HARAPAN BAG. 2

1458 Kata
Dokter langsung datang menangani kondisi ayah. Kami semua terharu dengan keadaan ayah yang awalnya dinyatakan mengalami kelumpuhan otak, kini menjadi Status Vegetatif (VS). "VS diakibatkan oleh cedera otak yang parah. Kondisi ini ditandai dengan ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan meskipun dalam keadaan sadar. Seseorang dalam keadaan ini dapat membuka mata secara spontan atau sebagai respons terhadap stimulasi. Respons umum terhadap rasa sakit ada, seperti peningkatan detak jantung, peningkatan pernapasan, atau berkeringat. Dalam hal ini pasien merespons melalui gerakan jari. Walau masih vegetatif tapi ada upaya bahwa ini tidak menjadi kelumpuhan otak yang sebelumnya telah di diagnosis kepada pasien," ujar dokter Syam. Dokter spesialis neurologi. "Apa ini akan mengalami peningkatan?" tanyaku penasaran. Dan dokter Syam tersenyum tipis menanggapi pertanyaanku. "Tentu saja. Pasien merespons sesuatu yang mungkin dia dengar atau ia sentuh. Terus lakukan hal tersebut. Insya Allah akan terjadi lagi hal seperti ini." "Hah..apa yang buat abang merespons tadi, Aisha. Korang kan tadi ada bersama abang Azis?" tanya makcik yang begitu bersemangat menantikan gerakan lain yang mungkin ayah lakukan. Makcik bahkan merekam momen tersebut setiap detiknya agar kelak bisa ia tunjukkan pada ayah, momen terbaik di seluruh hidup kami. Aku mengingat-ingat hal apa yang membuat ayah merespons. Dan saat aku melihat gawaiku di atas meja, aku teringat dengan hal itu. "Pelaku. Aisha mendapat telepon tentang tertangkapnya pelaku tabrak lari —" "Hah! Itu ke?? Alhamdulillah. Ini kabar yang sangat menggembirakan. Ya Allah..abang. Lekaslah bangun. Kita orang tunggu awak tau." Makcik berujar lirih lagi. Semua orang yang mendengarnya pun berubah menjadi terharu termasuk bunda yang terus menyemangati dirinya sendiri bahwa harapan itu ada. Harapan itu kian menapakkan sinarnya. . . Aku sampai sesuai waktu bertemu yang cik Nurdin janjikan di pesan singkat. Begitu sampai di kantor ibu pejabat kepolisian diraja Malaysia yang bertempat di Kuala Lumpur, aku disambut lambaian tangan cik Nurdin di sebuah kantin. Semua orang yang tengah duduk di sana, tentu melirikku bingung. Karena sudah jelas, berpenampilan serba tertutup seperti ini memancing perhatian orang banyak. Sudah tak terhitung lagi banyaknya orang yang memberikan stigma negatif tentang cara berpakaianku seperti ini. Alhamdulillah, aku nyaman dengan diriku yang sekarang. Aku yakin, Allah akan senantiasa menolong setiap gangguan dan cemoohan orang terhadap perubahan yang dilakukan hambaNya. Termasuk, menutup aurat bagi para wanita maupun pria. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nuur ayat 30-31 yang artinya, ~Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, Agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara k*********a, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman : Agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara k*********a, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-puta saudara perempuan mereka atau para perempuan (sesama Islam) mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki atau para pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan tobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung. (QS. An-Nur : 30-31) ~ Maha benar Allah dengan segala firmanNya. Lalu..apa yang harus aku risihkan dari caraku memilih untuk berniqob? Tidak ada yang salah dengan itu dan akan selalu aku perjuangkan hingga akhir hayat kelak. Amiin. "Aisha?" "Iya pakcik. Maaf Aisha terlambat. Karena ada berita baik lagi setelah pakcik telepon tadi." Pakcik juga ikut bersemangat mendengarkan ceritaku terlebih dulu. "Oh ya. Kabar apa itu?" "Ayah..Ayah tiba-tiba menggerakkan jari telunjuknya pakcik!" seruku. Dan aku bersumpah, aku menangis terharu di depan beliau. Pakcik ikut gembira walau ia tetap tak bisa menutupi sesuatu yang sepertinya membuat dia risau. "Pakcik senang sekali mendengarnya. Lepas ini boleh pakcik datang menjenguk ayah?" "Tentu saja boleh pakcik. Datang lah! Karena memang keluarga pun ingin mendengar informasi tentang pelaku yang sudah tertangkap ini." Pakcik Nurdin tiba-tiba terdiam. Ia berulang kali mengusap dagu seolah ragu untuk menyampaikannya kepadaku. Aku yang menangkap hal itu , langsung saja bertanya pada pakcik, apa yang sepertinya tengah mengganggu pikirannya. Setelah aku bertanya demikian, pakcik malah mengajakku ke ruang tahanan dan mengabulkan permintaanku langsung untuk bertemu dengan terduga pelaku. Tunggu. Sekarang pakcik mengubah statusnya menjadi terduga? Dan sebelum pertanyaanku itu terlontarkan, aku kini sudah berhadapan dengan si pelaku di seberang dinding kaca anti peluru. Pria tersebut mungkin sudah berumur antara lima puluh sampai enam puluhan tahun. Rambutnya kusut dengan kumis dan jambang yang tak tercukur. Matanya terlihat sendu. Tidak seperti mata pria yang ada di seberang bilik yang kulewati tadi. Garang dan tak berempati. Tatapan pria ini justru terlihat sangat santai dan bahkan seperti bukan seseorang yang akan melukai orang lain. Pakcik Nurdin berada di belakangku untuk memastikan bahwa aku aman bersamanya. Padahal kami terpisah ruangan, tapi sepertinya aura jahat di bilik ini tetap saja bisa kurasakan. "Siapa kamu?" tanyanya penasaran. Mungkin karena risih tengah mendapatkan tamu seorang wanita bercadar sepertiku. Aku menelan ludah susah payah untuk memulai percakapan. "Nama saya Aisha. Anak dari seseorang yang anda tabrak dua tahun lalu." Pria yang memiliki nama Saparudin itu hanya tertunduk. Mengulas senyum segaris lalu memandangku lagi. "Kamu anaknya?" "Kenapa bapak menabrak ayah saya seperti itu? Apa bapak punya dendam dengan ayah saya?" Aku mulai terbawa suasana. Mungkin karena tadi melihat dia tersenyum sehingga membuat perasaanku tercabik-cabik. Bagaimana dia bisa tersenyum seperti itu tanpa tahu rasanya penderitaan kami selama dua tahun kebelakang ini? Tidak. Aku tidak sedang mengeluh. Aku hanya ingin mengetahui semua kebenarannya, apa dosa dan salah ayah sampai ada orang yang sengaja melakukan hal itu kepada ayahku? Apa? Mendengar pertanyaanku itu, pak Saparudin malah terkesan cuek. Dia diam saja dan sengaja mengedarkan pandangannya ke segala arah seolah tak ingin menanggapi pertanyaanku tadi. Dan lagi..aku benar-benar beraja di puncak amarah. Untunglah, tasbih ini meredam semuanya. Kulantunkan zikir pada sang Khalik, agar Dia bisa membantuku mengusir amarah yang terkukung ganas dalam hatiku. Astaghfirullah al'adzim. Sebuah tepukan menginterupsiku. Pakcik Nurdin yang kini mengambil alih tempat dudukku. Mungkin pakcik sudah merasakan bahwa aku mulai menelan geram dalam diriku. Karena itu, ia berinisiatif untuk menggantikanku, sementara waktu jenguk kami yang juga sangat singkat ini. "Saya tahu. Awak diam karena awak mengambil hak anda untuk diam saat ditanya. Tapi, bisakah kau sedikit bersimpati pada anak ini dan keluarganya yang telah menunggu ayah mereka bangun dari koma karena perbuatanmu itu?" Pria tersebut akhirnya tertarik untuk mendengarkan. Pakcik kembali melanjutkan, "Dua tahun. Bukan waktu yang singkat untuk menunggu orang yang menjadi tulang punggung mereka untuk bangun dan sadar seperti semula. Apa anda tidak merasa kematian bagi anda juga akan terasa sangat dekat?" Pria tersebut tadinya mendengarkan dengan seksama. Namun beberapa detik kemudian, beliau kembali menyunggingkan senyum miringnya. "Kematian mengantre di belakang pundak kami saat kami kelaparan. Itu terjadi setiap hari, setiap jam, menit bahkan detik. Jadi untuk apa saya memikirkan nasib orang lain?" Pakcik Nurdin kemudian bangkit. Mengusap wajahnya kasar kemudian beranjak meninggalkan bilik yang memiliki luas hanya satu kali dua meter tersebut. Aku menyusulnya dari belakang dengan perasaan yang campur aduk. Sejujurnya melihat tatapannya tadi cukup membuat bulu kudukku merinding. Ini sungguh, pengalaman pertamaku bertemu seorang kriminal seperti dia. Aura mereka, sungguh membuatmu tak berkutik sama sekali. "Ada apa pakcik? Sepertinya pakcik sangat resah sekali —" "Bukan dia Aisha. Bukan dia pelaku sebenarnya —" Aku menggeleng tak mengerti. Bagaimana bisa pelaku yang tertangkap itu bukan orang yang menabrak ayah? "Kenapa pakcik berpikir seperti itu? Bukankah polisi sudah menyelidiki ini sebelumnya? Sampai pada akhirnya mengejar dan menangkap dia kemari?" Pakcik mengatur napasnya terlebih dulu lalu menjawab semua pertanyaanku. Juga dengan satu kali napas tanpa ada celah buatku untuk memotong ucapannya. "Dia hanya dibayar untuk menggantikan pelaku yang sebenarnya. Dia..si Saparudin itu..bahkan orang miskin yang tak memiliki mobil seharga satu apartment mewah kat KL. Takkan Aisha tak dengar dengan apa yang baru saja ia cakapkan tadi." Aku mereka ulang ucapan demi ucapan yang tadi pelaku utarakan tadi. Tapi yang kutangkap dan kuingat, malah senyum miringnya tadi. >> Kematian mengantre di belakang pundak kami saat kami kelaparan. Itu terjadi setiap hari, setiap jam, menit bahkan detik. Jadi untuk apa saya memikirkan nasib orang lain? Benar. Ucapannya malah terdengar seperti seseorang yang menjalani hari-harinya tanpa memiliki apapun. Lalu bagaimana bisa orang tersebut menjadi pelaku tabrak lari dengan mobil yang seharga selangit? "Jadi..apa yang akan pakcik lakukan?" "Pakcik akan caritahu latar belakangnya dulu. Aisha kena bersabar sedikit lagi." Aku mengangguk. Bukan untuk menyenangkan pakcik, tapi juga diri sendiri. Yang sebenarnya juga sangat lelah dengan kasus yang — benar kata pakcik — terlihat simpel namun sengaja dibuat berbelit-belit. Seolah memang menguatkan asumsi, ada orang lain yang menjadi dalang dari semua kasus ini. Siapa? Dan apa sebenarnya motif mereka? . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN