4. Si cantik Mariana

1022 Kata
Part 4 'Mas Bambang?' Tampak keterkejutan dalam tatapannya. Hampir aja aku keceplosan ingin memanggil namanya dan membicarakan masalah kami. Dia yang pergi tiba-tiba, jadi inikah alasan yang sebenarnya? "Hei Mbak, tolong barang-barang kami dibawa masuk ya!" sergah seorang wanita di samping Mas Bambang. Apakah dia yang bernama Mariana? Seorang wanita muda yang tampak begitu cantik dan menawan. Dengan bibir merah merona dan rambut bergelombang berwarna pirang. Sungguh teramat cantik, bahkan aku yang seorang wanita pun turut mengagumi kecantikannya. "Tunggu, tunggu, kamu pembantu baru di sini ya? Aku kok baru lihat kamu?" "Eh i-iya, Nyonya, saya baru bekerja hari ini," sahutku, kali ini aku mengalihkan pandangan. Wanita itu manggut-manggut tapi pandangannya mengulitiku. "Lain kali jangan lihatin suamiku seperti itu. Aku tahu suamiku ini tampan. Tapi jangan lancang ya!" serunya lagi. Deg! Ah, rasanya sungguh tak karuan ... "Maaf, Nyonya." Aku menunduk dengan debar jantung yang tak menentu. Bohong rasanya kalau aku bilang baik-baik saja, aku belum bisa melupakan sosok lelaki yang sudah menemaniku selama tiga tahun terakhir. Ingin bangkit dan melupakan semua tapi tak semudah membalikkan telapak tangan. "Sudah itu, tolong dibawa masuk semuanya ya! Jangan sampai ada yang ketinggalan, soalnya itu oleh-oleh dari luar negeri. Barang-barang mahal, kamu tidak akan bisa menggantinya kalau rusak." Tiba-tiba seseorang menyenggol lenganku, rupanya ada Isna yang datang menyusulku. Isna ini sama sepertiku, seorang pembantu yang mengabdi, bedanya dia sudah lebih dari dua tahun tinggal di sini. Setelah mengatakan hal itu, Mariana dan Mas Bambang masuk dan bergabung dengan yang lain. "Ayo buruan, Hana, nanti bu majikan malah marah-marah! Kamu lelet banget sih! Tadi Nyonya Mariana ngomong apa sama kamu? Kelihatannya dia tidak suka?" tegur Isna. Aku mengangguk. Keluar mengikuti Isna, mengambil koper-koper yang sudah berjejer di teras depan. Bukan hanya koper, banyak pula tas belanja di sana, yang isinya barang-barang mahal dan branded. “Tolong ya, itu dibawa naik ke atas semua, di ruang keluarga!” tukas Mariana sambil menunjukku saat aku melewati ruang makan. Aku menoleh sejenak, tanpa sengaja tatapanku kembali terfokus pada lelaki itu. Mas Bambang sudah bergabung di sana untuk makan bersama, ia tampat tertawa kecil saat ditanyai oleh Tuan Bama. Apa Mas Bambang pura-pura tak mengenalku di sini? “Hana, jangan bengong terus! Ayo, nanti kamu kena komplen lagi loh!” tegur Isna lagi. Isna mendahuluiku naik ke atas tangga. Akupun mengangguk. Sebagai orang baru aku hanya bisa mengikuti tanpa bisa menolak. Bolak-balik ke atas dan ke bawah rasanya begitu melelahkan, tapi perjuangan belum berakhir. Ini baru permulaan. Kupikir aku bekerja jauh di sini bisa melupakan bayang-bayang Mas Bambang, tapi nyatanya justru aku dipertemukan dengan dia lagi? Aku menata barang belanjaan itu di ruang keluarga. “Mbak Isna, tadi itu siapa? Apa dia juga nyonya di rumah ini?” tanyaku ingin tahu. Isna memandangku. “Kau belum tahu ya?” Aku menggeleng pelan. “Dia itu cucu pertama Tuan Besar, alias putrinya Tuan Bama. Hati-hati jangan sampai buat kesalahan di depannya.” “Kenapa?” “Ya … Nanti kau juga akan merasakan sendiri sikap Nyonya Mariana seperti apa. Banyak para pembantu yang keluar gara-gara salah sama dia meski pun hal sepele.” Aku terdiam tak berani bertanya lagi. “Dia juga baru menikah bulan kemarin, pestanya mewah sekali. Yang tadi pulang bersamanya itu Tuan Wijaya, suaminya. Dan mereka baru pulang dari luar negeri, habis bulan madu, bikin bocil,” bisiknya lagi sambil tertawa kecil. Mendengarnya begitu seketika membayangkan Mas Bambang, ah, nyeri sekali hati ini. “Enak sekali ya jadi orang kaya, sekalinya bulan madu sewa hotel yang mewah dan jalan-jalan ke luar negeri, bawa oleh-oleh seabreg, ah rasanya jadi ingin dipersunting lelaki kaya.” “Hei, kalian kok malah ngerumpi di sini? Kerja sana! Kalian ada di sini itu bukan untuk bersantai tapi untuk kerja!” seru Bik Rasni yang tiba-tiba muncul, matanya mendelik ke arah kami. Padahal dia tahu sendiri kami tak menganggur, karena banyak sekali barang bawaan yang perlu dirapikan. “Iya, Mbak.” Kami memanggilnya Mbak pada Bik Rasni karena dia sendiri yang memintanya. Seketika, aku dan Isna turun dari lantai dua rumah mewah ini. Kembali menuju ruang meja makan, rupanya para majikan masih memakan hidangan itu dengan lahap. Belum lagi si cantik Mariana yang berceloteh riang menceritakan pengalamannya yang paling berkesan, hingga tercipta tawa di antara mereka. “Siap-siap nih, papa bakal punya cicit,” seru Ny. Bama pada ayah mertuanya, disambut tawa renyah yang lain, tapi tidak dengan Tuan Putra, dia hanya diam tak menanggapi. Selesai makan malam, para majikan langsung ke pergi ke ruang keluarga, mereka asyik berbincang di sana dengan tawa yang begitu riang gembira. Tapi tidak dengan Tuan Putra yang lebih memilih pergi ke kamarnya sendiri. Sementara para permbantu masih sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Dan baru makan setelah semua pekerjaan selesai. “Hei, kamu pembantu baru! Tolong bereskan kamar saya! Saya mau istirahat!” pungkasnya menghentikan langkahku yang tengah mengelap piring. Aku menatap kedatangan Mariana ke dapur, tangannya sudah disilangkan depan d**a. “Buruan! Jangan bengong aja! Kamu tahu kamarku kan? Ada di atas dan di ujung kanan!” ketusnya lagi. Aku mengangguk, lalu mengikuti perempuan yang sudah berganti pakaian lebih seksi. Mendadak kami berpapasan dengan Mas Bambang yang tengah membawa gelas kosong. Mariana langsung merangkul pria itu. Untuk sejenak, tatapan kami bertemu. “Sayang, mau ngapain?” tanya Mariana. Ia langsung mengecup bibir Mas Bambang tanpa rasa malu. Aku tertunduk. Haruskah aku menyaksikan adegan mesra mereka? Sungguh Mas Bambang tak punya hati! Ah, lebih baik aku memang tak mengenal Mas Bambang dari pada harus mebelan sakit seperti ini. “Hana …” Tiba-tiba suara tegas seorang lelaki memenuhi pendengaranku. Panggilan itu cukup mengagetkan hingga Mariana pun melepaskan ciuman mesranya. “Kau ikut dengan saya!” titahnya. Aku menoleh ke arah pria yang berdiri tak jauh dariku. Tuan Putra memandang dengan tatapan datar tanpa eksrpresi. “Om? Kenapa sih mengganggu aja!” seru Mariana. “Pembantu ini sudah aku tugaskan untuk membersihkan kamarku malam ini! Jadi jangan seenaknya sendiri dong, Om! Kalau Om butuh bantuan minta saja sama Bik Rasni!” tambahnya lagi dengan nada kesal, raut wajah Mariana tampak terganggu. “Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN