Part 8
“Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“
"Atau apa, Mas? Lebih baik kamu tidak usah pedulikan aku lagi. Anggap saja kita tidak saling mengenal satu sama lain di sini. Apa kau tidak takut sikapmu ini ketahuan istri barumu?" Kukibaskan cekalan tangannya dengan kasar.
Dia terhenyak dan menatapku beberapa jeda. Sorot matanya sangat berbeda, tak nampak kehangatan seperti dulu lagi. Dia bukanlah Bambang Wijaya yang pernah kukenal dulu.
Aku tersenyum masam, lantas melirik ke arah kamar Tuan Putra. Rupanya pria itu tengah memperhatikan kami dengan tatapan bertanya-tanya.
Gegas aku pergi dari sana, tak ingin terjadi salah paham apapun lagi. Terlalu sakit hati ini bila terus mendapatkan penghinaan oleh orang-orang kaya.
Aku kembali melewati mereka semua. Tatapan Bu Samira padaku begitu tajam hingga membuatku bergidik.
***
Rutinitasku sehari-hari seperti biasanya, mengasuh Alvaro, dari mulai memandikan, menyuapinya makan, lalu mengajaknya bermain bersama. Kini anak kecil itu lebih dekat denganku.
Seperti hari ini, aku menyuapi Alvaro makan siang. Tapi anak kecil itu ingin makan di ruang keluarga. Di ruang keluarga terdapat TV yang besar, lalu sofa sudut yang membentuk huruf U. Alvaro tampak senang, dia berlarian diatas sofa sambil lompat-lompat.
“Mommy, lihat aku, aku tinggi—“ celotehnya.
Aku tersenyum.”Iya, Varo makan dulu yuk, biar tambah tinggi,” bujukku lagi.
“Nggak mau, udah kenyang!” seru Alvaro seraya menutup mulutnya sambil menggeleng-geleng.
“Dikit lagi, Sayang, yuk pinter, anak soleh.”
“Nggak mau, Mommy!” serunya lagi.
“Loh, loh, kamu kok ajak makan dia di sini sih? Nanti jadi kebiasaan buruk. Harusnya makan di meja makan, tidak boleh lari-lari kayak gini! Anak kecil itu jangan dimanja, harus dididik dari dini!” hardik suara seseorang.
Aku menoleh, menatap ke arah wanita berparas ayu itu, Nyonya Bama dan juga Mariana yang tengah bersidekap di d**a.
“Tau gak sih, Ma, pembantu baru ini dari kemarin nyolot terus apa yang aku ucapin,” tutur Mariana.
“Maaf, Nyonya.”
“Malah kata mama mertua dia itu mantan ART-nya tapi suka mencuri,” tandas Mariana lagi membuat Ny. Bama terkejut.
“Benarkah? Kalau begitu kita harus hati-hati dong!”
“Tapi tenang aja, Ma, dia gak bakalan berani, berani mencuri maka dia akan habis,” ucap Mariana serupa ancaman.
Ny Bama mengangguk lalu menatap ke arahku dengan tatapan tajam bak pisau yang siap menguliti.
“Kamu mengerti tidak apa yang saya bilang tadi? Ajak makan Alvaro jangan di sini! Paham?”
“Iya, Nyonya.”
“Tuh kan lihat tuh Alvaro sudah lari kemana-mana, awas saja kalau dia rusakin barang-barang lagi, aku akan potong dari gajimu. Cepat sana kejar dia!” sergah Ny. Bama.
Aku langsung berlari mengejar Alvaro, gara-gara kedatangan mereka, Alvaro sampai lepas dari pandanganku. Kenapa sih mereka terlalu over, namanya anak kecil pasti lebih senang lari-lari dan eksplore sesuai keinginannya.
Kayak gak pernah kecil aja! gerutuku sembari mengejar Alvaro dan memanggilnya.
“Alvaro, sini sayang!” panggilku, tapi rupanya Alvaro sudah asyik dengan dunianya.
Dia berlarian sambil merentangkan tangannya, hingga tanpa sengaja, tangannya mengenai sebuah guci keramik besar hingga terjatuh dan pecah.
Praankk ... Alvaro menutup mulutnya karena terkejut, ia mundur ke belakang lalu menatapku dengan rasa bersalah. Aku sama terkejutnya dengan dia. Langsung aku mendekapnya, agar dia tenang.
“Varo, Varo diam di sini sebentar saja ya. Biar Mbak bersihin ini dulu.”
Bocah kecil itu mengangguk, tangannya terasa dingin. Rasanya kasihan sekali, aku jadi tak tega untuk menyalahkannya. Dia pasti tak disengaja. Tak apalah kalau gajiku harus dipotong, aku pasrah.
“Nah kan! Pecah lagi! Dasar anak ini memang bandel! Bisanya cuma ngerusakin barang doang!” hardik Nyonya Bama yang sudah berdiri di belakang kami.
Alvaro bersembunyi di belakang tubuhku.
“Dan kamu! Kamu gak becus jadi pengasuhnya. Niat kerja gak sih!" omelnya lagi.
"Kamu tahu harganya berapa? Satu bulan gajimu saja tidak cukup! Ingat Hana, kamu harus menggantinya, gajimu akan dipotong mulai bulan depan!”
Glek, aku menelan air ludahku sendiri. Belum apa-apa sudah ada wacana potong gaji? Emang berapa sih harganya? Apa memang semahal itu? Aku bertanya-tana sendiri, sementara Alvaro makin mengeratkan pegangannya di bajuku.
Aku tertunduk lesu, ternyata seorang nyonya besar kalau marah terlihat begitu menakutkan. Astaghfirullah, sabar-sabar. Semoga aku bisa melewati ini semua.
“Tidak perlu potong gaji, biar aku yang menggantinya!” seru Tuan Putra yang tiba-tiba datang, masih dengan tubuh yang berbalut jas hitamnya. Tumben sekali dia pulang cepat, biasanya pulang menjelang malam.
“Ini kesalahan anakku, jadi jangan limpahkan pada siapapun,” lanjut Tuan Putra pada kakak iparnya itu.
Wajah Nyonya Bama berubah masam. “Ya, baiklah. Kamu harus membeli gucci itu dengan motif dan warna yang sama,” tukasnya kemudian berlalu pergi.
Terdengar hela nafas gusar dari lelaki itu.
“Alvaro ...” panggilnya lembut. Alvaro menyembulkan wajahnya, setelah tahu itu sang ayah, dengan langkah ragu Alvaro mendekatinya.
“Daddy, aku gak sengaja. Tapi mommy juga gak salah. Jangan mayahin mommy, Daddy,” tuturnya dengan raut wajah yang muram. Selang beberapa detik dia menangis.
Tuan Putra mengelus kepalanya dengan lembut, lalu membawa bocah kecil itu ke gendongannya.
“Hana, kau bersihkan ini semua ya, lalu temui saya di ruang kerja.”
“Baik, Tuan.”
Perasaanku berkecamuk campur aduk jadi satu. Bayang-bayang akan dipotong gaji, lalu Tuan Putra yang akan memarahiku sudah singgah di kepala. Alamak, begini amat hidup di kota rantau.
Aku bagaikan buah simalakama. Tetap bertahan di sini dengan resiko potong gaji, entah apalagi yang akan dilakukan si aktif Alvaro nantinya. Atau aku keluar dari pekerjaan dengan resiko bayar denda.
Aduhai, kenapa tak ada yang mengenakkan hati? Aku bekerja demi perbaikan ekonomi, tapi justru ... Ah sudahlah, tak ada yang bisa kulakukan selain pasrah.
Aku berjongkok, lalu menegakkan pot guci yang terjatuh. Kubersihkan pecahan-pecahan guci keramik yang berserakan di lantai. Padahal tidak pecah seutuhnya, hanya di bagian bibir dan leher potnya saja yang pecah.
Mariana datang mendekat. “Belum apa-apa udah begini. Hei Hana, aku akan bikin kau tak betah tinggal di sini. Sungguh, aku tidak suka kau yang berani padaku, terlebih sikapmu yang sok polos itu."
Aku terdiam.
“Bersihkan itu semua, jangan sampai ada yang tersisa!” sentaknya lagi.
Astaghfirullah, sabar Hana, sabar. Aku hanya mampu mengurut d**a. Setelah membersihkan pecahan guci itu, gegas aku menghadap ke Tuan Putra di ruang kerjanya.
Kuketuk pintu itu berkali-kali, kemudian masuk setelah mendengar sahutan suara dari dalam.
Aku mendekat dan terus menundukkan kepala.
“Mohon maaf, Tuan. Saya sudah lalai menjaga Den Alvaro, hingga Den Alvaro lepas dari pengawasan saya dan merusak guci itu. Sekali lagi saya mohon maaf. Anda boleh menghukum saya ataupun memotong gaji saya. Ini semua karena saya yang teledor. Tapi tolong jangan pecat saya, Tuan. Saya masih membutuhkan pekerjaan ini.”
Ia masih diam tak meresponku, hingga suasana kembali hening. Rasanya sungguh tak enak. Diam salah, bicara juga salah.
“Sudah bicaranya?”
Aku mengangguk lesu, menatap manik matanya yang serupa elang, tajam, lalu menunduk lagi.
“Seperti katamu, kamu memang teledor. Makanya mulai hari ini kamu saya hukum.”
Aku makin tertunduk. Habislah aku!
“Buatkan saya kopi.”
“Hah?”