Part 5
“Dia pengasuh Alvaro, jadi aku yang lebih berhak menggunakan jasa tenaganya, bukan kamu. Ayo, kau ikut aku, Hana!”
Aku terdiam untuk beberapa saat.
“Kenapa masih diam? Ayo ikut saya, ada yang ingin saya bicarakan mengenai Alvaro!” tegasnya lagi.
“Ba-baik, Tuan,” jawabku gugup. Duh rasanya tidak nyaman sekali apalagi saat kulirik dari ekor mataku, Mariana tampak menghentakkan kakinya kesal.
Sampai di ruangan kerja Tuan Putra, aku masih berdiri menunggunya berbicara. Tapi lelaki itu justru asyik membaca buku.
Sepuluh menit berlalu hingga lima belas menit berlalu, tak ada yang dia ucapkan, padahal kakiku mulai kesemutan.
“Maaf Tuan, kalau saya lancang, ada tugas apa tuan memanggil saya? Den Alvaro sudah tidur dan--"
Lelaki itu justru melayangkan tangannya, agar aku berhenti bicara.
Aku menelan ludah, lalu menunduk. Sebenarnya orang yang seperti apa sih majikanku ini?
Hingga waktu berlalu, detik berganti menit dan sampai lima belas menit tanpa suara.
“Alvaro sepertinya cocok denganmu, setelah kulihat rekamanmu bersama Alvaro dari cctv."
Aku terkejut sejenak, jadi di kamar Alvaro dipasang cctv?
"Jadi tolong tanda tangani ini,” tukas pria itu seraya menyodorkan sebuah map.
“Hah, tanda tangan? Ini apa tuan?"
"Kau bisa baca bukan?"
Aku mengangguk dan membuka map itu. Isinya sebuah surat perjanjian kerja. Disitu tertera aku akan mendapatkan insentif perbulannya sebesar 10% dari gaji pokok tapi aku diharuskan bekerja sampai lima tahun ke depan, bila keluar dari masa kontrak kerja maka aku diharuskan membayar denda.
Deg. Apakah aku sanggup?
"Bagaimana, Hana? Apa kau mau menerimanya? Ini adalah keputusan dan tak bisa diganggu gugat lagi bila kau sudah menandatangani ini."
"Tapi Tuan--."
"Tenang saja, aku akan memberi kamu waktu libur untuk pulang kampung. Bukankah kau sedang butuh uang buat biaya kedua orang tuamu daj adik-adikmu yang masih sekolah?"
Aku mengangguk, membayangkan senyum ibu yang penuh harap aku bisa bekerja di sini.
Kububuhkan tanda tanganku di atas kertas itu. Tidak usah mengingat masa lalu. Ayo bangkit, Hana!
***
“Dasar eta si Bambang brekele! Tiba-tiba mulangin neng ke rumah teh ternyata mau nikah lagi! Dasar jurig!" geram ibuku dengan logat sundanya. Ibuku orang sunda, sedangkan bapakku orang jawa, jadi aku berdarah campuran.
Ibu langsung merebut kertas undangan dari tanganku lalu menyobeknya hingga menjadi potongan-potongan kecil kemudian menginjak-injaknya dengan kesal.
"Bambang brekelee, kehidupan kamu teh gak bakal bahagia!" serunya lagi. Ibu yang biasanya lembut dna penuh kasih sayang, terlihat begitu marah. Pastilah seorang ibu ikut geram saat putrinya disakiti.
Aku masih termangu beberapa saat melihat ibu yang masih mengomel.
“Udah Neng, gak usah datang. Ngapain capek-capek datang bikin nyeri hati. Iih amit-amit si Bambang gelo, gak punya hati emang!” sungut ibu lagi.
"Ibu teh gak ikhlaaaas, bener-bener gak ikhlaaas, Neng disakiti begini sama si Bambang, hati ibu ikut sakit, Neng. Sakit bangeet. Neng yang sabar ya, insyaallah nanti Neng teh bakal dapat kebahagiaan. Insyaallah, nanti hidup Neng nuju kemuliaan. Ibu yakin, Neng. Neng pasti bisa bahagia tanpa si Bambang. Neng harus tetap semangat ya, jangan sedih terus. Ibu akan selalu doain Neng, sabar ya, Sayang."
"Ehem!! Kalau kerja jangan sambil ngelamun! Mikirin siapa sih?" bisik seseorang di telingaku.
Aku terperanjat, ingatan beberapa waktu yang lalu menguap seketika. Aku menoleh melihat pria itu tersenyum padaku. Jantung berdebar lebih cepat dari biasanya. Kenapa tiba-tiba dia ada di sini?
Ini masih pagi, pukul 04.30WIB dan aku terbangun segera membersihkan perlengkapan dapur. Ya, itu tugas pertama yang diberikan untukku oleh Bik Rasni. Sebelum para juru masak akan bertugas.
Tetiba tangan pria itu menyentuh tanganku, segera kutarik tanganku darinya.
“Hana, maafkan aku. Aku tahu kau pasti marah atas sikapku. Aku lakukan ini karena ter—“
Aku langsung menjauh dari pria itu. Sudah cukup rasa sakit yang dia torehkan padaku, kenapa aku harus dipertemukan lagi dengannya?
“Hana, aku tau kamu masih kesal, tolong maafkan kesalahanku. Ini semua bukan keinginanku, Hana. Tapi Mama yang sudah.”
“Hhhh ... tidak perlu menjelaskannya lagi, Mas. Hubungan kita sudah berakhir. Jadi fokuslah dengan kehidupan barumu. Anggap saja kau tak mengenalku di sini, itu lebih baik dari pada kau harus ketahuan oleh istri barumu,” ucapku dengan nada tertahan, masih ada rasa sakit di ulu hati ini.
“Tidak Hana, aku tidak bisa seperti itu. Sungguh, aku masih belum bisa melupakanmu, sekarang kau sudah tahu alasanku bukan? Jadi aku menikah dengan Ana karena terpaska ...”
‘Terpaksa tapi menikmatinya ‘kan?’ batinku berbicara sendiri.
“Aku dan Hana menikah hanya karena bisnis, tak ada cinta di hati ini, Hana. Jujur akupun tersiksa, karena harus berpisah darimu. Andaikan diberi kesempatan lagi, apa kamu mau rujuk denganku Hana?”
“Apa kamu sudah gila, Mas?”
Mendadak tangan Mas Bambang menutup mulutku. “Jangan teriak Hana, mungkin aku memang gila, karena tak kuasa menolak permintaan orang tuaku. Tapi hati ini akan tetap milikmu, Hana. Aku masih sangat mencintaimu.”
Aku meninju perutnya hingga ia melepaskan tangannya dari mulutku. Ia mundur beberapa langkah, tapi maju kembali.
“Tidak usah merayuku seperti itu, Mas. Semua yang berlalu takkan pernah kembali lagi seperti sedia kala. Seperti itu juga hubungan kita, sudah selesai dan takkan mungkin disatukan lagi.”
Mas Bambang menggeleng perlahan. “Tidak, Hana, aku masih sangat rindu padamu. Beruntung bisa bertemu di sini jadi aku masih bisa melihatmu setiap hari,” ucap Mas Bambang seraya membelai kepalaku. Ia mendekatkan wajahnya, tapi aku langsung mendorongnya.
Sialan, pagi-pagi sudah dihadapkan dengan situasi seperti ini.
“Pergilah menjauh, atau aku akan teriak dan membangunkan semua orang!”
Mas Bambang justru tertawa kecil. “Tidak apa-apa teriak saja, tapi yang harus jaga sikap disini itu kamu, Hana. Kalaupun kamu bicara, apakah mereka akan mendengarkanmu dan percaya padamu? Sedangkan kau hanya pembantu di sini, bukan siapa-siapa. Orang-orang tak mengenalmu sebelumnya, kalau aku membuat fitnah kau yang menggodaku pun mereka akan lebih mempercayaiku ‘kan?”
Dasar licik.
Karena tak ingin terjebak dalam situasi ini, aku memilih pergi dari dapur, terlebih terdengar suara kaki menuruni tangga. Aku tak ingin orang-orang salah paham dan menilaiku buruk. Apalagi semalam, aku baru saja menandatangani kontrak kerja menjadi pengasuh Alvaro. Aku tak ingin kena denda maupun dirugikan gara-gara lelaki jurig seperti Mas Bambang.
“Kalian kenapa keluar dari dapur sama-sama?” Lagi dan lagi aku dikejutkan oleh sebuah suara, suara sang nona yang cantik dan perfeksionis.
“Tidak ada apa-apa, Sayang? Tadi aku hanya ingin mengambil air minum, kebetulan bertemu dengan dia di dapur,” sahut Mas Bambang, ternyata dia memang mengikuti langkahku.
“Kok kamu ambil minum ke dapur segala? Bukankah di kamar juga masih ada?”
“Emhh, itu sayang, aku ingin minum dingin,” kilah Mas Bambang lagi, pintar sekali dia berbohong.
“Tapi dia gak gangguin kamu ‘kan, Sayang? Aku gak mau loh suamiku yang ganteng ini digangguin wanita lain, apalagi dia cuma seorang pembantu!” tukas Mariana seraya melirik ke arahku.
Wanita itu masih menggelayut manja di lengan Mas Bambang.
pembantulah, semua pekerjaan di rumah orang kaya bisa teratasi. Jadi satu sama lain saling menguntungkan alias simbiosis mutualisme.
“Kau berani menjawabku?!” Nada suara Mariana makin tinggi.
“Sudah Mariana, yang dikatakannya juga memang benar. Dia gak bakal berani menggodaku, apalagi aku sudah punya kamu yang cantik ini. hmmm ...”