Ada rasa lucu saat tak sengaja kupergoki Nana—Tatjana sedang diam-diam berusaha untuk mengambil fotoku. Kemungkinan terbesarnya adalah ... dia berusaha untuk tidak terlalu menunjukan bahwa ia memang salah satu penggemar beratku. Aku semakin merasa lucu kala teringat akan ekspresi kagetnya.
“Kamu kenapa senyum-senyum, Yas?” ucap Amel. Kuminta Amel untuk datang ke apartemenku. Aku membutuhkannya untuk sekalian menjadi lelah. “Dari tadi aku perhatiin kamu senyum terus. Ada apa?”
“Nggak ada apa-apa, sih.”
“Nggak usah bohong sama aku deh, Yas. Aku kenal sama kamu nggak sehari dua hari. Aku kenal kamu tahunan. Nemenin kamu tidur juga tahunan. Kamu nggak bisa bohong sama aku.”
“Jadi gini, Mel. Aku ketemu sama seorang cewek. Aku ketemu dia di acara meet and greetku waktu itu. Aku ngerasa dia beda banget sama cewek-cewek yang pernah aku temuin,” ucapku.
“Beda?” sahut Amel. Aku mengangguk. “Beda ... termasuk sama aku?”
“Iya, beda.”
“Bedanya gimana, Yas?”
“Gimana ya ....”
“Gimana apanya? Tinggal ngomong aja susah banget.”
“Kayaknya dia cewek baik-baik.”
“Kalo begitu, jangan sampe dia kenal sama kamu, Yas.”
“Kok kamu ngomong begitu, sih?”
“Dia bisa jadi nggak baik-baik kalo sampe kenal sama kamu, Yas.”
“Sembarangan banget kamu kalo ngomong, Mel.”
“Kenyataannya begitu, Yas. I said the truth.”
Aku mendengus kesal mendengar ucapannya. Kubalik tubuhku dan membelakanginya yang bersandar dengan satu tangan di kepalanya sambil menatap ke arahku. Menyadari aku yang merasa kesal karenanya, Amel menyelipkan salah satu lengannya di pinggangku.
“Jangan marah lah, Yas. Kita main lagi, yuk!”
Astaga! Amel begitu paham akan diriku. Ia tahu benar bagaimana cara menjinakanku. Dan akhirnya ... aku akan selalu menyerah.
“Mel, sampe kapan ya aku kayak begini?”
“Maksud kamu? Sampe kapan kamu mau terus tidur ganti-ganti cewek?”
“Iya.”
“Tanya diri kamu sendiri, Yas. Cuma kamu yang tau jawabannya. Kamu yang paling tau diri kamu sendiri.”
“Apa suatu ahri nanti aku bisa punya keluarga ya, Mel?”
“Bisa. Kalo kamu nyari.”
“Kamu sendiri gimana, Mel?”
“Ya nggak gimana-gimana, sih. Ada yang lagi deketin aku.”
“Dari kalangan entertainer juga?” tanyaku. Amel menjawabnya dengan gelengan. “Terus?”
“Orang biasa. Dosen. Dia duda anak dua.”
“Gas dong, Mel.”
“Kalo aku gas, nanti kamu nggak ada temen tidur, Yas,” kekehnya. “Lagi pula, aku masih belum ada niatan untuk nikah. Aku masih menikmati pekerjaanku. Bukannya aku nggak mau nikah. Tapi, belum aja. Nunggu ketemu yang cocok dan cinta. Aku cocok sama kamu, tapi nggak cinta. Itu kenapa aku nggak minta kamu nikahin aku, meskipun entah berapa kali udah tidur bareng.”
OoO
Sejak kunjungan keduaku ke warung nasi milik Tatjana, perlahan aku mulai sering menyempatkan waktu untuk mampir ke sana. Biasanya, aku akan ditemani Raditya. Tapi, hari ini ia harus pergi ke kantor agensi untuk mengurus bebrapa dokumen kontrak kerja baru.
Sebelum berangkat ke sana, kuselesaikan seluruh pekerjaanku di restoran. Sebenarnya ada beberapa orang yang kupercaya untuk memegang restoran. Mereka sudah cukup lama bekerja denganku. Aku sudah sangat mempercayai mereka.
Pekerjaanku di restoran lumayan berat. Aku harus turun langsung ke dapur untuk memastikan makanan yang dibuat di dapurku layak untuk disajikan kepada para pengunjung restoran. Terkadang, mereka juga akan meminta untuk langsung bertemu denganku demi bisa mengucapkan terima kasih atas makanan yang sudah disajikan.
“Makanannya enak, Chef. Kami selalu puas setiap kali ke sini. Sama sekali nggak pernah mengecewakan.” Pak Bondan adalah salah satu pengunjungtetap di restoranku. Ia akan selalu datang untuk makan malam bersama dengan keluarganya di setiap akhir pekan. “Saya pikir Chef Yasa nggak ada di sini.”
“Kebetulan jadwal saya kosong satu minggu ke depan, Pak. Jadi, saya full di restoran.”
“Wah, kami beruntung banget bisa ketemu sama Chef Yasa.”
“Kalau nggak ada saya, rasa makanannya tetap sama kan, Pak?” ucapku. Pak Bondan mengangguk. “Saya lega mendengarnya. Baik, Pak. Saya pamit kembali ke dapur. Silakan dilanjutkan makannya.”
