ADAM ILYAS ALKAHFI

1018 Kata
Adam Ilyas Alkahfi. Berdiri tepat di hadapan kami. Wajahnya secerah mentari. Memberi kesejukan di mata dengan bulu-bulu janggut tipis di dagunya yang runcing. Matanya teduh dengan biji retina agak kecokelatan di sana. Harum wewangian 'malaikat subuh' menyadarkanku bahwa aku harusnya menundukkan pandanganku lebih cepat dari seorang ikhwan alim yang dijuluki Ustad muda di Darul Iqomah ini. Perasaanku tak berbalas. Aku hanya mengutarakannya kepada sang penjaga malam, yang kuharap bisa tersampaikan lewat ijinNya. Aku mengaguminya lebih dari yang kubayangkan. Tapi aku berharap terlalu berlebihan. Karena yang kudengar, ia sedang memiliki tambatan hati. "Astaghfirullah, maaf Ustad Adam," seru Hafsah yang tadi juga berjengit kaget karena nyaris menabraknya. Adam tak menjawab apapun dan memilih untuk bergegas sambil menunduk. Setelah cukup jauh ikhwan itu pergi meninggalkan mesjid, Hafsah menggerutu karena ucapan maafnya tak diendahkan sama sekali oleh Ustad muda sekaligus anak dari pengurus pesantren Darul Iqomah itu. Aku tersenyum simpul dibalik cadar. Menerima segala keluh kesah Hafsah pada sang Ustad yang dikenal tampan dan penuh misterius itu. "Selalu begitu." "Dia bukannya sombong. Cuma mematuhi aturan saja," ujarku menenangkan. Hafsah mencebik, "Ustad Irzam tak begitu. Beliau tetap ramah pada santriwati —" Aku menggeleng samar, sambil kembali mencoba mengingatkan Hafsah akan salah satu hadist yang kami pelajari bersama Kyai Umar kemarin malam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “’Tahukah kalian apa itu ghibah?’ Lalu sahabat berkata: ‘Allah dan rasulNya yang lebih tahu’. Rasulullah bersabda: ‘Engkau menyebut saudaramu tentang apa yang dia benci’. Beliau ditanya: ‘Bagaimana pendapatmu jika apa yang aku katakan benar tentang saudaraku?’ Rasulullah bersabda: ‘jika engkau menyebutkan tentang kebenaran saudaramu maka sungguh engkau telah ghibah tentang saudaramu dan jika yang engkau katakan yang sebaliknya maka engkau telah menyebutkan kedustaan tentang saudaramu.’” (HR. Muslim no. 2589) Hafsah menutup muka dengan khimarnya — malu. Memang tak salah Hafsah mengusik cerita tentang Ustad Adam itu. Karena rumor tentang Adam yang sombong dan kurang ramah, memang santer terdengar di kalangan para santri. Khususnya santri perempuan yang mendapatkan kuliah singkat bersamanya. Tiba-tiba, aku jadi teringat sesuatu setiap kali melihat perangai Ustad Adam yang seperti itu. Dia mengingatkanku pada Calvin. Pria berwajah dingin yang dikenal sombong dan irit bicara saat itu. Yang entah bagaimana, dia akhirnya memilih untuk berteman denganku hingga kami berpisah tiga tahun yang lalu. (Kilas balik) 9 tahun yang lalu.. Ada seorang anak kecil menggerutu sendirian. Keadaannya lusuh dengan seragam putihnya yang tampak kotor terkena tanah merah. Rambutnya pun berantakan dengan kacamata yang retak. Aku pikir mungkin dia baru saja selesai bermain sepak bola dengan teman yang lain. Tapi ternyata, anak itu baru saja selesai bergelut dan mengalami kekalahan telak. Anak itu menatapku garang. Merasa terusik dengan kehadiranku yang sejak tadi mencari tempat duduk untuk makan siang bersama lauk yang Bunda bawa untukku pagi tadi. Tanpa basa-basi, dia langsung mengusirku pergi menjauhinya. Aku tak peduli dan tetap duduk juga di bangku taman itu. Mungkin karena geram permintaannya tak kuendahkan, ia berdiri dan langsung menyingkap bekalku hingga jatuh ke tanah. Aku melongok dengan aksi tak terduganya itu. Dan dia kembali menggerutu dengan meluapkan semua kekesalannya kepadaku yang masih berumur sembilan tahun saat itu. "Korang semua sama je! Suka nak usik orang yang berbeda dengan korang!" (Kalian sama saja! Suka mengusik orang yang berbeda dengan kalian!) "Kamu nggak apa-apa?" tanyaku yang benar-benar tak mengerti apa yang dia katakan. Anak lelaki itu semakin geram hingga dia menginjak-injak nasi uduk Bunda yang tak sempat aku santap. Dengan bangga, dia memamerkan perbuatannya. Terlintas, aku ingin membalasnya dengan mendorong tubuhnya. Namun, aku ingat pesan Bunda. “Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” Anak itu terdiam mendengar ucapanku. Menatapku heran. Dan langsung pergi meninggalkanku begitu bel tanda usainya istirahat pertama berbunyi. Aku menghela napas dalam-dalam melihat punggungnya pergi kian jauh. Terpaksa siang itu, aku tak makan apapun karenanya. Beberapa hari kemudian, aku bertemu dengannya lagi di tempat yang sama. Tapi kali ini, dengan suasana hatinya yang lebih baik. Terlihat, bagaimana dia diam mengamatiku yang duduk bersebelahan dengannya dan anak itupun tidak dalam keadaan lusuh seperti waktu itu. Aku bertanya, apakah boleh duduk di bangku yang sama dengannya dan dia menjawabnya dengan anggukan saja. Aku senang akhirnya bisa duduk makan dengan tenang seperti biasa meski ada dia didekatku. Kuperhatikan nametagnya dan barulah aku tahu namanya adalah Yoon. Calvin Yoon. "Awak tak marah pasal hari itu, ke?" tanya anak itu dengan nada amat pelan. Aku menggeleng seperti tak ada apapun yang terjadi. Dia kembali menatapku bingung. "Kenapa mesti marah? Kita kan kawan?" jawabku sekenanya. "Awak tak kisah ke? berkawan dengan saya?" (Kamu tak keberatan berteman dengan saya?) Aku mengeryit lagi, "Kenapa? Kita kan sama-sama ciptaan Allah?" Mendengar itu, senyum tipis berhasil ia torehkan padaku untuk pertama kalinya. (Kilas balik selesai) "Ayo sahabatku. Kamu sudah ditunggu --" Aku tersadar dari lamunanku. Aku tak mengerti. Kenapa aku memikirkan Calvin akhir-akhir ini. Astaghfirullah. "Assalamualaikum, Ustadzah," sapaku pada Ustadzah Fatimah yang bertanggung jawab di Kantor Bimbingan Konseling Pesantren. "Waalaikum salam warahmatullahi wabarokatuh, Aisha sini masuk." Ustadzah Fatimah menunjuk kursi kosong dan menyuruhku menunggu sebentar. Hafsah telah pun pergi setelah mengantarku ke kantor. Banyak kegiatan yang harus dia selesaikan sebelum tugas akhir tahun ke empat di Pesantren akan dimulai. Akupun, juga akan mengajukan diri di tahun ke empat. Insyah Allah. Jika tak ada halangan apapun, aku ingin menambah pengalaman belajarku sedikit lebih lama sebagai pengajar terpilih. Seperti santri lainnya yang bersemangat untuk mengejar hal yang sama. Tidak semua santri bisa terpilih sebagai pengajar. Dan jika lolos seleksi, maka kesempatan untuk mengajar di Pesantren atau instansi pilihan akan terbuka lebih lebar. Dan jauh-jauh hari, aku sudah memantapkan pilihanku, akan lanjut ke mana. Untuk itu, aku semakin lebih giat lagi belajar ilmu tauhid dan menambah hapalan serta tajwid dengan lebih baik. Insyah Allah..semoga Allah melancarkan usahaku. "Bunda kamu memberi kabar penting —" ucap Ustadzah Fatimah sembari memberikan pesan singkat lewat aplikasi w*****p. Aku mengeryit sembari membaca dengan cermat, pesan apa yang Bunda ingin sampaikan kepadaku. Dan dari baris pertama yang melafazkan istirja' ( Inna lilahi wa inna ilahi rojiun ), aku langsung terduduk lemas di kursi. Hatiku cemas tak karuan dengan kabar duka ini — "Ayah kamu kecelakaan pagi ini. Bunda kamu akan menjemputmu sejam lagi. Bergegas lah, Aisha. Pengurus sudah mengijinkan kamu cuti untuk melawat Ayah kamu di Kuala Lumpur beberapa hari ke depan." Dalam dua puluh detik. Duniaku langsung gelap mendengar kabar ini. Ayah.. Kenapa begitu cepat ayah pergi meninggalkan kami? Ayah... Ayah.... . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN