Kakiku rasanya tak sanggup untuk melangkah keluar dari pagar Ponpes. Hafsah dan Ustadzah Fatimah terus menyemangatiku untuk tetap tabah dan sabar melewati musibah ini.
Tak lama, APV putih berhenti tepat dihadapan kami. Supir Bunda — Pak Abdul — turun dari mobil lalu dengan sigap mengangkat koperku yang kukemas isinya dengan pakaian seadanya.
Aku tak bisa berkata apapun dan hanya mampu melangkah masuk ke mobil yang bergegas menuju rumah sakit. Pikiranku masih kalut hingga satu tepukan pelan menginterupsiku dari segala pikiran buruk dan sedih yang kuhadapi sendiri.
"Hai, sayang."
Aku terbelalak, lalu balik badan menuju kursi penumpang di baris tengah mobil. Betapa terkejutnya aku! Ayah ada di sana duduk santai sambil melambaikan tangan ke arahku.
"Ayah! A..ayah kenapa di sini? Ayah kan.."
Ayah malah tersenyum menang melihat reaksi terkejutku, "Hei..kenapa tunggu Ayah ada apa-apa baru kamu mau pulang, hmm?"
Aku tak mengendahkan ucapannya. Dengan erat aku memeluknya sambil memukul pelan punggung ayah karena kecewa.
"Ayah bohongi Aisha?"
"Terus? Kalau nggak seperti ini, kamu mana mau libur —"
Aku melepas pelukanku, lalu menggeram sendirian. Ayah langsung merasa tak bersalah.
"Pak Abdul! Turunin saya di sini."
Pak Abdul kalang kabut. Begitu pula dengan Ayah yang keheranan mendengarku minta turun dari mobil.
Aku kesal. Aku marah. Kenapa sebuah musibah dijadikan permainan?
Ayah..memang selalu sesuka hatinya. Selalu begitu!
Memang kuakui. Selama ini aku terlalu menyibukkan diri di Ponpes. Sampai-sampai, aku jarang pulang ke rumah walaupun ada waktu untuk libur dari kegiatan Pondok.
Entahlah. Kecintaanku belajar mengenal ilmu agama, membuatku lupa segalanya. Dan Ayah sepertinya menyesalkan hal itu.
Ayah memiliki pemikiran yang bebas. Ia selalu memberi kebebasan pada anak-anaknya untuk memilih masa depan yang anaknya kehendaki. Tentunya dengan tetap mengedepankan — bukan menjadi orang yang tak berguna dan buruk di masa depan. Alih-alih menerima beasiswa masuk ke boarding school di Malaysia, aku lebih memilih untuk masuk Pondok Pesantren.
Meski berat hati, Ayah tetap mengijinkan. Dan karena sikap acuhku ini, mungkin beliau agak kesepian. Hingga beberapa tahun ke belakang, beliau sering mengeluhkan sikapku yang lebih sering menutup diri dan kurang berkomunikasi dengan keluarga. Mungkin ini lah puncaknya, mengapa ia melakukan satu kebohongan demi membawaku pulang.
Pak Abdul benar-benar menghentikan mobil sesuai permintaanku. Ayah langsung gelisah melihatku turun dari mobil.
"I'm so sorry, Aisha. Ayah minta maaf," ucapnya menyesal.
"Ayaah! Ayah tahu nggak kalau Aisha pingsan karena mendengar kabar bohong Ayah ini?"
"Sorry —"
"Ayah jangan lakukan ini lagi, tahu!" isakku. Aku pun sama, tak bisa menahan haru melihat perbuatan seorang Ayah yang begitu rindu dengan puterinya itu.
Ayah memang penuh kejutan. Selalu begitu. Dan akan selalu begitu.
Jauh di lubuk hatiku. Aku sayang Ayah.
Ayah tahu itu. Karena itu Mirza — adik lelakiku, cemburu dengan hal itu. Ayah adalah orang yang mengajariku banyak hal. Termasuk bersikap pluralisme dan saling menghargai ke siapapun. Ayah paling menjunjung tinggi rasa hormat dan santun. Karena ayah dibesarkan oleh keluarga yang memiliki adat istiadat melayu yang kental. Meski Ayah tampak bersahaja, ia bisa bersikap humoris dan tak terduga di saat yang bersamaan.
Beliau sangat sayang dengan keluarganya. Tak heran Ayah rela mesti bolak - balik Malaysia - Indonesia demi pekerjaan, keluarga dan kolega. Beliau orang yang sibuk. Namun masih sempat menjemputku jauh-jauh seperti ini.
Astaghfirullahaladzim. Aku sudah berbuat zalim pada orang tuaku sendiri. Aku sudah terlewat batas.
"Ayah minta maaf —" ucapnya lagi. Tanpa bisa dibendung, airmataku mengalir mendengar penuturannya.
"Nggak Ayah, nggak. Aisha salah juga. Aisha yang buat Ayah kangen berat kayak gini. Jarang nelpon Ayah. Sampai Ayah melakukan ini semua karena kangen."
"Hemm. Itu tahuu! Sudah-sudah, Ayah nggak akan begitu lagi."
"Janji?" ucapku menjulurkan kelingking, Aisha pun janji nggak akan buat Ayah khawatir lagi."
Ayah menyambutnya dengan senang hati, "I'm promise, honey!"
Pak Abdul ikut berkaca-kaca melihat pertengkaran singkat kami ini. Beliau segera melanjutkan perjalanan, dengan ikut tertawa melihat Ayahku kembali bersikap lucu.
"Kapan ayah kembali dari KL?"
Sekotak donat mampu menghipnotisku dari segala emosi yang campur aduk ini. Aku yakin, Ayah lah yang menyiapkan ini semua.
"Kemarin malam. Oh iya, Ayah menjalin kerja sama dengan Om Stewart."
Aku menahan diri untuk melahap suapan kedua donatku setelah mendengar nama itu.
"Om Stewart?"
Ayah mengangguk santai, "Iya. Kamu masih ingat dia lagi kan?"
"Mana mungkin Aisha lupa —" ucapku lirih.
"Ayah juga bertemu Calvin. Wah..dia sudah tumbuh tinggi dan tampan. Kamu masih sering kontak dengan Calvin kan? Calvin bilang ada beberapa kali coba menghubungi kamu lewat sosmed, tapi belum ada balasan," tutur Ayah panjang lebar.
Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyergapku setelah mendengar itu. Tapi entah mengapa, itu tak membuatku sedih sama sekali.
"Aisha kan nggak boleh main ponsel, Yah —"
Ayah menepuk kening. Dia lupa tentang larangan bermain ponsel di Pondok.
"Iya juga. Tapi kalau ada waktu, coba hubungi dia juga."
Aku pura-pura tak mendengar permintaan Ayah itu. Entah kenapa, aku mulai tak nyaman karena beberapa hari ke belakang ini teringat dengan Calvin.
Pertanda apa ini ?
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, kami akhirnya sampai di Bandung. Begitu melewati Museum Asia Afrika, aku langsung membuka kaca mobil sambil mengenang — entah berapa lama aku tak menikmati udara kota ini.
Bandung telah banyak berubah. Setiap tahunnya akan selalu tampak berbeda sesuai dengan keinginan pemimpinnya. Bandung akan selalu menjadi tempat favorit. Aku tak akan pernah bosan mengelilinginya jika ada kesempatan untuk mampir.
Kebetulan setiap kali pulang, aku pasti mampir ke sini. Seperti sekarang, Ayah tak pernah absen untuk menyambangi Bandung walau sekedar buat makan gorengan.
"Kita makan dulu ya."
Aku mengangguk setuju. Ayah dan Pak Abdul pasti lelah. Lagi pula sebentar lagi waktu dzuhur akan segera tiba. Tak ada salahnya untuk berhenti sebentar sebelum kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Bintaro.
Setelah selesai menunaikan kewajiban empat rakaat tadi, kami singgah di salah satu restauran bakmi yang cukup digemari di sekitar sini. Jaraknya yang hanya 200 meter dari Museum dan mesjid, membuat kami memilih untuk berjalan kaki sambil menikmati suasana ramai di sekitar alun-alun.
"Bunda kenapa nggak ikut?" tanyaku pada Ayah, yang baru saja menyelesaikan satu porsi bakmi sop buntutnya.
"Mirza ada acara kelulusan. Jadi Bunda yang ke sana."
"Mirza pasti marah."
Ayah mengeryit tak mengerti, "Marah kenapa?"
"Mirza pasti iri karena aku yang ditemani Ayah pulang , bukan dia —"
Ayah langsung tak merasa bersalah. Beliau malah tertawa mendengar penjelasanku. Bukan rahasia lagi. Perebutan hak milik "anak ayah" masih menjadi pertarungan sengit diantara aku dan Mirza — adik lelakiku. Mungkin terlihat kekanakan. Tapi begitu lah kenyataannya. Aku yakin, dia pasti sudah menyiapkan banyak jebakan dan strategi untuk menggangguku setiba di rumah nanti.
"Mirza kan sudah besar. Mana mungkin kayak dulu lagi berantem sama kamu ngerebutin Ayah," ujar Ayah yang masih bertahan dengan tawanya.
"Mirza itu sampai kapan pun bakalan kayak gitu terus," omelku. Yang kuomeli malah lanjut menyantap menu lain.
"Iya..urusan Mirza biar Ayah yang urus."
"Ayah berapa hari di sini?"
"Mungkin dua mingguan. Kamu libur selama Ayah di rumah yah," pintanya.
Aku langsung menggeleng cepat. Mana mungkin aku bisa liburan begitu saja saat keluar dari Ponpes aku harus membuat pernyataan bohong tentang orang tuaku? Apapun yang terjadi, aku harus kembali lagi ke Ponpes untuk meminta maaf atas semua kebohongan ini.
Ayah merengut sedih, "Aiih..Aisha —"
"A..ayah..."
Ayah tak tahan melihatku mendelik. Sehingga beliau hanya bisa menarik napas lalu mengembuskannya berat mendengar jawabanku.
.
.
Bersambung