“Terima kasih banyak ya, Chef.”
Aku menengok jam tangan yang melingkar di pergelangan tagngan. Masih ada waktu satu jam sebelum warung nasi tutup. Aku pun segera bersiap untuk segera berangkat. Kuserahkan sisa pekerjaan kepada anak buahku.
“Saya mau pulang. Tolong semuanya di-handle ya, Mas Juna,” ucapku pada Arjuna selaku Sous Chef di restoranku. “Oh, iya. Tadi saya cek persediaan bahan-bahan udah mau habis. Waktunya kita restock.”
“Baik, Chef. Jangan khawatir.”
“Saya pamit pulang ya, Mas.”
Dapur masih begitu sibuk. Suara dentang spatula yang beradu dengan wokpan pun nyaring terdengar. Di jam-jam seperti ini, pesanan makanan yang masuk justru sangat melimpah.
Salah satu pegawai di bagian depan masuk ke dapur. Ia terlihat bingung karena memindai ke seluruh penjuru dapur. Saat pandangannya berhasil menemukanku, ia pun mengembuskan napas lega.
“Kenapa, Ris?” tanyaku.
“Chef, di depan ada tamu. Dia cuma mau Chef Yasa yang masak untuk dia. Chef bisa?”
“Siapa, Ris?”
“Anaknya anggota dewan yang namanya lagi naik daun karena kemaren sempet ngebongkar kasus korupsi dana pendidikan.”
“Terus?” sahutku bingung. Apa hubungannya dengan statusnya yang anak anggota dewan?
“Temuin dulu deh, Chef. Chef ngomong langsung sama dia maunya apa. Dia di depan sama pacarnya.”
“Yaudah, saya mau temuin mereka dulu. Kamu balik kerja ya, Ris.”
Sebelum kembali ke stationnya, Risa menunjukkan meja di mana anak anggota dewan itu dan kekasihnya duduk menungguku. Aku berjalan menghampiri mereka yang tengah asyik bercengkrama. Sungguh terlihat seperti anak manja yang keinginannya harus selalu dipenuhi.
“Selamat sore, Mas ... Mbak,” sapaku pada keduanya. Keduanya masih sangat terlihat mudah. “Pegawai saya bilang kalau Mas dan Mbak mau ketemu langsung dengan saya. Ada yang bisa saya bantu?”
“Gini, Chef. Kita berdua ke sini karena hari ini anniv kita yang kedua. Bisa nggak kalo hari ini Chef Yasa langsung yang masak untuk kita?” ucap anak laki-laki yang umurnya kutaksir di awal dua puluhan. Sang kekakih pun mengangguk antusias. “Kita mau anniv kali ini berkesan. Pacar saya kebetulan ngefans banget sama Chef Yasa. Bisa kan, Chef?”
“Baik. Apa Mas dan Mbak sudah menentukan makanan yang mau dipesan?” tanyaku. “Restoran kami menyediakan menu Indonesian dan weatern..”
“Udah, Chef. Kita berdua pesan ini sama ini, ya.” Kulihat telunjuknya yang diarahkan ke buku menu.
“Baik. Satu porsi salmon steak with mushroom sauce dan chicken Alfredo, ya. Mohon ditunggu. Pesanannya akan segera saya buatkan.”
Aku kembali masuk ke dapur dengan perasaan tak tenang. Waktuku akan segera habis. Mungkin, warung nasi Tatjana sudah tutup saat aku sampai di sana. Ah, sudahlah. Aku tetap akan mencoba tanpa memikirkan bagaimana akhirnya nanti.
Segera kuselesaikan pesanan si anak anggota dewan dan kekasihnya itu. Bahkan, aku sendiri lah yang langsung mengantarkan dan menhidangkan di atas meja. Meskipun aku sudah mengorbankan waktu, ada rasa puas saat melihat raut wajah bahagia mereka.
“Wah, makasih banyak ya, Chef. Kita seneng banget,” ucap si anak anggota dewan. Aku tersenyum dan mengangguk. “Sayang, kamu makan, ya. Ini masakannya Chef Yasa.”
“The best anniversary celebration ever, Hon!” pekik si gadis.
“Kalau semuanya sudah cukup, saya pamit kembali ke belakang,” ucapku.
“Tunggu, Chef. Aku boleh foto bareng sama Chef Yasa nggak?” ucap si gadis. Aku kembali mengangguk. “Kalo Chef Yasa nggak keberatan, boleh ya sekalian rekam video yang isinya Chef kasih ucapan selamat ke kita berdua.”
“Bo—boleh, Mbak. Dengan senang hati.”
Baiklah. Tak ada salahnya membahagiakan orang lain di ahri spesial mereka, kan?
Selesai mengambil beberapa gambar, aku masih harus merekam satu video dengan ucapan selamat untuk sepasang lovebird ini. Mereka terlihat begitu dimabuk asmara. Di sepanjang sesi rekaman, keduanya selalu berpegangan tangan satu sama lain.
“Happy anniversary yang kedua untuk Vito dan Nasha. Semoga kalian berdua langgeng selalu, ya. Terima kasih sudah berkenan mampir ke restoran kami. Ditunggu kedatangan selanjutnya, ya.”
OoO
Benar dugaanku. Sesampainya di sana, mereka sudah bersiap untuk menutup warung. