tinggal di sebuah kota seberang." kata Aron.
"Aku dimana? Aku tidak pernah tahu kota ini." ucap Aron.
"Kamu berada di kota yang hampir 1 jam perjalanan ke kota dimana cafe aku bekerja." kata Elson. "Jika kamu dari timur. Berarti kamu berasal dari kita Timur yang memang sangat jauh dari kota ini. Hampir satu jam setengah." blas Elson.
"Jadi aku sekarang di kota kamu tinggal?" tanya Aron memastikan lagi. Dia hanya menganggukan kepalanya.
"Memangnya kenapa?" Elson mengerutkan keningnya. Kedua matanya itu menelisik sekitarnya. Ada yang membuat Aron terasa aneh bagi Elson. Dia melihat laki-laki di depannya itu kebingungan. Bahkan membuat dirinya juga bingung.
"Kenapa kamu bisa ada disini?" tanya Elson.
"Aku juga tidak tahu!" ucap Aron bingung.
"Ya, sudah Jika memang kamu gak tahu. Gimana kalau kamu ke rumah aku dulu. Kita bicara di rumah aku saja." kata Elson. Aron beranjak berdiri, dia menganggukan kepalanya.
"Baiklah! Aku juga tidak tahu gimana aku pulang." ucap Aron.
"Oke, ayo jalan ikuti aku." kata Elson. Mereka segera berjalan menuju ke rumah Elson yang tak jauh dari tempat itu. Mereka berjalan sembari berbincang menikmati udara yang di sana lebih sejuk daripada tempat dirinya tinggal sekarang.
"Apa nanti kamu mau antar aku ke kota?" tanya Aron bingung.
"Ok.. Aku akan antar kamu." kata Elson. Melayangkan senyuman padanya.