Chapter-6 | Malu-malu Tapi Mau

2009 Kata
*** Dari pagi hingga sore, Caroline hanya mengurung diri di dalam kamarnya. Caroline berusaha meyakinkan hatinya terhadap Gabriel. Ia semakin gelisa setelah pria itu mengatakan jika nanti malam mereka akan menikah. Caroline memikirkan keluarganya terutama sang Daddy, Morgan. Entah bagaimana kabar pria paruh baya itu saat ini, Caroline ingin sekali mendengar suaranya. Namun apa boleh buat, Gabriel tidak mengizinkannya untuk berkomunikasi dengan siapapun termasuk keluarganya. Menentang dan melawan pria itu rasanya percuma saja, sehingga membuat Caroline memilih menyerah dan pasrah begitu saja. Ia mengenal Gabriel dan sangat paham bagaimana karakter pria itu. Jika Gabriel sudah mengatakan tidak maka selamanya akan tetap seperti itu. Gabriel adalah tipe pria yang sangat berpegang teguh pada prinsipnya. Oleh sebab itu Caroline memutuskan mengurung diri di dalam kamarnya seharian ini. Dan tadi siang saat maid memanggil dirinya untuk makan siang, tetapi ia menolak. Namun maid itu tidak menyerah dan kembali menawarkan untuk membawa beberapa menu makanan ke dalam kamarnya. Namun sayangnya lagi-lagi Caroline menolak. Sementara saat itu Gabriel sedang tidak berada di penginapan. Pria itu keluar entah ke mana. Namun tak berselang lama setelah itu Gabriel pun kembali dan maid itu pun langsung melaporkan kepada tuannya jika Caroline menolak makan siang. Tak banyak bicara, Gabriel pun lekas mengambil alih sebuah troli yang sudah diisi dengan beberapa piring menu di atasnya dan membawa ke kamar Caroline. Ketika Gabriel menggenggam tuas pintu hendak membukanya, pria itu lantas berdecak kesal saat mendapati pintu yang dikunci oleh Caroline dari dalam sana. Namun, bukan Gabriel namanya jika tidak bisa membukanya. Gabriel membobol pintu itu dengan mudah dan hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja, pintu itu langsung terbuka lebar. Sementara Caroline yang hanya duduk terbengong di atas ranjang, sontak membelalak lebar. Lagi-lagi Gabriel berhasil menerobos ke dalam kamarnya. Dan setelah itu Gabriel memaksanya untuk menyantap beberapa menu yang ia bawa. Walau awalnya Caroline menolak, namun ketika gadis itu mendapati tatapan tajam yang dilemparkan oleh Gabriel kepadanya, lantas membuat nyalinya menciut. Dan pada akhirnya pasrah dan mengalah. Caroline menelan cukup banyak menu yang dibawakan oleh Gabriel. Bahkan pria itu ikut mencicipinya. Akhirnya mereka makan siang bersama di dalam kamar yang sama. Walau dulu momen seperti ini sering terjadi di antara mereka dengan suasana yang biasa saja, namun kali ini Caroline merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaannya berdebar antara malu dan gugup. Caroline selalu salah tingkah jika sudah berhadapan dengan Gabriel. Semuanya terasa berbeda ketika pandangannya berubah terhadap pria itu. Caroline menatap Gabriel sebagai seorang pria dewasa, bukan lagi sebagai seorang Kakak. Sial! Secepat itukah ia terpesona dengan pria itu? Entahlah, Caroline bingung. Saat ini, di matanya Gabriel adalah sosok pria dewasa yang sangat tampan. Tampan, gagah dan mempesona tentunya. °°° Ruang kerja Gabriel… "Permisi, Tuan." seru seorang pria berdiri tak jauh dari posisi Gabriel. Gabriel yang saat ini sedang berdiri didepan jendela sambil menatap kosong ke arah kolam renang diluar sana, pun membalikkan tubuh. Ia memandang pria itu yang kini berdiri di depannya. Pria yang tidak lain adalah asisten pribadinya yang memiliki nama, Ozzie. "Bagaimana, apakah semuanya sudah beres?" tanya Gabriel. "Semuanya sudah beres, Tuan, dan saya sudah memastikannya berulang kali. Saya sangat yakin, acara Anda akan berjalan dengan lancar." jawab Ozzie yakin. Gabriel mengganggu pelan beberapa kali. "Yeah, sudah seharusnya seperti itu. Karena kalau tidak lancar, orang pertama yang akan bertanggung jawab adalah kau." Glek! Ozzie lantas meneguk saliva susah payah saat mendengar ucapan sang Tuan. Apalagi melihat tatapan penuh intimidasi yang dilemparkan oleh Gabriel kepadanya. "S-Saya sangat yakin, Tuan. Dan setelah ini saya akan kembali memastikannya." ucap Ozzie. Yah, dia harus memastikan kembali, daripada akan terjadi kesalahan karena keteledorannya dan semua itu akan berdampak buruk terhadap dirinya sendiri. Tentunya Gabriel tidak akan pernah memberi ampun, sebab acara ini adalah acara yang sangat penting bagi pria itu. Gabriel tidak cukup baik untuk mentolerir kesalahan seseorang jika itu sudah menyangkut sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Dan Ozzie sangat paham itu. Oleh karenanya ia akan kembali memastikan semuanya. "Baiklah. Kalau begitu...," Gabriel tak dapat menyelesaikan kalimatnya, karena tiba-tiba pintu ruang kerjanya terbuka lebar. Ceklek! Gabriel melempar pandangan ke arah pintu begitupun dengan Ozzie. Di sana sosok Lucas berdiri menjulang. Pemuda itu bersama sang sepupu, Erlan. Setelahnya Gabriel memberi anggukan pelan kepada Ozzie dan pria itu langsung mengerti. Ozzie pun lekas berpamitan kepada Gabriel dan keluar meninggalkan mereka. Setelah Ozzie keluar, pintu pun kembali tertutup rapat. Lucas melangkah ke arah Gabriel begitupun dengan Erlan. Setelah menghentikan langkah tepat di samping meja, Lucas menghempaskan sebuah map berwarna coklat di tangannya ke atas meja. Gabriel melirik sejenak sebelum membuka suaranya. Kemudian karena rasa penasarannya, ia langsung meraih map itu. Gabriel membuka dan melihat isiannya. Dan selang beberapa detik kemudian, senyum puas tersungging lebar di bibirnya. "Kakak ipar memang selalu bisa diandalkan." gumam Gabriel. Erlan terkekeh pelan. Sedangkan Lucas mendengus dan menatap datar pada Gabriel. "Masih calon!" tangkas Lucas. "Oh, ayolah…, Ini hanya perkara waktu yang tinggal beberapa jam saja, Lucas." balas Gabriel. Lucas enggan membalas, lelaki itu lebih tertarik mendaratkan bokongnya di atas salah satu kursi ini depan meja kerja Gabriel. Ia menyandarkan punggung lebarnya di sana. Sedangkan Gabriel turut memperhatikan. Tampak jelas di wajah Lucas kalau lelaki itu sedang frustasi. Gabriel menebak mungkin saja Lucas pusing dengan semua yang sedang terjadi. Sedangkan Erlan yang sejak tadi hanya diam saja, pun membuka suara. "Axel meminta Clarissa menggantikan Caroline." Deg! Gabriela lantas melempar pandangan ke arah adiknya. Ia menatap pemuda itu dengan kening berlipat. "Yeah, setelah kau membawa Caroline pergi, Axel meminta Clarissa sebagai gantinya." terang Erlan lebih jelas. "Dan kalian membiarkan itu terjadi?" sinis Gabriel sambil menatap Erlan dan Lucas bergantian. Erlan mengedikkan sebelah bahu, sedangkan Lucas hanya diam saja dengan ekspresi datarnya. "Kau membiarkan Clarissa bersama pria itu, Lucas? Really?!" Gabriel menatap tak percaya pada adik sepupunya itu. "Aku tidak bisa berbuat banyak, karena masalahnya Clarissa sendiri yang menyanggupi permintaan Axel. Kau pikir apalagi yang bisa aku perbuat selain membiarkannya?" sahut Lucas. Gabriel menatap Lucas dengan pandangan yang semakin menukik tajam, sedangkan kedua rahang tegasnya semakin mengeras kuat, pertanda jika dirinya semakin dirundung emosi. "Kau bisa menggagalkan nya, Lucas. Kalaupun semua itu adalah kemauan Clarissa, setidaknya kau masih menggagalkan pernikahannya, bukan membiarkannya begitu saja!" amuk Gabriel. Kesal karena mendapat bentakan dari pria itu, dengan gerakan cepat Lucas meraih sebuah vas bunga berukuran kecil di samping laptop Gabriel, lalu dilemparkan ke arah pria itu. Beruntung Gabriel sigap menghindar sehingga tak sampai melukai keningnya. "Seharusnya kau mengamankan Clarissa terlebih dahulu sebelum kau membawa Caroline, sialan! Bukan malah main menyalahkanku sesuka hatimu seperti ini! Kau pikir aku sudi adikku diperlakukan seperti itu, hah!" bentak Lucas. Lelaki itu pun tersulut dan melempar tatapan tak kalah tajam pada Gabriel. Erlan menetap keduanya bergantian. Pemuda berusia 20 tahun itu lantas bergidik. "Jangan bilang kalian akan saling tembak-tembakan setelah ini." celetuk Erlan. Lucas tak menghiraukan, sedangkan Gabriel beralih melempar tatapan kesal padanya. "Aku tidak akan mau melerai kalian." lanjut Erlan. "Terserah kalian mau baku hantam, tembak-menembak, tusuk menusuk, terserah! Aku pusing memikirkan nasibku kedepan. Setelah kita kembali dari sini, kita pasti akan dihabisi oleh Dad Morgan. Apakah kalian sudah memikirkan hal buruk itu?" Erlan menatap keduanya bergantian dengan kedua mata memicing. Lucas mendengung kesal, sedangkan Gabriel menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Sungguh, yang ia pikirkan saat ini bukan tentang amukan sang Daddy, Morgan. Tetapi tentang nasib Clarissa. Apa yang terjadi dengan gadis itu saat ini, itu semua atas kesalahannya. Gabriel benar-benar melupakan kehadiran gadis itu. Gabriel mengira, setelah ia membawa Caroline pergi, maka pernikahan itu mutlak dibatalkan. Ia tidak menyangka jika pada akhirnya Axel malah meminta Clarissa sebagai pengganti. "Baiklah. Setelah aku menikahi Caroline, aku akan segera mengurus Clarissa." ucap Gabriel kemudian. "Mengurus apa?" tanya Lucas terdengar sinis sambil menatap remeh. "Tidak ada gunanya! Mereka sudah menikah. Memangnya setelah itu, apalagi yang bisa kau lakukan? Menculik Clarissa, lalu membawanya kabur dan setelah itu kau akan menikahinya juga sama seperti Caroline? Memiliki dua istrinya. Kalau sampai kau melakukan itu, aku akan benar-benar membunuhmu!" ia mengancam serius. Gabriel tak membalas lagi ucapan Lucas, sebab dirasa percuma. Yang ada sepupunya itu akan semakin mengamuk. Gabriel tidak ingin memancing pemuda itu, atau pernikahannya dengan Caroline akan batal. Gabriel paham bagaimana Lucas. Pemuda itu bahkan bisa lebih gila daripada dirinya. Gabriel kembali meraih map berwarna coklat dan melangkah keluar dari ruang kerjanya tanpa mengatakan sepatah kata pun. "Kau mau kemana, Gabriel…!" teriak Erlan. "Mau melihat calon istriku!" sahut Gabriel tanpa menghentikan langkah. Sedangkan Lucas, pemuda itu hanya mendengus. °°° Kini Gabriel berdiri di depan pintu kamar Caroline. Ia membawa sebelah tangannya menggenggam handle pintu, kemudian menekan hendak membukanya. Setelah Gabriel menekan beberapa kali, rupanya pintu itu terkunci dari dalam. Lagi-lagi Gabriel berdecak kesal. Ditambah lagi ia tiba-tiba bad mood setelah mendengar kabar mengenai Clarissa. Gabriel malas jika harus membobol pintu saat ini. Masih dengan posisi yang sama, Gabriel merogoh saku celananya mengeluarkan ponsel. Ia mencari nama kontak Caroline dan lekas menghubungi. Beberapa saat lalu ia memberikan satu buah ponsel untuk gadis itu, namun tetap saja Caroline tidak bisa menghubungi siapapun menggunakan ponsel tersebut selain menghubungi Gabriel dan menerima panggilan dari pria itu saja. "Apa?!" suara Caroline terdengar ketus di seberang telepon. "Buka pintunya, Baby." titah Gabriel. "Aku tidak bisa, soalnya aku lagi di dalam kamar mandi. Aku sedang telanjang saat ini, jadi sebaiknya kamu tidak perlu masuk ke sini!" ucap Caroline. "Kurang dari tiga menit pintu ini belum juga dibuka, aku akan benar-benar menelanjangimu, Caroline." ancam Gabriel. Hening … suara Caroline mendadak senyap. "Kau kehilangan beberapa detik, Baby. Atau aku hitung mundur saja? Pilih mana?" tanya Gabriel. "Kau benar-benar sialan…! Bisanya cuman mengancamku ke saja!" teriak Caroline di dalam kamarnya. Gabriel menjauhkan ponsel dari telinga dan langsung memutuskan sambungan telepon. Selang beberapa detik kemudian pintu di depannya dibuka kasar. Ceklek! Caroline berdiri di depan Gabriel sambil mengadakan wajah merah padamnya menatap pria itu dengan wajah kesal. Sedangkan Gabriel, ia kembali membuka langkah masuk ke dalam kamar. "Sampai kapanpun kau tidak akan bisa membohongiku, Caroline." ucapnya sambil melangkah menuju ranjang. Caroline mendengus sambil memutar malas kedua bola matanya. "Tutup pintunya dan kemarilah." titah Gabriel setelah mendaratkan bokongnya dipinggir ranjang. "Aku tidak mau! Biarkan saja pintunya terbuka seperti ini." tolak Caroline. "Dan membiarkan para maid itu melihat kita b******u, begitu?" Gabriel melempar tatapan nakal. Deg! Tubuh Caroline sontak menegang saat mendengar ucapan Gabriel barusan. Dan sialnya kali ini ia bukannya merasa takut, tapi malah membayangkan hal-hal erotis. Kemudian selang beberapa detik, ia bergegas menutup pintu dan melangkah ke arah ranjang sambil menghentakkan kaki di lantai. Sejenak Caroline melirik sebuah map di tangan Gabriel. Gabriel menyadari itu, ia pun menepuk kasur di sampingnya meminta Caroline supaya duduk di sana. "Duduklah." titahnya terdengar serak. Caroline tak bergeming tetap berdiri di depan pria itu. "Atau kau ingin duduk diatas pangkuanku?" tanya Gabriel sambil mendongak. Lagi-lagi Caroline kembali mendengus kesal. Dengan gerakan cepat ia menghempaskan bokongnya tepat di samping Gabriel. "Harus diancam dulu." gumam Gabriel, namun masih bisa didengar oleh Caroline. "Ini adalah berkas-berkas pernikahan kita nanti. Dan semuanya sudah ditandatangani oleh Dad Morgan." terang Gabriel. Sejenak Caroline mengerutkan kening. "Apa itu artinya Dad setuju?" Gabriel menggeleng. "Lalu kenapa Dad memberikan tanda tangannya? Bagaimana kau bisa mendapatkan tanda tangannya?" tanya Caroline serius sekaligus penasaran. "Gampang, tanda tangan ini aku rampok." jawab Gabriel. Deg! Caroline lantas membelalak kedua mata. "Aku selalu punya banyak cara jika sudah menyangkut dirimu, Carol. Jangankan merampok tanda tangan ayahmu, bahkan lebih dari itu pun aku sanggup melakukannya." bisik Gabriel sambil mendekatkan wajahnya ke arah Caroline. Caroline gugup, gadis itu reflek memejamkan kedua mata saat merasakan hembusan nafas hangat Gabriel di permukaan wajahnya. Caroline pikir Gabriel akan mencium bibirnya. Namun ternyata pria itu mengecup lembut ujung hidung mancungnya. "Bibirmu seksi. Aku tidak sabar ingin mengulumnya." bisik Gabriel. 'Ck! Kulum ya kulum saja sih, Gabriel!' gerutu Caroline dalam hati. Rupanya dia juga menginginkan kuluman pria itu. "Mau dikulum sekarang saja?" tanya Gabriel. Caroline menjauhkan wajahnya sambil menggeleng. "Bagus kau menolak. Nanti saja, setelah kita menikah, aku akan memberikanmu kuluman memabukan dimana-mana." ucap Gabriel. Caroline menelan saliva susah payah. "Dimana saja, Baby. Kau pasti menyukainya." bisik Gabriel. Ia kembali mendekatkan wajah dan mengecup singkat dagu runcing Caroline. 'Oh, Ya Tuhan … jantungku mau melompat keluar rasanya. Aku mau pipis. Mommy, tolonggg…!' teriaknya dalam hati. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN