Chapter-4 | Menikmati Sentuhan

1362 Kata
*** Clarissa Leonara Blaxton, rupanya gadis itu benar-benar akan menggantikan posisi adiknya, Caroline. Setelah Clarissa menyanggupi permintaan Axel, gadis itu langsung dibawa masuk ke ruang khusus. Di sana dua orang wanita yang tidak lain adalah MUA membantu Clarissa berhias. Sedangkan tak berselang lama setelah itu, seseorang mengantar sebuah gaun pengantin yang akan dikenakan oleh Clarissa. Gaun yang tak kalah cantik dari milik Caroline sebelumnya. Dan gaun itu disiapkan oleh Axel. Sementara Clarissa berhias dan bersiap-siap di ruangnya, di luar sana Morgan sedang berbicara dengan Charles, orang tua Axel. Meskipun Clarissa menyetujui permintaan Axel, tapi entah kenapa Morgan malah tidak setuju dengan keputusan putrinya itu. Morgan khawatir Axel akan menaruh dendam pada putrinya karena merasa dipermalukan oleh Caroline. Morgan khawatir Clarissa malah akan menderita, sedangkan dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi setelah Clarissa resmi dinikahi oleh Axel, putrinya itu sudah pasti akan diboyong oleh suaminya, sebab tempat tinggal Axel bukanlah di Wellington, melainkan di California. Itu artinya Morgan sulit memantau keadaan putrinya. Ia juga tidak memiliki kuasa apapun untuk menghentikan semua ini, karena putrinya sendiri yang menyanggupi permintaan Axel. "Tidak mengapa, Dad. Tidak ada yang buruk dari Axel. Dia tampan, mapan, kaya raya, pengusaha … aku menyukainya. Lagipula aku tidak memiliki kekasih, dan tidak ada yang memberatkanku untuk mengabulkan permintaannya. Biarkan Caroline pergi. Tidak mengapa, aku saja yang menggantikan posisinya. Aku tidak terpaksa melakukannya, Dad. Dan aku juga tidak akan menderita. Tolong percayakan semuanya padaku." Itulah kalimat yang sempat diucapkan oleh Clarissa kepada sang Ayah, Morgan, beberapa saat lalu. Kalimat itu lantas membuat Morgan Dilema. Morgan merasa bersalah terhadap putrinya, sedangkan di sisi lain ia sangat geram terhadap Gabriel karena sudah mengambil tindakan seperti ini. Sungguh demi apapun Morgan tidak menyangka sama sekali Kalau Gabriel akan nekat seperti ini membawa kabur putrinya di saat Gadis itu hendak mengesahkan pernikahannya bersama pria lain. "Permisi, Tuan." seru seorang pria. Reflek, Morgan memutar tubuh menghadap ke arah pria itu. Pria yang tidak lain adalah salah satu pengawalnya. "Bagaimana? Kalian berhasil mengikuti Gabriel?" tanya Morgan. "Maaf, Tuan, mereka gagal." "GAGAL…?! GAGAL KAU BILANG!" amuk Morgan. "Kalian sebanyak itu gagal mengejar Gabriel?!" "Masalah, empat pengawal lainnya tewas, Tuan. Mobil mereka telah dipasangkan bom oleh Tuan Gabriel." terang pria itu. Deg! Morgan terkejut tentu saja. 'Oh astaga Gabriel, apa yang kau lakukan, Nak?' batin Morgan. "Morgan…?" panggil Gamal, Ayahnya Gabriel. Gamal melirik pengawal itu supaya meninggalnya bersama Morgan disana. Dan setelahnya sang pengawal pun berpamitan dan melenggang pergi dari sana. "Berhentilah mengejarnya, atau pengawal-pengawalmu yang tidak berdosa itu akan habis dibunuh oleh Gabriel." ucap Gamal. Morgan menatap datar adik iparnya itu. "Gabriel benar-benar keterlaluan, Gamal!" geramnya. Gamal mengedikkan sebelah bahu. "Tidak ada yang bisa aku lakukan, Morgan. Bukankah Gabriel adalah hasil didikan mu?" Deg! "Ketika dia sudah bertindak seperti ini, jangankan aku, bahkan kau saja tidak akan bisa menghentikannya. Dan itu semua hasil dari didikan mu. Jadi sekarang, kalau boleh aku sarankan, berhentinya mengejarnya." "Tapi semua ini berimbas pada Clarissa, Gamal! Apakah kau tidak memikirkan putriku?!" desis Morgan. "Aku yakin, Clarissa bisa menanganinya." pungkas Gamal. Morgan diam. "Jika saja Axel berani menyentuhnya dan menyakitinya, aku yakin, Clarissa akan mematahkan lehernya." imbuh Gamal. Setelah mengatakan itu, Gamal pun berlalu pergi dari sana membiarkan Morgan menatap punggungnya yang semakin lama semakin menjauh. _¤_ Beberapa jam kemudian… Italia… Setelah menghabiskan waktu beberapa jam diperjalanan akhirnya Gabriel dan Caroline sampai di Italy. Dan saat ini mereka berdua berada di sebuah penginapan yang telah dipersiapkan oleh Gabriel sebelumnya. Karena sebelum membawa Caroline kemari, tentunya Gabriel sudah mempersiapkan semua yang akan dibutuhkan oleh gadisnya. "Hey…," Gabriel mendekat dan menyentuh bahu kanan Caroline. Gadis itu menepis kasar. "Kau tidak mau makan?" tanya Gabriel mengabaikan sikap dingin Caroline. "Aku tidak lapar!" jawab Caroline. "Makan sedikit saja. Nanti kau sakit, Carol." Caroline diam. "Atau mau aku suapin? Boleh-boleh saja. Dengan senang hati. Kau mau pakai apa, hmm? Sendok, tangan, atau mulut?" Caroline langsung menatap tajam. "Jangan berharap banyak! Karena, meskipun nanti kau menikahiku, kau tidak akan mendapatkan apapun dariku! Apapun!" tekan Caroline di akhir kalimatnya. Gabriel kembali mengedikkan sebelah bahu. "Aku tidak akan meminta apapun, karena yang akan memohon adalah kau. Bukan aku." ucapnya. "KELUARRRRR…!" teriak Caroline. Dadanya naik turun akibat nafas yang bergemuruh. Tak ingin membangkin sisi iblis gadisnya, Gabriel pun mengalah dan melenggang keluar dari dalam kamar gadis itu. Caroline mendaratkan bokongnya di atas sofa dekat ranjang. Ia mulai terisak. Caroline menangis karena rasa kesalnya terhadap Gabriel. 'Maafkan aku, Dad.' gumamnya dalam hati. Sebenarnya Caroline menangis bukan karena sakit hati terhadap Gabriel, tetapi ia menangis karena memikirkan Ayahnya. Morgan. Selang beberapa menit kemudian, Caroline bangkit dari atas sofa dan melangkah lebar menuju pintu. Ia keluar dari kamarnya dan terus melangkah mencari keberadaan Gabriel. "Kau tahu dimana Gabriel?" tanya Caroline pada seorang maid. "Tuan Gabriel sedang di ruang kerjanya, Nona." jawab maid itu. "Terima kasih." ucap Caroline dan maid itu membalasnya sambil tersenyum ramah. Kemudian Caroline lanjut melangkah menuju ruang kerja Gabriel. Ceklek! Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Caroline langsung membuka lebar dan masuk. Tidak lupa, ia menutup kembali daun pintu rapat-rapat. "Kak Gabriel, pinjam ponselmu sebentar, aku mau hubungi Dad." ucap Caroline setelah menghentikan langkah disamping kursi kerja Gabriel. Gabriel mendongak menatap Caroline. Ia memperhatikan wajah cantik itu. Lebih tepatnya memperhatikan kedua mata Caroline yang memerah. "Nanti setelah kita menikah, baru kau boleh menghubungi Dad." putus Gabriel. Mendengar keputusan Gabriel, lantas membuat Caroline membeliak kedua mata. "Apa kau bilang…?! Nanti setelah kita menikah?! Aku tidak mau! Aku mau hubungi Dad sekarang!" "Keputusanku sudah bulat, Carol. Aku tidak suka dibantah, dan sebaiknya kamu menuruti apa yang aku katakan. Kau mengerti?" Gabriel kembali melanjutkan. "Aku tidak mengizinkanmu untuk menghubungi siapapun untuk saat ini. Meskipun itu adalah Dad dan Mom sekalipun." Caroline mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Nafasnya terdengar memburu akibat rasa kesalnya terhadap Gabriel. Sejak kapan pria ini jadi menyebalkan seperti ini, pikirnya. "Dasar menyebalkan! Egois tidak tahu diri! Aku membencimu asal kau tahu!" teriaknya kuat didepan Gabriel. Sementara pria itu hanya diam saja. Kemudian, Caroline menarik dirinya hendak meninggalkan pria itu disana. Namun sayangnya ia kalah cepat dari gerakan Gabriel. Pria itu meraih sebelah lengannya dan menariknya dengan sekali sentakan, dan membiarkan Caroline duduk diatas pangkuannya. Caroline memekik, gadis itu terkejut sekaligus gugup. "Sejak kapan kau berani membentakku, huh?" suara Gabriel terdengar serak di belakang telinganya. Caroline diam membeku. Dan sialnya, ia malah berdebar. "Lepaskan aku." pintanya. Namun sayang, pelukan erat Gabriel di perutnya semakin erat. "Sekarang jawab pertanyaanku. Apa yang ingin kau bicarakan dengan Dad, hmm?" tanya Gabriel. "Aku mau tahu bagaimana keadaan disana setelah kau menculikku!" ketus Caroline. Lantas, Gabriel terkekeh pelan saat mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Caroline barusan. "Kata siapa aku menculikmu? Aku hanya mengambil milikku, Baby." Deg! Oh, sial! Caroline ingin pipis rasanya saat mendengar panggilan baru pria itu padanya. "Dan, kau tidak perlu memikirkan apa yang terjadi disana. Yang perlu kau lakukan saat ini adalah, persiapkan dirimu. Karena besok kau akan menjadi pengantin sesungguhnya. Kau dengar, Carol?" "Kamu tidak serius 'kan?" tanya Caroline pelan. beruntung ia duduk sambil memunggungi pria itu, supaya Gabriel tidak sampai melihat rona merah di kedua pipinya. "Apanya?" tanya Gabriel. "Menikahiku." "Tentu. Tentu aku serius. Bahkan sangat serius." balas Gabriel. Ia mendekatkan bibirnya lalu mengecup lembut punggung mulus Caroline yang sedikit terekspos. Sehingga membuat gadis itu reflek memejamkan kedua mata merasakan sentuhan lembut itu, bersamaan dengan bulu-bulu khusus di sekitar rahang Gabriel sedikit menusuk kulitnya yang mulus. Bukan sakit, tapi geli. "Aku tidak mau menikah denganmu." tolaknya dengan suara pelan dan serak. "Kenapa harus menolak, sementara kau sendiri mulai menikmati sentuhan ini?" Caroline kembali tertegun. 'Astaga! Dia tau dari mana?!' pekik Caroline dalam hati. "Lepaskan aku! Lepas, Gabriel…!" ia memberontak dan terus berusaha melepas diri dari Gabriel. "Ssshhh aarrggg, Carol, stop!" "Aku bilang, lepas!" "Diamlah, Carol. Juniorku sakit. Diam, Baby." erang Gabriel. Ia tidak berbohong. 'Miliknya' memang sakit karena terjepit. Sementara Caroline, gadis itu kembali diam mematung. "Bukan sekarang waktunya, kalau kau mau bergerak liar. Tapi nanti, setelah kita menikah. Kau bebas, Baby." "Dasar mesumm!" desis Caroline. "Tidak mengapa, wajar saja. Aku menyukaimu, tidak masalah bukan?" Caroline diam. "Aku mencintaimu, Caroline." "Aku sangat mencintaimu." ulangnya lagi sambil menarik pelan tubuh Caroline dan dibiarkan bersandar didada bidangnya. Kali ini Caroline tidak menolak. Justru ia memejamkan kedua mata, mencoba untuk menikmati momen diantara mereka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN