Jujur saja, semenjak hari yang terasa aneh itu berlalu, Clorine dan Revano menjadi terlihat semakin akrab. Sebenarnya karena Clorine yang lebih dulu mengikuti Revano seperti anak anjing. Namun lelaki bersurai hitam lebat itu tidak merasa keberatan sedikitpun.
“Jadi dia tidak pernah mengganggu mu lagi?” tanya Revano saat mereka berdua sedang mengerjakan tugas kelompoknya di rumah Clorine.
Gadis itu mengangguk, mengambil bantal di kasur untuk menyangga dagunya ketika mengetik tugas di laptopnya. Revano hanya santai duduk di karpet bulu Clorine dengan hidangan yang telah disiapkan Mrs. McCanne.
“Rasanya sedikit lebih tenang beberapa hari ini.” akunya lalu menjauhkan laptop dari hadapannya. Dia mendekati Revano dan menatap dalam-dalam lelaki itu dengan kedipan matanya yang lucu.
Revano tersedak minumannya sehingga dia menepuk-nepuk dadanya yang terasa sakit.
“Ada apa dengan wajah mu? Berhentilah melakukan hal itu setiap kali penasaran tentang ku.”
“Aku hanya ingin tahu kemampuan mu.” Bibir Clorine mengerucut kesal. Apa kau punya semacam indera ke enam dan sebagainya?”
Revano menghela nafas, memilih menyender di ujung kasur Clorine dan menatap gadis itu.
“Ini rumit.”
“Apanya yang rumit?” Clorine berdecak sebal. “Kau hanya perlu mengatakan sesuatu padaku hingga aku mengerti. Semuanya tidak akan menjadi rumit nanti!”
“Baiklah, baiklah.” Revano akhirnya mengalah. “Aku hanya bisa melakukan apa yang orang lain tidak bisa.” dia tersenyum kecil. “Sedikit istimewa.” dia menghela nafas kemudian berdiri dan mengambil ranselnya yang berada di sofa.
Clorine hanya memperhatikan dalam diam, menunggu apa yang ingin dilakukan anak itu. “Cukup sampai disitu. Selebihnya—rahasia.”
“Yak! Revan!”
“Selamat malam, nona McCanne. Jangan lupa bawa bagianmu besok.”
Revano menutup pintu kamar Clorine kemudian.
***
Pagi-pagi sekali Audrel sudah menarik lengan Clorine yang sudah hampir masuk ke dalam kelas. Clorine yang kebingunan hanya mengikuti langkah sahabatnya yang terlihat aneh.
“Kau tahu? Tiba-tiba ada seorang siswi baru dan dia sedang mengambil atensi Revano saat ini.” Audrel mencecar Clorine dengan mata yang terlihat menyala-nyala. “Dan dia menaruh tasnya dikursi mu! Dia berusaha mencuri perhatian Revano dan sialnya, dia berkali-kali terlihat menggoyangkan kedua boobsnya. Oh sialan.” Audrel menepuk dahinya tak percaya. “How b***h this girl.”
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan, mate.”
Clorine bersuara. Terlihat tak perduli dan menjauhi Audrel untuk sampai ke kelasnya. Hingga dia menyaksikan sendiri seorang perempuan yang terlihat sama seperti penjelasan Audrel barusan.
“This bitch.”
“Aku mendukung mu untuk mengacak rambut ikalnya, nyonya.” bisikan Audrel penuh semangat disebelahnya membuat jiwa Clorine mendadak berapi-api.
Namun sedetik kemudian dia menghela nafas.
“Lupakan. Aku akan duduk dengan Bobby.”
Audrel yang melihat kelakuan sahabatnya itu mulai menganga tak percaya.
“Yah! Stupid, Clorine!”
Rupanya teriakan Audrel cukup mencuri atensi Revan—yang sebelumnya berpura-pura sibuk dengan buku dimejanya demi menghindari anak baru disebelahnya. Dia mengerutkan dahi heran saat melihat Clorine mengambil kursi depan yang sebelumnya paling dihindarinya—bukannya duduk disebelahnya dan membantunya mengusir wanita jadi-jadian ini.
“Kau sungguhan rela jika Revano mu terkena bisa ular itu?”
“Berhentilah mengatakan hal bodoh. Aku dan Revan bukan apa-apa dan tidak akan pernah menjadi apa-apa. Lagipula aku tidak akan repot-repot adu mulut dengan gadis itu demi sebuah kursi—jika teman sebangku ku terlihat baik-baik saja saat perempuan itu ada disebelahnya.”
“Ini bukan dirimu sekali, Clo. Seorang Clorine McCanne tidak pernah menyerah atas apa yang dia inginkan.” Audrel melotot lebar. Berusaha mengingatkan sahabatnya bagaimana rupa gadis itu sebenarnya selama ini.
Hey, mereka duo keributan. Guru-guru bahkan lebih mengenal mereka dari pada berandal sekolah yang setiap hari bolak-balik ruangan bimbingan konseling.
“Aku sedang tidak mood.”
“Aku sedang tidak mood.” bola mata Audrel memutar saat meniru ucapan Clorine dengan nada mengejek. “Jatuh cinta memang membuat mausia menjadi bodoh.”
“Siapa yang sedang jatuh cinta?!”
Teriakan itu, mata yang melotot dan raut terkejut dari Audrel membuat Clorine menyadari dia baru saja terpancing emosi.
Huh, dia tidak sedang jatuh cinta. Titik.
Seisi kelas memperhatikannya dengan kesunyian, membuat Clorine yang menyadari tatapan Revano juga mengarah kepadanya segera berlari keluar untuk menghindarinya.
“Clorine! Tunggu aku!” Audrel berterik
Ugh. itu benar-benar memalukan. Ujarnya Clorine didalam hati.
***
Hari demi hari Revano lewati dengan kerutan di dahi dan helaan nafas yang panjang setiap kali dia berusaha menyapa Clorine yang seperti sedang menghindarinya beberapa minggu ini. Jujur saja dia tidak tahu apa yang salah pada dirinya hingga Clorine membuang muka setiap kali mereka berpapasan—atau bahkan secara tidak sengaja berada dalam satu ruangan. Padahal sebelumnya mereka masih mengerjakan tugas kelompok bersama-sama dirumah gadis itu.
Apa ini gara-gara dia tidak mau menceritakan alasannya bisa bersentuhan dengan mahluk itu? Revano selalu bertanya-tanya.
Bahkan ketika mereka kembali satu kelompok saat kemah akhir tahun tiba, gadis itu hanya membicarakan basa-basi tentang segala keperluan mereka, selebihnya mereka hanya akan terlibat obrolan grup.
Tangan pemuda bersurai hitam itu menggenggam erat pergelangan tangan Clorine saat mereka hanya berdua di tepi danau karena yang lain sudah lebih dulu kembali ke perkemahan dibalik rimbunan semak belukar dibelakang mereka.
“Ada apa?” tanya Clorine tak minat. “Berbicaralah. Tak perlu mencengkram tangan ku seperti ini.”
Revano menghela nafas kemudian melepaskan pegangan tangannya. “Kau selalu menghindar.”
Dengusan geli terdengar membuat Revano menatap nyalang gadis itu.
“Siapa?”
“Kau. Kau selalu menghindariku.” Jawab Revano. “Kau menghindar bahkan disaat aku tidak tahu kesalahan ku dimana. Kau ingin mengatakan sesuatu?”
“Tidak.”
“Apa yang salah dengan mu, Clorine?”
Clorine menghela nafas, berbalik dengan raut kesal dan menatap Revano lagi. “Semuanya hanya masalah ku.” Putusnya. “Kesalahan ku. Mengenal mu dan semua rasa kesal yang muncul setelahnya, itu hanya masalah ku.”
“Apa yang kau bicarakan, Clorine?”
“Hanya menjauh lah dari ku.”
Revano menatap Clorine tak percaya. Tertawa dengan rasa kesalnya yang membuncah dan berjalan melewati gadis itu. Sebelum dia berhenti dan berbalik lagi.
“Apa kau memperlakukan semua pria seperti ini, huh?” tanyanya dengan rahang yang mengeras.
“Apa maksud mu?” dahi Clorine mengerut tidak mengerti.
“Kau akan selalu menghindari mereka setelah memberikannya perhatian penuh yang kau miliki. Setelah semua hal yang kau lakukan hingga membuat mereka tidak dapat berpaling. Kau meminta mereka menjauh.”
“Revano, kau—“
“Aku, Keanu, atau siapapun. Memang sebaiknya tidak perlu mengartikan segalanya lebih, bukan? Clorine?”
“Aku—“
***
“Aku rasa Revano juga menyukai mu, Clo.”
Audrel mengangguk dengan yakin membuat Clorine terbatuk karena terlalu terkejut.
Saat ini Audrel sedang berada di kamar Clorine, mendengarkan cerita gadis itu dengan matanya yang sudah hampir mengantuk—setelah dua hari yang lalu mereka kembali dari kemah akhir tahun yang sekaligus menjadi acara penutupan tahun pertama sekolah.
“Jangan bercanda.” elak Clorine yang membuat Audrel mendengus kesal.
“Tidak mungkin tidak jika dia membawa-bawa nama Keanu. Siapa lagi pria menyedihkan yang berhasil kau dorong setelah dia menyukaimu dengan sangat? Mereka berdua bisa membentuk club dan membentangkan banner bertuliskan ‘kami anggota patah hati nona McCanne.”
“Kau terlalu berlebihan.”
Audrel mengela nafas dan menatap sahabatnya dengan tatapan letih.
“Ayolah, Clo. Coba berfikir 100 langkah kedepan. Coba kau fikirkan apa yang akan terjadi jika kau tidak segera mengungkapkan perasaan mu kepada anak itu? Kau mau pujaan hatimu berakhir dengan nona bra kuning itu?”
“Perempuan tidak akan bergerak duluan.”
“Terserah padamu. Ku dengar Revano mengajukan cuti akademik untuk semester depan.” Audrel bersuara. “Mungkin jika nona baru itu tidak membuat mu gentar, pengajuan cutinya bisa membuatmu memikirkan hal ini berkali-kali.”
Clorine diam, hanya mendengarkan kalimat Audrel.
“Kapan lagi kau bisa bertemu dengannya dan mengungkapkan segalanya?”
***
“Clorine? Clorine adalah puteri yang sangat manis. Puteri yang sangat baik. Jadilah bayi yang penurut, hm?”
“Berlarilah sayang! Lari! Bawa dia kemanapun!”
Suara tangisa bayi dan suara tembakan petir dilangit membuat sang wanita dengan dress putihnya berlari dengan nafas putus-putus bersama bayinya.
Tangisan bayi kecil itu semakin keras saat mereka berada dipinggir jurang. Membuat sang ibu yang menatapnya meneteskan air mata sedih.
Wanita itu memeluk puterinya dengan erat dan berbalik menatap kelompok berjubah hitam dengan tatapan kosong. Setelahnya tubuh itu melemparkan dirinya sendiri kejurang dengan mata yang tepejam erat.
***
Clorine mengingau dengan peluh yang membasahi seluruh pakaiannya. Gadis itu mengigau mengucapkan beberapa kata yang membuat kedua orang tua dan saudaranya yang berusaha membangunkannya bersedih.
Tidak ada tanggapan dari gadis itu. Dia sibuk tenggelam dalam mimpi buruknya membuat nyonya McCanne memeluk tubuh suaminya erat.