7. Fitnah

1170 Kata
Part 7 "Mama kenal?" tanya Mariana lagi. Ia melangkah mendekat, membuat Bu Samira tampak tergagap lantas tersenyum. "Emhh ya, Mama kenal dia," jawab Bu Samira. "Dia pembantu di rumah Mama dulu," sambungnya lagi sambil tertawa kecil. Aku menoleh ke arahnya, hatiku seakan tercubit dengan perkataannya itu. Jadi dia hanya menganggapku sebagai pembantu. “Kamu harus hati-hati, Sayang. Dia pembantu tapi tidak jujur. Maka dari itu dulu mama memecatnya. Makanya mama sangat terkejut, saat dia ada di sini. Awas saja, barang-barang kalian, takutnya ada yang hilang. Terlebih kamu, kamu harus lebih hati-hati.” “Oh ya? Jadi dia pencuri?” Mata Mariana membulat lalu menatapku tajam. “Kau pencuri?” tanyanya lagi penuh selidik. “Tidak, Nyonya. Saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Bu Samira berbohong, saya itu is—“ “Sekalinya pencuri tetaplah pencuri, pasti dia tidak akan mau ngaku ‘kan? Kamu pasti lebih percaya Mama kan dari pada si pembantu ini?” sela Bu Samira. Ah, dia tega sekali memfitnahku dengan kebohongannya. “Tentu dong, aku lebih percaya sama Mama dari pada dia.” “Makanya lebih baik dia dipecat saja, dari pada bikin masalah. Mama sih hanya memperingatkan ini saja sih, sebelum semuanya terjadi.” Mereka berdua menatapku tajam. “Sekarang sih mungkin masih belom ketahuan belangnya, tapi lihat deh ke depannya, pasti akan ada barang yang hilang satu per satu,” ujar Bu Samira lagi memojokkanku. “Aku akan bilang ini ke Om Putra biar dia dipecat.” “Kenapa harus bilang ke Om kamu? Tinggal pecat aja sekarang sebelum terlambat—“ “Soalnya dia pengasuh Alvaro, Ma. Aku gak ada hak untuk memecatnya, Mama tau sendiri Om Putra seperti apa. Tapi, aku gak nyangka loh penampilannya polos tapi ternyata maling.” “Tentu saja biar gak ketahuan.” “Pantas saja, Ma, dia lihat Mas Jaya kayak orang yang sudah kenal lama, jadi ternyata—“ Aku menunduk, tak kuasa menahan hinaan mereka. Kenapa rasanya sakit sekali. “Sudah saya bilang, Nyonya, saya bukan pencuri. Saya melamar kerja di sini sebagai pembantu. Hanya itu saja, tidak ada niatan lain.” “Ehem! Ada apa ini?” Kami semua menoleh ke sumber suara. Tampak Tuan Besar Mahesa memandangi kami dengan tatapan penuh tanya. “Kakek, kebetulan kakek datang. Kata Mama, dia ini bekas pembantu di rumahnya,” tutur Mariana dengan nada suara yang manja. “Ya, terus apa yang salah dengan itu?” “Dia kedapatan mencuri, Kek. Makanya dia dipecat sama Mama. Jadi Ana rasa, pecat saja dia, Kek. Lagi pula dia kan baru beberapa hari di sini. Dari pada barang-barang kita ada yang hilang ‘kan?” Tuan besar Mahesa terdiam beberapa saat. “Maaf Tuan besar, saya berani bersumpah, saya bukan pencuri. Yang dikatakan Bu Samira hanya kebohongan belaka. Saya, saya—“ “Kakek, jangan percaya sama dia! Dia pandai sekali bersilat lidah.” Tuan Mahesa mengangkat tangannya agar Mariana berhenti bicara. Lalu dia menatapku. “Kamu tadi ingin bicara apa?” “Maaf Tuan, sebenarnya saya—“ “Papa! Walaah, ternyata kalian berkumpul di sini,” seru Nyonya Reni yang tida-tiba datang. “Ya sudah, ayo kita makan malam bersama, yang lain udah pada nunggu tuh! Ayo Pa,” tukas Nyonya Reni. Wanita itu langsung menggamit lengan Tuan Mahesa dan beranjak pergi, disusul Mariana. “Ma, ayo!” seru Mariana pada sang ibu mertua. “Iya, duluan saja, Sayang. Mama mau ke toilet sebentar,” jawab Bu Samira. Dia mendekat ke arahku. “Jangan katakan apapun, tentang siapa dirimu sebenarnya, atau keluargamu tidak akan selamat. Aku tidak main-main dengan ucapanku, Hana,” bisiknya mengancamku. Secepat kilat wanita kaya dan sombong itu pergi meninggalkanku. Aku membuang napas gusar. Dari dulu ia memang tak pernah menyukaiku. Kenapa aku tak sadar diri dari awal. Harusnya aku tak perlu masuk ke dalam hidup Mas Bambang. “Hana, kamu malah bengong di sini! Ayo kamu antarkan makanan ke kamar Tuan Putra!” Aku terkesiap mendengar suaranya. Rupanya Bik Rasni datang dengan wajah masam. “Maaf, Mbak. Tuan Putra sudah pulang?” “Iya, dan dia minta kamu untuk mengantarkan makanan ke kamarnya.” Aku mengangguk, mengekori langkah Bik Rasni menuju ke dapur. Baki berisi piring nasi, lauk serta sayurnya sudah ada di atasnya beserta sendok garpu juga tissue, lalu segelas air putih hangat. “Antarkan ini ke kamar Tuan Putra, dan pastikan dia makan lebih dulu karena dia punya asam lambung, jadi makan harus teratur.” “Baik, Mbak.” “Ingat jangan lama-lama di sana. Tuan Putra tidak senang ada orang asing yang masuk kamarnya terlalu lama.” “Baik, Mbak.” Aku bergegas menuju ke kamar Tuan Putra di lantai dua, tentu saja melewati meja makan. Keluarga besar itu tengah makan bersama dengan lahapnya. Kuketuk pintu kamar Tuan Putra berkali-kali. Tapi tak ada sahutan apapun dari dalam. “Permisi, Tuan Putra, saya Hana ingin mengantarkan makanan,” ujarku dengan nada setengah berteriak. Hening, tak ada sahutan. Apa Tuan Putra gak ada di dalam? “Permisi, Tuan. Saya Hana, ingin mengantarkan makan malam,” teriakku lagi. Menunggu satu menit dua menit, tapi tak ada sahutan dari dalam. Apakah Tuan Putra sudah tidur? Aku mencoba memutar handle pintu ternyata tidak dikunci. Melangkah masuk dengan pelan, memperhatikan kamar Tuan Putra yang luas dan tampak begitu rapi. Aku mencari sosoknya tapi tak ada, hanya terdengar suara gemericik di kamar mandi. Kuletakkan makanan itu di atas meja. Aku terkesiap kaget saat pria itu tiba-tiba ada di sampingku. Ia hanya memakai celana training panjang dan bertelanjang d**a. Rambutnya basah, masih terdapat bulir-bulir air, sisanya mandi. Aku tertegun sejenak saat mata kami bersirobok. Aku langsung menunduk dan mundur perlahan. Degup jantung terasa tak beraturan. “Maaf Tuan kalau saya lancang, saya hanya ingin mengantarkan makanan ini dan memastikan Tuan makan malam,” ucapku sedikit gugup. “Ya, terima kasih. Kamu boleh pergi, Hana.” “Ba-baik, Tuan.” Aku berbalik dan melangkah meninggalkan kamar. Sebelum sampai di pintu, dia justru mencegahku. “Tunggu, Hana.” “Ya, Tuan?” Aku berbalik, lelaki itu justru mendekat. “Bagaimana dengan Alvaro hari ini?” Aku tersenyum lalu menceritakan kebersamaanku dengan anak itu. Lelaki itu menyimak ucapanku. “ ... sekarang Alvaro sudah tidur, Tuan. Alvaro itu anak yang lucu dan menggemaskan. Sebenarnya dia tidak nakal, hanya butuh perhatian saja.” Tuan Putra tersenyum. Eh tunggu, baru kali ini kulihat dia tersenyum. Selama ini dia hanya menampakkan ekspresinya yang datar juga dingin. “Maaf Om Putra, ada yang ingin saya tanyakan mengenai pekerjaan di kan—“ Lelaki itu nyelonong masuk tanpa permisi. Mulutnya membulat saat melihatku ada di sini. Dia lantas menatapku tajam. “Hana, kau kenapa ada di sini? Kau berusaha menggoda majikanmu sendiri ya?” pungkasnya dengan tatapan mengintimidasiku. Astaghfirullah, kenapa aku selalu dalam posisi tak mengenakan seperti ini. Tadi ibunya membeberkan fitnah kebohongan, dan sekarang anaknya? “Maaf Tuan, saya permisi dulu.” Tak ingin terjebak lebih lama, aku segera keluar dari kamar majikanku. Namun entah kenapa Mas Bambang justru mengejarku. “Hana, kuperingatkan kau, jangan cari muka di sini apalagi berusaha menggoda majikanmu sendiri atau—“
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN