NG CALVIN YOON

1154 Kata
(Kilas balik) 4 tahun yang lalu...Di bulan April 2016 Masih teringat jelas, bagaimana Calvin menatapku bingung. Matanya yang segaris dibalik kacamata raybannya itu terus menerus mencoba melirik ke segala arah seolah menambah kepanikan yang melanda. Calvin yang biasanya kalem dan irit bicara itu, tiba-tiba banyak bertanya tentang kepindahanku ke tanah air setelah enam tahun lamanya aku menetap di Kuala Lumpur Malaysia bersama keluargaku. Setelah ujian kenaikan form 3 ( SMP 3 ) inilah, Ayah dan Bunda merencanakan pindah. Aku tak bisa menjelaskan secara detail rencana kepindahanku ini padanya, dan karena hal tak terduga inilah, Calvin Yoon teman berkewarganegaraan Tionghoa - Melayu ini kini berdiri tegap menghadang langkahku yang baru saja keluar dari ruang kepala sekolah. "Awak tak nak pikir ulang ke? Awak pandai. Kita boleh masuk boarding school." Sekali lagi aku hanya bisa menggeleng samar dengan senyum yang kulepas rela dan ridho pada mimpi yang pernah kudiskusikan dan kulambungkan pada Calvin. Namun setelah aku memahami satu hal, dan aku merasa terpukul dengan segala kekhilafan dan kecintaanku pada duniawi, aku terjebak dan merasa egois jika mengabaikan hidayah yang kucari selama ini. Hidayah yang datang setelah beberapa tahun ke belakang, hidupku terasa kosong. Kosong, di mana setiap yang aku miliki seolah bukan milikku. Di mana apa yang kuraih tak lagi membuatku bahagia. Canda tawa pun tak lagi dapat menghiburku, hingga satu kisah memukulku telak tepat di kepalaku. Salah seorang ulama Salaf berkata, Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini. Maka ada yang bertanya, Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini? Ulama ini menjawab, Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya imam Ibnul Qayyim dalam kitab Igaatsatul lahfaan (1/72). "Aku nak masuk pesantren," ucapku tegas. Setegas tatapan Calvin yang terkejut mendengar penuturanku. Setelahnya, Calvin bergeming. Kami duduk terdiam cukup lama hingga bel istirahat pertama memecah keheningan. Aku beranjak, sebelum semua murid keluar dari kelas. Aku tak berharap, teman sekelasku yang lain akan ikut berat hati melepasku yang mendadak meninggalkan negara yang telah kuanggap sebagai rumah keduaku ini. Calvin masih terpaku. Ketika aku memanggilnya untuk berpamitan, dia kembali menatapku serius. Menghadangku lagi lalu menyampaikan satu hal yang membuatku tercengang, "Wa maaa arsalnaaka illaa rohmatal lil-'aalamiin. (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 107 yang artinya Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam)." Meski dengan bacaan yang belum sempurna, Calvin mengucapkannya dengan baik dan jelas. Aku terkejut mendengar panuturannya. Membuatku tak sadar tengah berhadapan dengan seorang non muslim yang bisa menghafalkan sepotong ayat suci Al- quran. "Darimana awak tahu ayat itu " "Saya baca. Dan saya nak tanyakan ini kat awak," ujarnya yakin, seolah tak ingin dibantah. Dan yang bisa kulakukan, memanglah diam dan mendengarkan. "Islam itu rahmat untuk semua umat kan? Awak juga bersikap pluralisme pada siapapun kat sini termasuk pada saya." Aku mengangguk. Memberi perhatian penuh setiap kali Calvin akan mulai membahas satu hal. Begitulah dia. Teman irit bicara tapi pintar yang pernah aku kenal. Mengenalkan islam pada Calvin yang tak beragama namun memiliki pemahaman yang terbuka untuk semua ilmu tidaklah sulit. Calvin pendengar yang baik. Kecakapan yang bagus dibarengi dengan sikap yang humble, membuatku tak perlu waktu lama untuk bisa dekat dengannya. Namun, islam membuat batasan yang sering terlupakan bagi sebuah pertemanan yang dibangun antara pria dan wanita termasuk aku sendiri. Yaitu, ada batasan bahwa perempuan tak dibenarkan berdekatan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Melihatku membuat jarak setelah ia menangkap tanganku sebelum aku beranjak tadi, membuat Calvin terperangah. Seolah semakin jelas bahwa ada sikap berbeda yang kutunjukkan kepadanya. "Lantas?" "Apa Islam bisa menerima pernyataan saya ini bahwa...saya sukakan awak?" Giliranku yang terperenyak, "Apa yang awak cakapkan ini? Tak ada kena mengena pada ayat tersebut " "Saya sukakan awak, Aisha. Apa Islam.." "Tak!" jawabku memotong ucapannya. Sekali lagi aku mengucapkan tidak dan Calvin tutup mulut mendengar penuturanku. "Islam tak benarkan seorang perempuan dan lelaki berduaan. Islam juga tak bolehkan adanya jalinan kasih tanpa ikatan perkawinan. Sebab tuh, jangan katakan hal itu pada saya, Calvin." "Tapi selama ini...kita.." "Sikap saya kat awak itu sebuah kekhilafan, Calvin. Saya tak boleh seperti itu lagi pada awak. Terlebih dengan pernyataan tersebut. Islam membawa rahmat pada semua umat, Rasul kamilah yang ditugaskan memberikan tauladan dan menyampaikan pesan dari Tuhan kami, Allah. Namun Islam juga memiliki batasan yang muslim kena lakukan. Termasuk yang saya katakan pada awak." "Toleransi, idealisme, kasih mengasihi, memberi kedamaian bukankah itu wujud dari Islam pembawa rahmat?" ujarnya lagi tak mau kalah. "Betul. Tapi Islam tak membenarkan apa yang salah begitupun sebaliknya." "Perasaan ini..salah ke?" Aku mengangguk tegas. Dengan airmata yang siap mengucur deras sebelum aku menyelesaikan semua ini, aku menyudahi saling pandang kami dan bergegas memberikannya dialog terakhir. "Saya dah terkhilaf selama ini. Sebab tu, pahamilah saya tuk terakhir kali ini, Calvin." Suara langkah kian menyerbu kantin dimana tempat kami berbincang dan terdiam sejak tadi. Akupun lekas beranjak sebelum mendengarkan Calvin yang tampak masih belum puas untuk bicara. Panggilan Rukayah teman sekelas kami pun kuabaikan, demi menghindari perbincangan lebih jauh antara aku dan Calvin. Aku sempat berbalik melihat raut wajahnya. Namun yang tampak adalah kekecewaan yang membuatnya melangkah pergi menghilang dari kerumunan. (kilas balik selesai) Masih dan akan terus teringat jelas, bagaimana kecewanya Calvin padaku saat itu. Namun kuanggap itu kesalahan masa lalu dan kucoba bangun kepercayaan diri dengan menjalani hari yang baru di Pesantren. Berharap dapat menebus kekhilafan serta mendoakan orang yang kusakiti dapat bangkit dan memaafkan. Apalagi, jika rasa sesak dan bersalah itu mulai terangkat dengan lantunan ayat-ayat Allah. Pastinya, jiwa ini terasa lebih sejuk terlebih dilantunkan dengan nada indah dan sangat terdengar mengikat hati oleh seseorang dibalik dinding mesjid yang menjadi pemisah diantara kami. Aku bahkan merasakan betul bagaimana debaran di jantung ini tak kunjung mereda selama mendengarkan tilawahnya yang indah. "Kamu ngapain, Aisha?" Aku terperanjat, "Innalillahi wainna ilaihi roji'un." Yang mengagetkanku justru tersenyum geli setelah membuyarkan semua pikiranku yang carut marut. Dari yang mengenang Calvin lalu terlena oleh lantunan indah ikhwan (lelaki) tak halalku. "Apa ini? Kenapa aku malah mengingat tentang para ikhwan?" monologku. "Astaghfirullah." "Aisha Sulaiman, ada apa?" tanya gadis berkhimar merah maroon yang masih tetap berada di posisinya untuk menertawakanku Hafsah Faqihatun. "Waalaikumsalam--" jawabku atas pertanyaannya. Mendengar ucapanku itu, Hafsah menepuk keningnya sendiri. Mungkin baru menyadari sindiran apa yang aku berikan kepadanya. "Assalamualaikum, ukhti sahabat fillahku? Sedang apa dirimu sampai kau termenung di sini seorang diri?" Aku tersenyum geli, "Aku tadi tak sendirian sahabatku. Mungkin aku yang tak kuasa beranjak hingga tak sadar jika sudah sendirian di sini." Hafsah menggeleng heran mendengar penuturanku. Ia pun ikut tertawa hingga menampakkan lesung pipinya yang menawan. "Ayo ikut ke kantor, ada telepon untukmu." "Telepon? Dari siapa?" tanyaku bingung. Setahuku, Ayah dan Bunda akan menelpon di akhir pekan. Hafsah hanya mengendikkan bahu lalu menarik tanganku untuk lekas mengikuti langkahnya. Hingga pandanganku terhenti pada pintu masuk mesjid yang menampakkan sosok ikhwan yang tak pantas untuk kulirik apalagi kupikirkan. Dan sialnya, pandangan kami saling bertemu ketika kami lewat di hadapannya. Hafsah terperanjat kaget, begitu pula denganku yang mencoba menahan debaran jantungku yang berdegup kencang. Aku takut, debaran ini akan terdengar oleh mereka, terlebih kepada pemilik wajah teduh bergigi ginsulnya itu. Adam Ilyas Alkahfi. . . Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN