HARAPAN BAG. 1

1043 Kata
"I'm so sorry," tulisnya. Pada pesan singkat. Sengaja kuabaikan karena aku merasa tak tahu harus membalas apa. Lagi pula, apa yang membuat Calvin harus meminta maaf? Perlakuannya yang tak mengerti keadaanku sekarang (hijrah), atau karena kesandung itu? Tidak. Aku tidak tahu apapun. Dan aku tak ingin. Aku harap, ini pertemuan terakhir kami. Ting. Pesan kedua darinya dan aku masih berusaha untuk mengabaikannya. Namun karena pesan itu muncul di balon chat layar ponselku, tentu saja mau tak mau aku membaca pesan tersebut. Dan kali ini cukup panjang serta cukup membuatku tercengang. "Perasaan saya pada awak takkan berubah. Apapun yang awak lakukan, tidak akan mempengaruhi saya." Terlihat seperti mengancam dan serius. Aku menghela napas panjang lalu menekan fitur block. Kulakukan tanpa ada keraguan sedikitpun. Maafkan aku Calvin. . . Protes sudah kulayangkan. Meski dibantu oleh om Anwar, nyatanya perusahaan tetap tak bisa menjamin ayah untuk tetap berada di rumah sakit selama masa pengobatannya. Dengan terpaksa, setelah sebulan ayah koma, kami membawanya pulang. Ke rumah nenek setelah melalui pertimbangan yang matang. Ayah masih bertemankan alat-alat medis untuk menopang pemulihannya. Dokter akan datang setiap dua kali dalam seminggu dan itu juga diluar dari biaya perobatan. Makcik Zaenab terus melayangkan protes, tapi nyatanya protesnya itu dipersulit oleh perusahaan yang kini tengah dikembangkan oleh teman ayah — cik Amin. Karena aku masih belum layak untuk memegang penuh, maka cik Amin yang dicurigai makcik tengah melakukan korup di Malaysian Group — membuatku semakin ketat untuk belajar manajemen. Secepat mungkin di salah satu universitas ternama di Malaysia. Alhamdulillah, dalam dua tahun perubahan mulai terasa. Evaluasi pekerjaanku di Malaysian Group diterima baik dan fase jabatan pun mulai aku dapatkan. Namun, MG malah semakin merugi. Pihak akuisisi mulai unjuk gigi untuk mengumbar janji manis akan menolong perusahaan MG yang berbasis IT ini. Dan perusahaan yang terus gencar melakukan itu adalah Stew and Art Corporation. Milik ayah Calvin. Tentang kasus ayah pun disenarai memiliki banyak kejanggalan. Hilangnya bukti, rekaman, bahkan saksi menambah daftar panjang pekerjaan cik Nurdin. Hingga kasus ini ditutup sebagai kasus dingin. Kami hanya bisa menunggu ayah untuk terbangun. Tapi kapan? ( Petaling Jaya, 2018 ) "Apa ni? Kenapa Amin buat macam ini ke kita? Dia buat sesuka hati karena abang tak kunjung bangun. Aisha! Awak kena lakukan sesuatu!" "Kak..tenanglah. Semua pasti ada jalan keluarnya," ucap bunda mencoba menangkan makcik yang sedari tadi terus mengomentari laporan keuangan MG. Makcik tetap tak puas hati. Sebagai pelampiasan, yang bisa makcik luapkan pastinya itu mengarah kepadaku. Aku tahu. Selama dua tahun ini, usahaku belum maksimal. Tapi..apa yang bisa aku lakukan dari mahasiswi sekaligus trainee di sana? Keterlibatanku benar-benar dibatasi. Jika aku tak memiliki ilmu lebih tentang manajemen, aku akan terus dianggap seperti ini oleh para penguasa MG. "Mereka terus saja anggap awak tak layak. Padahal awak dah dapat handle kan, Aisha? Awak kan pandai. Tentulah lebih awal lagi lulus dari universitas —" "Aisha baru dua tahun kuliah. Takkan dia cepat keluar akak," tandas pakcik Ridwan. Makcik masih tampak tak terima. Namun belum sempat ia berucap lagi, nenek sudah lebih dulu menegur anaknya itu untuk diam dan menyantap sarapannya dulu. Aku terkekeh melihat interaksi ibu dan anak ini. Seperti memang takkan ada habisnya mereka saling berselisih. Awalnya, aku pikir makcik Zaenab itu sadis karena cerewetnya yang berlebihan. Tapi akhirnya aku baru tahu belakangan, bahwa dia amat peduli dan sayang dengan abangnya. Ada yang mengatakan bahwa makcik takut bangkrut karena tak ada lagi suntikan biaya hidup jika ayah tak cepat pulih. Tapi bagiku, makcik bukan mengkhawatirkan itu. Ia lebih khawatir dengan hilangnya orang yang ia hormati dan sayangi. Yaitu ayah. "Dah lah tuh. Aisha mau makan pun tak tenang. Suaramu Zaenab..bisa bangunkan orang satu kampung!" ledek nenek yang memancing tawa orang-orang yang duduk di meja makan. Dan akhirnya, sarapan hari ini bisa tenang walau sebenarnya hal ini cukup menghibur di saat kondisi ayah yang juga belum mengalami perubahan. Dua tahun. Bukan waktu yang singkat. Ayah koma selama itu. Semua mulai frustasi. Semua mulai merasa lelah. Aku sendiri tak bisa lakukan apapun selain apa yang mereka harapkan. Tapi..justru karena ada mereka, aku bisa melalui hari-hari lebih baik disertai energi positif untuk melanjutkan hidup. Bukan hanya untuk kami, tapi juga pada ayah. "Jangan terlalu dipikirkan kata-kata makcikmu, Aisha." Bunda membuyarkan fokusku dari meja kerja. Kulihat bunda dengan telaten membersihkan ayah di atas tempat tidur. Kalau ditanya, siapa perempuan terhebat dalam hidupku. Itulah pasti adalah bunda. Bunda..beliau dengan sabar menghadapi cobaan ini. Bunda..selama dua tahun ini tak pernah mengeluh untuk merawat ayah. Bunda..selalu berkata bahwa ayah tak pernah menyusahkannya. Maka sampai kapanpun tugasnya sebagai istri akan terus berjalan walau ayah terbaring sakit. Bunda..adalah sosok yang membuatku bertahan dari tekanan ini. "Aisha nggak kepikiran kok bun. Aisha tahu tujuan makcik itu baik." "Tapi —" "Nggak apa-apa, Bun. Insya Allah, semua masih bisa —" Suara nyaring dari gawaiku berhasil menginterupsi pembicaraan ini. Sebuah panggilan yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah kuterima darinya. Dan kini, berita apa yang akan ia sampaikan padaku? "Assalamualaikum, pakcik. Apa kabar?" Suara bariton terdengar rendah di ujung telepon. Dengan seksama aku mendengarkan salamnya serta informasinya. "Awak kat mana?" tanya beliau, mungkin masih bingung karena posisiku terkadang harus balik ke Jakarta menemui Mirza yang kini tengah mempersiapkan ujian masuk universitas. "Di Petaling pakcik. Apa ada kabar terbaru?" "Ya —" jawabnya mantap. Aku sampai berdiri dari kursiku karena terkejut mendengarnya. Bunda juga langsung menilikku untuk mencaritahu. Kabar apa yang sampai membuatku terperenyak begini. "— pelaku telah ditangkap minggu lalu." "Apa? Alhamdulillah. Terima kasih pakcik. Aisha segera ke kantor polis hari ini." Bunda memelukku erat sambil ikut mengucap syukur. Sinar harapan itu muncul apalagi saat ayah juga memberi kejutan lewat jari telunjuknya yang tiba-tiba bergerak "Aisha! Ya Allah. Bunda bersumpah, jari ayahmu bergerak nak!" "Bunda!" Aku tak sengaja berteriak histeris karena ucapan bunda tersebut. Dan yang kulihat memang bukan bualan semata. Ayah memang menggerakkan jari telunjuknya beberapa kali walaupun matanya masih tertutup. Mendengar suara gaduh kami dari dalam kamar, makcik ikutan nimbrung dengan teriakannya sendiri karena terganggu dengan kehebohan kami. Tapi begitu bunda menjelaskan semua tentang ayah, makcik juga sama hebohnya. Beliau tak dapat menyembunyikan kesenangannya kepada kami. "Ya Allah..Alhamdulillah. Abang..abang Azis. Terima kasih abang. Terima kasih," ucap makcik penuh dengan uraian airmata bahagia yang tak dapat ia bendung. Ayah.. Kapanpun ayah bangun sepenuhnya, Aisha dan semua keluarga menunggumu ayah. Ayah.. Cepatlah bangun. . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN