3. Pertemuan tak terduga

1248 Kata
Part 3 “Permisi Bu, ini ada surat dari Jakarta untuk Bu Hana Aisyah,” ujar seorang kurir. Aku yang saat itu tengah menyapu lantai, segera menerimanya. Tanganku sedikit dingin dan gemetar saat membuka amplop putih itu ternyata isinya sebuah undangan. Aku mengejanya dengan seksama, undangan pernikahan “Bambang Wijaya dan Mariana.” Deg! Hatiku seperti diremas-remas kembali. Perasaan luka yang kemarin mulai mengering kini terkoyak lagi. Jadi ... ini alasannya Mas Bambang menceraikanku? Dia akan menikah lagi? Dan dia tega sekali mengirimkan undangan pernikahannya padaku padahal akta cerai belum kuterima. Jadi semudah itu Mas Bambang melupakanku? Sakit dan kecewa itu pasti. “Han, ini kesempatan bagus loh! Ada lowongan jadi ART di tempat orang kaya, gajinya 5 juta perbulan. Lima juta, Han, banyak banget kan?” “Masa sih ada gaji ART 5 juta?” “Udah deh gak usah kebanyakan mikir, Han. Kita langsung aja berangkat. Pasti diterima, Han, kita ini sama-sama rekomendasi dari Bu Haji Siti Sadiyah, beliau disana sebagai penyalur ART dan baby sitter, Han,” seru Dita lagi. Dita sudah lebih dulu mendapatkan pekerjaan, dia pun sama atas rekomendasi Bu Sadiyah, orang kaya di kampungku ini. Lima juta yang ditawarkan memang sangatlah banyak untuk orang miskin sepertiku, agak heran juga dengan persyaratannya. Tapi dalam bayanganku tiap bulan bisa mentransfer uang untuk orang tua dan biaya sekolah adik-adik, itulah yang membuatku bersemangat, juga senyuman kedua orang tua setelah kemarin menorehkan kecewa. Untuk itulah aku berada disini, dengan harapan baru dan semoga bisa melupakan Mas Bambang yang sudah mencampakkanku. *** “Varo, sini sama daddy!” “Aku gak mau sama daddy, aku mau sama mommy!” Mataku membulat mendengar ucapan bocah laki-laki ini. Wajahnya tampan dengan manik mata berwarna coklat. Sungguh ciptaan Allah yang paripurna. Tampan, lucu dan menggemaskan, serupa perwujudan ayahnya yang tak kalah mempesona. “Varo, ayo ikut daddy sayang!” tukasnya lagi. Tapi anak itu justru makin mengeratkan pelukannya padaku. Bocah mungil yang kutaksir umurnya baru empat tahunan itu menatapku lekat. Serasa ada magnet dalam tatapannya membuatku terkesima beberapa saat. “Aku gak mau!” celotehnya makin menggemaskan, membuatku tersenyum lalu membelai kepalanya. Dia menatapku beberapa saat. “Adik kecil namanya siapa? Varo ya?” “Alvayo,” sahutnya, tidak bisa mengucapkan huruf R. “Oh, Alvaro.” Dia mengangguk. “Alvaro, ayo sayang sama daddy dulu ya. Main sama tantenya nanti lagi ya.” Setelah dibujuk, anak itu akhirnya mau mengikuti ucapanku. “Ehem! Maaf sebenarnya putra saya ini tak biasa dengan sembarang orang. Tapi sekali lagi terima kasih,” ujar pria itu seraya menggendong Varo. Tapi beberapa detik kemudian Varo langsung beralih ke tangan wanita yang mengenakan seragam baby sitter itu. Pria itu hendak mengeluarkan uang dari dalam dompetnya dan mengulurkannya padaku. “Ini buat kamu, terima kasih sudah menyelamatkan anak saya.” “Eh tidak perlu, Pak,” tolakku. “Terima kasih banyak, sebenarnya saya kesini sedang cari alamat.” “Alamat?” “Iya, Pak. Kami sedang cari alamat ini,” ujar Dita yang entah sejak kapan berada di sampingku. “Ini benar kan rumahnya Tuan Mahesa?” Pria itu langsung memandangku dengan tatapan entah. “Baik, saya mengerti. Jadi kamu orang yang direkomendasikan Bu Sadiyah?” Aku mengangguk. “Oke, kamu boleh masuk, aku akan jelaskan di dalam,” ucap pria itu lagi. Ia berjalan masuk mendahului dengan langkah tegap dan berwibawa. Aku menoleh ke arah Dita. “Wow, calon majikan kamu ganteng banget, Han.” Dita terkikik saat aku menyenggol lengannya. “Oke, sukses ya, Han. Aku langsung pulang, kita berkabar lewat telpon nanti ya.” “Tapi, Dit.” “Sudah jangan takut, sana masuk. Gaji gede, bos ganteng, bukankah itu impian semua orang!” Aku mendelik mendengar ucapan Dita. Ia pun ngeloyor pergi. Tempat kerja Dita pun ada di area perumahan elit ini, hanya beda blok saja. *** Sebuah seragam baby sitter berwarna pink muda dan juga map berisi dokumen pekerjaan sudah ada di hadapanku. “Dibaca dulu, itu daftar tugas dan pekerjaanmu selama di sini, serta hal-hal apa saja yang boleh dan terlarang di sini. Seperti yang ditawarkan sebelumnya, gajimu lima juta. Apa ada pertanyaan?” ucap lelaki itu. “Jadi beneran lima juta, Tuan?” tanyaku dengan nada gugup bercampur girang. “Ya, apa masih kurang?” Aku hanya menggeleng sembari menelan ludah, apalagi saat pria di hadapanku menatapku tanpa berkedip. “Silakan ganti bajumu, kau mulai bekerja hari ini. Bik Rasni, silakan kau jelaskan padanya lebih terperinci mengenai pekerjaannya.” “Baik, Tuan,” sahut wanita yang ada di sampingku. Kutaksir usianya baru 40 tahunan. “Ayo, Hana, kau ikut aku.” “Baik.” Aku berjalan mengekori Bik Rasni, yang ternyata dia kepala pelayan di sini. Wanita bertubuh sedikit gemuk berisi itu katanya sudah lima belas tahun mengabdi pada keluarga Mahesa. “Tugasmu yang paling utama adalah menjaga Den Alvaro, anak dari Tuan Putra. Kau harus bisa mengimbanginya, tidak boleh membuatnya tantrum. Selama ini tak ada yang betah mengasuh Den Alvaro karena dia sangat nakal dan ya ... aku tak bisa menjelaskannya, biar nanti kamu mengalaminya sendiri.” “Maka dari itu, kamu mendapatkan gaji spesial, lebih besar dari pada yang lain. Tuan Putra, berharap agar kamu betah di sini. Pokoknya kamu baca saja semua yang ada di lembaran kertas itu, mengenai kesukaan dan ketidaksukaan Den Alvaro dan juga apa saja yang terlarang dan diperbolehkan.” Aku menahan nafas. Mengasuh anak kecil seperti Alvaro harus sedetail ini? Benarkah dia begitu nakal sampai tak ada yang betah jadi baby sitternya? “Kamu harus hati-hati, sedikit kesalahan saja, kamu bisa dipecat. Kalau kau sudah menyelesaikan tugasmu, bila Den Alvaro tidur, kamu juga harus bantu-bantu pekerjaan kami. Misalnya bantu menyiapkan makan malam bersama keluarga besar.” Dari penjelasan Bik Rasni, aku jadi tahu kalau mereka semua akan berkumpul saat jam makan malam. Saat siang begini, semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. “Kamu juga harus standbye 24 jam bila dibutuhkan untuk Den Alvaro, jadi kamu tak boleh izin maupun libur selama enam bulan ke depan. Apa kau mengerti, Hana?” “Iya, saya mengerti, Mbak.” Aku langsung berganti baju dan dibawa ke kamar Alvaro. Anak kecil itu rupanya dikunci dari luar setelah kejadian kabur dari rumah tadi. Aku mendengar tangisannya sungguh memilukan. “Alvaro ...?” Dia masih sesenggukkan saat melihatku. “Mommy!” serunya dan langsung menghambur ke arahku. Aku tersenyum dan menenangkannya hingga dia tertidur. *** Pukul 19.00 WIB Kami semua tengah sibuk menyiapkan makan malam. Meski baru hari pertama bekerja, aku harus sigap dan cepat menyesuaikan diri. Setelah tadi dikenalkan pada para majikan oleh Bik Rasni. Aku mengelap meja makan itu lalu membawa makanan yang sudah dimasak oleh para juru masak pilihan dan menatanya di atas meja. Para majikan satu persatu mulai turun dan duduk di kursi masing-masing. Tuan Besar Mahesa, lalu ketiga anak dan dua menantunya lalu cucu-cucunya yang sudah beranjak remaja. Tuan Bama dan istri, Nyonya Reni serta suami dan anak bungsunya, Tuan Putra. Dan kami para pembantu akan menunggu mereka selesai makan. “Tunggu-tunggu, yang baru balik bulan madu belum datang!” seru Nyonya Bama. “Kapan si Ana dan Jaya datang, Mbak?” tanya Nyonya Reni. “Sebentar lagi sampai. Tungguin dulu ya, biar ramai.” Selang beberapa menit terdengar suara bel pintu. Bik Rasni menyenggol lenganku agar membukakan pintu. Gegas, setengah berlari aku menuju ke depan, membuka handle pintu. Seorang wanita muda nan cantik datang dengan wajah yang sumringah. Pandanganku beralih menatap ke lelaki di sampingnya yang merangkul wanita itu dengan mesra. Deg! Jantung berdebar lebih kencang saat tatapan kami bersirobok. ‘Mas Bambang?’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN