PUPUS

1373 Kata
Sejak ayah memberikan respons yang positif setelah dua tahun lamanya terbaring koma, hampir seluruh keluarga sekarang menyempatkan waktu untuk ke kamar melihat keadaan ayah ataupun sekedar mengobrol dengannya. Semua orang menjadi lebih bersemangat. Apalagi beberapa hari yang lalu, ayah juga mulai menggerakkan jarinya yang lain. Merespons curhatan hati makcik Zaenab hari itu. Setelahnya, banyak juga yang mendapat kejutan dari ayah. Sampai-sampai Mirza merengek untuk datang ke KL hanya untuk berbincang dengan ayah. Amirul Mirza, adik semata wayangku itu sekarang terlihat lebih jangkung. Sudah lebih dewasa dengan pembawaannya yang santai dan pendiam itu. Bawaannya bukan lagi gawai pintarnya, tapi sudah merambah ke laptop yang tak bisa lepas darinya. Yang dulunya hanya penikmat game fanatik, sekarang ia bahkan menciptakan gamenya sendiri bersama teman kuliahnya. Sangat membanggakan. Dari hobi lalu menghasilkan. Tidakkan itu lebih menyenangkan untuk dikerjakan? Tidak. Apa sekarang aku membahas diriku sendiri? Yang masih terperangkap bosan dengan rutinitas manajemenku ini? Terkadang aku suka membuka buku-buku tajwid dan fiqih agar aku tak terlupa dengan ilmu yang sangat aku gemari itu. Setiap ada kesempatan, terkadang aku juga membuat blog agar kembali membuang kejenuhanku dengan berbagi ilmu lewat daring. Memang ini tidak mudah. Tapi jauh di dalam diriku, aku masih saja memimpikan tentang menjadi ustadzah. Apakah impian itu tidak akan pernah aku dapatkan? "Kak. Sebelum Mirza kemari, Mirza dapat kiriman surat." Aku mengeryit melihatnya menyerahkan beberapa surat kepadaku. Begitu aku membaca siapa pengirimnya, aku mengurungkan niat untuk bertanya lebih pada Mirza. Justru Mirza yang buka suara tentang pengirim surat tersebut. "Siapa Adam, kak?" Bunda ikut nimbrung. Mungkin memang sejak tadi menguping di samping ayah, "Siapa Adam?" Aku nyengir. Bunda dan Mirza malah senyum-senyum meledek,"Hayoo..siapa?" "Adam anak pengurus pondok, Bun —" "Wow..anak pengurus pondok naksir sama kakak?" "Hah? Kok bunda nggak tahu?" "Deek..kamu bacain surat-surat ini yah?" tanyaku dengan nada kesal. Mirza langsung beringsut ketakutan tapi mengaku bahwa dia tak melakukannya. "Sumpah Lillahita'ala kak..Mirza nggak ada baca surat itu —" "Sumpah kamu?" gertakku lagi memastikan. Melihat perdebatan kecil kami ini, bunda malah tertawa bahagia. "Tapi emang bener kan? Yang namanya Adam itu naksir sama kakak?" goda Mirza lagi. Dan kini sukses aku pukul pundaknya gemas sekaligus malu untuk menjawab pertanyaannya itu. Tanpa menghiraukan keduanya, akupun pergi ke teras belakang untuk membaca satu persatu surat sesuai tanggal kirimnya. Padahal aku belum membacanya, tapi jantung ini sudah berdebar dibuatnya. Masya Allah... Begitu besarnya kah rasa sukaku ini padanya? ~ Assalamualaikum, Aisha. Si mata saphire yang mengagumkan. Mungkin ini terlihat seperti bukan diriku. Entah apa yang ada dibenakmu setelah menerima surat ini, yang jelas aku memang melakukannya. Mengirim surat kepadamu karena aku tak tahu bagaimana untuk berkomunikasi denganmu. ~ Sampai di bagian ini, aku terkekeh pelan. Banyak sekali cerita yang Adam tuliskan padaku. Entah itu tentang aktifitas mereka selama mengajar di pedalaman, cerita tentang sakitnya kyai Umar, lalu di surat yang kelima baru Adam mengabarkan padaku bahwa kyai meninggal dunia akibat serangan jantung. Innalillah — Cerita yang menarik lain ialah bagaimana dia hendak melanjutkan studinya. Sekarang, ia benar-benar kuliah di Kairo, tempat di mana sang ayah Gus Nadir bersekolah dulu. Di situ...Adam menceritakan sesuatu di dalamnya. Dan ini buatku menjadi seperti mengenalnya lebih jauh. ~ Kita sama-sama mencintai kedua orang tua kita. Kita sama-sama selalu ingin membahagiakan orang tua. Tapi..kadang adakalanya, aku ingin berjalan seperti apa yang aku inginkan. Aku ingin melakukan apa yang ingin aku cita-citakan. Hingga satu ketidak ikhlasan bersarang dalam perjalananku menuntut ilmu ini. Aku terus bertanya dalam diriku sendiri. Sebenarnya, untuk apa kita hidup? Kepada siapa kita hidup? Kenapa kita harus hidup dengan harapan orang lain? ~ Aku terdiam. Duduk amat tertunduk dengan apa yang Adam tuliskan itu. Kami sama-sama melakukan hal yang bukan kami sukai. Melainkan hidup untuk melanjutkan cita-cita dan harapan orang tua kami sendiri. Lantas pertanyaan itu kembali muncul, "Untuk apa kita hidup?" "Kak! Ke sini bentar!" teriak Mirza antusias. Panggilannya itu sukses membuat lamunanku buyar. "Ada apa?" "Sini dulu, masuk!" pintanya lagi, masih heboh. Karena penasaran, akupun masuk ke dalam rumah dan segera menuju ke ruang tamu tempat Mirza menunggu. Mirza yang tahu aku datang, langsung menunjuk ke arah televisi yang tengah menampilkan sebuah berita. Kali ini tentang riwayat hidup seseorang yang mendapatkan kesuksesan di usia muda. Dan yang tampil di layar adalah Calvin Yoon. Calon penerus Stew And Art Corporation yang masih berumur 21 tahun! "Itu abang Calvin kan? Sahabat yang naksir kakak juga!" Bunda yang tengah meneguk air pun jadi tersedak mendengar ocehan Mirza tersebut. Aku ralat tentang Mirza yang mulai dewasa dan tidak seperti dulu, ternyata anak itu masih tetap sama. Usil dan Jahil. "Ah masa sih?" tanya bunda semringah namun tetap juga terlihat kebingungan. Aku memijit kening. Apalagi saat makcik Zaenab juga ikut turut serta bergabung meramaikan pembicaraan ini. "Betul ke? Kenapa awak tak cakap? Gila betul kalau awak pacaran lepas tu kahwin dengan dia pulak!" Mirza ikut nimbrung, "Mana boleh makcik. Kak Aisha sudah punya tambatan hati." "Mirzaaaa —" Kujewer kupingnya gemas. Yang kujewer malah nyengir bak kuda. "Halaah. Masih belum melengkung janur kuning. Tadi awak cakap pa? Calvin sukakan Aisha?" tanya makcik pada Mirza. Aku langsung membuat Mirza menutup mulut. Tapi tenaga pria yang beranjak dewasa ini, mana mungkin bisa kukalahkan. "Iya makcik. Abang Calvin ini naksir lama dengan kakak. Tapi ditolak." "Kenapa awak tolak? Tak cukup kacak (tampan) ke?" Bunda menambahkan dengan mewakili perasaanku, "Aisha mau cari seorang imam yang dapat membimbingnya. Tentulah perbedaan keyakinan juga jadi masalah." Makcik mendelik. Dia langsung menyatukan alisnya seolah ada yang salah dengan ucapan bunda kepadanya. "Hei..tak tahu ke? Calvin itu muslim lah!" Kami bertiga terbelalak. Berita mencengangkan ini benar-benar tak terpikirkan olehku. Bahkan mungkin tak terlintas untuk membayangkannya. Aku tahu Calvin orang yang open minded pada siapapun. Baik itu suku, ras dan agama apapun. Hingga bisa saja kalau Calvin memeluk sebuah agama. Tapi Calvin masih sangat muda dan bergantung pada sang ayah. Mana mungkin Calvin berani keluar batas apalagi berbeda keyakinan dengan orang tuanya? Bagaimana mungkin Calvin berani mengambil keputasan menjadi mua'alaf? Rasa-rasanya, itu tidak mungkin terjadi. Bahkan menjadi atheis waktu itu, dia juga lakukan secara diam-diam. "Makcik gurau ye?" ledek Mirza yang langsung mendapat delikan tajam darinya. Mirza juga dapat satu tepukan melayang di belakang kepalanya. "Kau tengok makcik bergurau, ke?" Mirza menelan ketakutannya sendiri. Aku terkekeh pelan, "Terus..kalau benar, makcik tahu darimana?" "Hah! Ini lah kalian tak tahu!" seru makcik, "— makcik tahu sebab makcik pernah tengok hari itu." "Tengok apa?" giliranku yang tak sabar untuk mendengar kelanjutannya. Makcik malah tersenyum miring, "Makcik pernah tengok —" Aku menelan ludah menunggu jawaban. Sedangkan Mirza terpelongok sanking penasaran. Bunda hanya geleng-geleng kepala melihat kami bertiga. Kemudian masuk ke kamar lagi untuk menemani ayah. "— tengok hari itu Calvin masuk masjid ikut shalat jum'at dekat sini." "Subhanallah —" seruku tanpa sadar. Mirza malah histeris. Entah karena senang atau kaget. Aku benar-benar tak mengerti. Kenapa Calvin merahasiakan hal ini? Lagi pula..sejak kapan dia mualaf? Dan apakah dia masih teguh dengan agamanya? Entahlah. Aku tidak mungkin menanyakan itu semua. Karena aku... "AYAH!" jerit bunda dari dalam kamar. Kami semua terperenyak dan langsung berlari mengejar teriakan bunda. Bunda meraung di tepian tempat tidur ayah. Menggerakkan tubuh ayah yang tak merespon apapun guncangan yang bunda lakukan. Aku menatap layar monitor detak jantung yang terlihat garis lurus tanpa ada gelombang. Aku menatapnya dengan lemas sampai tubuhku terjerembab jatuh ke lantai tanpa kusadari. "AYAH! JANGAN TINGGALIN KAMI! AYAH!" teriak Mirza lebih keras. "Abaaang...jangan menyerah seperti ini abang —" Semua orang terus silih berganti memanggil nama ayah. Seolah ayah bisa lekas bangun mendengar teriakan mereka. Tapi tentunya, malaikat izroil takkan ambil pusing dengan segala rintihan kami. Kematian adalah mutlak. Seperti Allah memberikan kehidupan. Tak ada yang bisa menahan gugurnya daun umur manusia. Sama seperti manusia takkan bisa mengatur ulang waktu yang sudah terlewatkan. Menangis pun tiada guna. Baik bagi yang hidup, maupun yang telah pergi. Manusia mati tidak akan membawa apapun selain amalnya. Manusia tidak akan bertemankan siapapun selain amalnya. Ayah.. Meski Aisha tak bisa jalankan semua keinginan ayah, Aisha berjanji akan menjadi anak yang sholeh untuk ayah. Hingga..meskipun kita terpisahkan dunia, Aisha ingin ayah selalu selamat dunia dan akhirat. Aisha ingin ayah dijauhkan dari siksa kubur dan api neraka. Ayah.. Aisha cuma bisa ucapkan selamat tinggal. Dan selamat jalan ke perjalanan hidup berikutnya. Semoga kelak, kita semua dipertemukan kembali di JannahNya. . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN