Chapter-5 Gabriel Meresahkan

2300 Kata
*** Wellington, New Zealand,. Mansion William's,. Setelah dari pesta, Gamal dan Megan langsung pulang ke mansion mereka. Walau saat ini keluarga yang lain sedang berkumpul di mansion Blaxton, namun tidak dengan pasangan suami istri ini. Megan sangat kesal terhadap putranya, Gabriel, karena telah membawa kabur Caroline, sedangkan Gamal bersikap biasa saja. Pria itu sama sekali tidak marah atas tindakan putranya. Justru ia bangga sebab Gabriel dengan beraninya menentang Morgan. Apa yang telah dilakukan oleh putranya sudah benar. Gabriel hanya memperjuangkan gadis yang dicintai seperti dirinya dulu saat memperjuangkan Megan, walau semua itu tak lepas dari pengorbanan Morgan. "Aku benar-benar tidak habis pikir dengan putramu, Gamal. Bisa-bisanya dia membawa Caroline kabur seperti ini. Apa dia tidak berpikir jika tindakannya itu sudah mempermalukan keluarga besar kita? Dia memperlakukan Blaxton, dia juga mempermalukan William's! Apa sih yang sebenarnya dipikirkan oleh putramu itu, sayang?!" amuk Megan berapi-api. Sedangkan Gamal, pria itu hanya mampu menghela nafas pelan. Megan kembali melanjutkan. "Kamu lihat sendiri 'kan, bagaimana kecewanya Morgan terhadap Gabriel? Sebenarnya apa yang terjadi dengan Gabriel sampai dia tega memperlakukan Daddynya seperti ini?!" "Baby, putramu itu hanya memperjuangkan gadis yang dicintainya. Lalu apa yang salah dari itu semua?" ucap Gamal masih dengan nada rendah. Lantas, Megan tergelak ketika mendengar kalimat yang dilontarkan oleh suaminya itu. "Jadi, itu artinya kamu mendukung apa yang sudah dilakukan oleh putramu? Kamu membenarkan tindakan Gabriel, Gamal?" "Dia terpaksa melakukannya. Gabriel tidak bermaksud mempermalukan Morgan. Dan lagi, sudah berulang kali Gabriel meminta Caroline kepada Morgan, tapi Morgan selalu menolaknya. Lalu apa yang bisa dilakukan oleh putramu selain membawa Caroline pergi? Atau maksudmu, kau ingin Gabriel menerima takdirnya begitu saja? Melihat gadis yang dicintai menikah dengan pria lain?!" ungkap Gamal sepertinya ia mulai tersulut. Megan diam. Gamal kembali melanjutkan. "Seharusnya kau berkaca Megan. Apa yang terjadi pada Gabriel saat ini, pernah terjadi di masa lalu kita. Kau tidak mungkin lupa 'kan, Bagaimana dulu Jordhan menolakku?" Bahkan Gamal menyebut langsung nama mertuanya tanpa embel-embel 'Mas' seperti biasanya saat ia memanggil pria itu. Mendengar semua kalimat yang dilontarkan oleh suaminya, sontak membuat Megan mengatup rapat kedua bibirnya. Kini, ia menatap sang suami dengan tatapan bersalah. "Aku tidak menyalahkan Morgan yang menginginkan Caroline bersama Axel! Tidak sama sekali! Dan aku sadar, putra kita bukan orang biasa. Gabriel adalah Morgan di masa lalu. Musuhnya di mana-mana! Orang yang tidak menyukainya bertebaran di mana-mana dan itulah yang ditakutkan oleh Morgan." "Aku rasa bukan itu alasannya, sayang." sangkal Megan. "Lalu apa? Coba jelaskan padaku," titah Gamal. "Morgan hanya tidak enak hati kepada Charles. Dulu, Maureen menolak Axel. Lalu sekarang, Axel merasa dipermalukan oleh Caroline." terang Megan. Gamal terkekeh muak. "Baik Maureen ataupun Caroline, keduanya tidak ada yang menyukai Axel. Perasaan tidak bisa dipaksakan!" Gamal menatap Megan yang terdiam. "Janji? Yeah! Aku tidak pernah melupakan bahwasanya Morgan dan Charles pernah berjanji akan menjodohkan putra dan putri mereka. Tapi masalahnya, Caroline tidak mencintai Axel! Memang kalian tega membiarkan Caroline hidup bersama pria yang tidak dia cintai?" "Hah! Aku tidak mengerti lagi dengan jalan pikiranmu, Megan. Kau ini adalah ibunya. Bukannya mendukung, kau malah ikut menyalakan putramu!" "Bukan begitu maksudku, sayang. Aku hanya—," Megan tidak dapat melanjutkan kalimatnya, sebab Gamal memotong. "Kau mengenal putramu dengan baik, bukan? Ketika Gabriel sudah berani mengambil keputusan seperti ini, maka itu artinya Caroline akan baik-baik saja. Caroline akan aman bersamanya!" Sejenak, Gamal menarik nafas dalam, kemudian ia kembali melanjutkan. "Aku heran dengan kalian semua. Kalian seakan menutup mata dengan semua pengorbanan Gabriel selama ini. Bagaimana Gabriel melindungi Caroline dan Clarissa. Itu semua seakan tak ada gunanya di mata kalian! Aku paham jika saat ini Morgan menyalahkan Gabriel. Morgan adalah Ayahnya Caroline, gadis yang dibawa kabur oleh putramu. Dan wajar saja pria itu kecewa dan menyalahkan putramu! Tapi kau, kau itu adalah Ibunya. Seharusnya kau mengerti bagaimana posisi putramu dan bagaimana dengan perasaannya!" cecar Gamal. Perlahan Megan memundurkan langkah mendekat kearah sofa. Ia mendaratkan bokongnya disana. Mendengar semua ungkapan suaminya lantas membuat Megan merasa sesak. "Mom, Dad?" Tiba-tiba suara seseorang lantas menarik perhatian mereka berdua. Gamal menoleh dan melihat putrinya, Maureen berdiri tak jauh dari mereka. Maureen adalah adik perempuan Gabriel. Maureen mendekat ke arah Ayahnya, lalu meraih lengan kanan sang Ayah dan memeluk manja. "Jangan marah-marah, Dad. Tenanglah. Aku tidak mau nanti Dad sakit." ucap Maureen sambil melemparkan senyum pada sang Ayah. Gamal menghela nafas pelan, kemudian mengangguk pelan. Setelahnya, Gamal mengecup lembut kening putrinya dan mengusap perut buncit Maureen beberapa kali. Perempuan itu sedang mengandung anak kedua. "Dad baik-baik saja, sayang. Kemana suamimu?" tanya Gamal. "Suamiku yang tampan langsung ke mansion Daddy. Aku yang memintanya karena Sein menangis ingin kesana." jawab Maureen. Sein adalah anak pertamanya berusia 3 tahun. "Lalu kenapa kamu tidak ikut?" Maureen mengedikkan sebelah. "Aku sengaja mampir dulu, karena aku sudah menebak, Mom dan Dad pasti akan ribut karena Kak Gabriel." "Kami tidak ribut, sayang." sangkal Gamal. "Aku tidak tuli, Dad." Gamal terkekeh pelan. "Jangan marah-marah, nanti kalau Dad sakit, Sein pasti akan minta yang aneh-aneh. Aku pusing, Dad. Dia selalu meminta kami supaya meniup tubuhnya biar cepat besar." Gamal lantas tertawa. "Gen Ibumu dan kamu yang membuat Sein seperti itu." Maureen mengerucutkan bibir. "Dia begitu 'kan karena ingin menjadi Dokter biar bisa merawatmu, Dad." "Kita cari Dokter lain saja, sayang. Dad khawatir, usus Dad akan dia buatkan gulai. Gulai usus. Tidak lucu sekali." gurau Gamal. Reflek, Maureen menepuk gemas lengan Ayahnya sambil tertawa. Begitupun dengan Megan. Wanita paruh baya itu ikut tertawa. "Ya sudah, Dad ke ruang kerja sebentar." ucap Gamal. Maureen mengangguk. "Kamu tidak menyusul mereka ke mansion Daddy mu?" tanya Gamal. Maureen menggeleng. "Pinggangku sakit, Dad. Sein dan Daddynya hanya akan sebentar disana, dan Kami akan menginap disini malam ini." terangnya. Gamal pun mengangguk pelan. "Ya sudah, kalau begitu, istirahatlah." Maureen mengangguk pelan, dan setelah itu Gamal pun melenggang pergi menuju ruang kerjanya. Sementara Maureen, perempuan itu mendekati Ibunya dan mendaratkan bokongnya di samping kanan wanita itu. "Mom percaya tidak, kalau Carol menyukai Kak Gabriel?" tanya Maureen tiba-tiba. Megan lantas menoleh menatap lekat wajah cantik putrinya. "Percaya tidak?" ulang Maureen. Megan menggeleng pelan. "Mom tidak tahu, sayang." "Suka, Mom! Carol suka sama Kak Gabriel. Hanya saja, Carol belum menyadari perasaannya." ungkap Maureen. Megan diam. Sejenak, Maureen menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. "Kita bayangkan saja, Mom, andai Carol menikah dengan Axel. Apa nanti dia tidak akan berselingkuh?" Kali ini Megan langsung membulatkan mata. "Astaga…! Sayang?!" pekiknya. "Ish, jangan teriak dulu, Mom." "Bagaimana Mom tidak teriak, Maureen!" "Duh, Mommy kenapa tidak peka sekali?! Coba Mommy bayangkan kalau saja kak Gabriel tidak menculiknya. Ish, aku yakin sekali, kak Gabriel pasti akan menggodanya dan mengajaknya berselingkuh. Kan jadi rusak citra keluarga kita." "Maureen, sayang, cukup!" Bukannya mengindahkan ucapan Ibunya, Maureen justru semakin menjadi-jadi. "Kalau sampai itu terjadi, bisa terkena serangan jantung kita semua, Mom. Kalau menurutku, lebih baik diculik Kakak Sepupu, daripada Berselingkuh dengan kakak Sepupu, ya kan?" "Terserah kamu! Lama-lama Mommy bisa gila kalau bicara sama kamu!" ketus Megan lalu bangkit dari duduknya. "Mommy, aku belum selesai. Masih banyak angan-angan buruk lainnya, Mom. Kau harus mendengarnya." pekik Maureen. Namun wanita paruh baya itu tak menghiraukannya dan terus melangkah pergi. "Kenapa sih, orang-orang tidak ada yang betah kalau berdiskusi sama aku. Heran!" gerutunya sambil mengusap lembut perut buncitnya. ° ° Mansion Blaxton,. Ruang kerja Morgan,. "Jadi kau benar-benar tidak tahu di mana Lucas saat ini, Aland?" tanya Morgan kepada Aland. Putra sahabatnya, Theo. "Aku tidak tahu, Uncle. Lucas tidak mengatakan apapun padaku." jawab Aland. Sejenak, Morgan menatap Aland dengan tatapan curiga. Dan sebenarnya Morgan sadar jika pemuda ini sedang berbohong padanya. Sebab mana mungkin Aland tidak tahu di mana Lucas saat ini. "Iya sudah kalau begitu. Kalau kau tidak tahu, biar aku kerahkan mereka semua untuk mencarinya." ucap Morgan. Aland diam tetap dengan ekspresi biasa saja. "Kalau nanti Lucas menghubungimu, katakan padanya, aku akan menghancurkan markasnya. Aku tidak bermain-main, Aland." ungkap Morgan. "Yeah, nanti aku sampaikan." sahut Aland. "Ada lagi yang ingin Uncle bicarakan?" "Itu saja." jawab Morgan. "Baiklah kalau begitu, aku permisi." pamit Aland. Setelah Morgan mengangguk pelan, Aland pun bergegas melangkah keluar dari ruangan itu meninggalkan Morgan seorang diri disana. °°° "Sayang…," panggil Celine saat melihat sang suami keluar dari ruang kerjanya. Celine melangkah ke arah Morgan lalu bertanya. "Kau memarahi Aland?" Morgan lantas memicingkan kedua mata menatap Istrinya. "Kenapa kau malah menuduhku seperti itu?" tanyanya. "Aku bukan menuduhmu, tapi aku bertanya, sayang." "Tapi pertanyaanmu itu terkesan menuduhku, Baby." Celine mendengus pelan. Ia enggan berdebat. "Ya sudah, terserah kamu saja. Bicara sama kamu itu serba salah. Ditanya baik-baik malah disangka nuduh!" ketus Celine. Kemudian berlalu pergi dari sana menghampiri keluarga yang lain. Sedangkan Morgan, pria itu masih dengan posisi yang sama, berdiri berkacak pinggang sambil menatap punggung istrinya yang mulai menghilang dari pandangannya. Sekali lagi, Morgan kembali menghela nafas gusar. Malam ini ada banyak sekali yang membuatnya pusing. Gabriel membawa putrinya, Clarissa terpaksa menggantikan posisi Caroline, lalu Lucas, putra sulungnya tiba-tiba menghilang bersama Erlan setelah acara pesta dibubarkan. Ditambah ia malah berdebat dengan istrinya. Demi apapun, kepala Morgan rasanya mau pecah. 'Aku yakin sekali, Lucas dan Erlan pasti pergi menyusul Gabriel. Keterlaluan! Bisa-bisanya mereka mengerjaiku seperti ini!' geram Morgan dalam hati. Kemudian, Morgan membuka langkah hendak menuju ruang keluarga. "Morgan…," Morgan menghentikan langkah. Ia menoleh kebelakang melihat Ayahnya, Jordhan, yang sedang menghampirinya. "Kau baik-baik saja?" tanya Jordhan. Morgan diam menatap sang Ayah dengan tatapan datar. "Tertawa saja, Dad, tidak perlu ditahan-tahan." sarkas Morgan. Jordhan mengulum senyum dan berusaha menahan kedutan di kedua sudut bibirnya. "Yang sabar, Nak. Dad paham bagaimana perasaanmu saat ini." ucap Jordhan. Morgan mendengus. "Dan perlu Dad ingatkan lagi padamu. Mau bagaimanapun bentuk penolakan mu padanya, Gabriel tidak akan mundur. Itu semua gara-gara dukungan dari kelapa suku Blaxton." Jordhan tertawa pelan. "Tuan Mark pasti sedang bahagia diatas sana. Dia bahagia karena melihat cucu kebanggaannya ini sedang frustasi." Jordhan menepuk pelan bahu Morgan. "Sang Devil yang sudah tidak Devil lagi." imbuhnya diiringi dengan tawa berderai. ° ° Italia,. Pagi hari,. Ceklek! Gabriel membuka pintu kamar yang ditempati oleh Caroline saat ini. Setelah daun pintu terbuka sedikit lebar, sejenak, Gabriel berdiri di bibir pintu sambil menyandarkan sebelah bahu. Ia menatap lekat ke arah ranjang. Sementara di atas ranjang berukuran king size itu, Caroline masih terlelap. Gadis itu membungkus tubuhnya dengan selimut tebal berwarna putih. Setelah menatap beberapa saat, akhirnya Gabriel lanjut melangkah dan tidak lupa pria itu menutup pintu terlebih dahulu. Gabriel terus melangkah ke arah ranjang. Di sana terdapat sebuah sofa dan Gabriel pun mendaratkan bokongnya, sedangkan tatapannya tak lepas dari sosok cantik itu. Hampir 10 menit kurang Gabriel menghabiskan waktu duduk di atas sofa itu, dan tak berselang lama Caroline mulai menggeliat pelan. Masih dengan kedua mata tertutup rapat, Caroline membawa sebelah tangan menggosok hidung mancungnya. "Good morning, My Carol." sapa Gabriel dengan suara serak. Deg! Lantas, Caroline terjingkat. Gadis itu membuka kedua mata lebar-lebar dan pandangannya langsung tertuju pada sosok Gabriel. Ia terkejut saat mendapati Gabriel berada di dalam kamarnya. Sial! Ia baru saja bangun tidur. Penampilannya sudah pasti berantakan. "Bagaimana tidurmu? Kau mimpi indah?" tanya Gabriel. "Apa yang kamu lakukan disini?!" pekik Caroline, galak sambil menegakkan tubuhnya. Gabriel lantas terkekeh pelan. Pria itu terus memandang lekat wajah polos Caroline. "Semakin berani. It's oke, aku menyukai sikapmu yang seperti ini." ucap Gabriel. Caroline lantas memutar malas kedua bola matanya. Kemudian gadis itu menyandarkan punggungnya pada sandaran ranjang sambil menarik selimut membungkus tubuhnya. Penampilannya cukup seksi. Caroline melirik ke arah lantai dan melihat bra-nya yang tergeletak tak jauh dari kaki pria itu. Lantas, Gabriel pun turut menurunkan pandangannya. Lagi-lagi Gabriel kembali terkekeh pelan. Kemudian ia menegakkan tubuhnya lalu mengulurkan tangan meraih kain penyangga itu. Caroline gugup sekaligus malu. "Kau terbiasa tidur tanpa menggunakan bra?" tanya Gabriel. Deg! Caroline membelalak lebar saat mendengar pertanyaan Gabriel. Dan sialnya kedua pipinya yang putih mulus sontak merona begitu saja. "Kembalikan bra ku! Jangan sentuh-sentuh!" larang Caroline dengan nada ketus. Bukannya mengindahkan larangan gadis itu, yang ada, Gabriel malah melipat kain penyangga itu dengan santai. Selang beberapa saat kemudian, Gabriel lantas mengerutkan kening sambil menatap lekat kain di tangannya itu. Sepertinya Gabriel sedang memikirkan sesuatu. Ia pun kembali membuka lipatan kain penyangga itu dan melihat sesuatu di sana. Sedangkan Caroline masih di posisinya duduk meringkuk di atas ranjang sambil membungkus tubuhnya dengan selimut sebatas d**a. Ia memperhatikan Gabriel, penasaran dengan apa yang sedang dilakukan oleh pria itu. "Apa yang sedang dia lakukan? Ck, dasar menyebalkan!' gumamnya dalam hati. Setelah melihat sesuatu disana, pun Gabriel menarik pandangannya dari kain penyangga itu, lalu beralih menatap Caroline. "Ukuran yang luar biasa, Baby. Aku menyukainya." ucapnya tanpa dosa. Deg! Caroline sontak membelalak kedua mata saat mendengar ucapan Gabriel barusan. Gabriel bangkit dari atas sofa, kemudian melangkah pelan ke arah ranjang. Sedangkan Caroline, gadis itu semakin mengeratkan selimutnya. Entah kenapa, ia tiba-tiba gugup dan takut saat melihat Gabriel mendekat ke arahnya. Gabriel seolah-olah bukanlah kakaknya, tetapi seorang penjahat yang hendak merenggut sesuatu pada dirinya. Ditambah lagi, melihat wajah dingin dan datar Gabriel membuat Caroline tak mampu berkutik. "Apa yang mau kau lakukan?" tanya Caroline gugup saat Gabriel berhenti tepat di sisi ranjang. Gabriel menundukkan pandangannya. Ia mengulurkan sebelah tangan dan membelai lembut garis wajar Caroline, kemudian berkata. "Persiapkan dirimu, karena nanti malam, kita akan menikah." ucap Gabriel. Caroline kembali tertegun. Ia hendak mengeluarkan protesnya, tapi urung dan refleks memejamkan kedua mata saat Gabriel mendaratkan kecupan lembut di atas dahinya. "Kita akan segera menikah, Princess. Calon istri." bisik Gabriel sembari menghadiahi satu kecupan basahnya di daun telinga Caroline. "Aku tidak setuju." gumam Caroline masih dengan kedua mata terpejam. Bukannya karena rasa takut, tetapi sialnya, ia menikmati sentuhan bibir pria itu di telinganya. "Aku tidak membutuhkan persetujuanmu." balas Gabriel. Gabriel menjauhkan bibirnya dari telinganya Caroline. Kemudian ia menarik pelan sisi selimut itu sehingga menampakan bahu polos Caroline. Gabriel kembali mendekatkan bibirnya dan mengecup kulit mulus gadis itu. "Jika kau bersedia, nanti malam aku akan memberikanmu sentuhan yang lebih memabukkan dari ini." Deg! "Malam pertama, Baby!" 'Ck! Aku berkedut Gabriel sialann!' teriak Caroline dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN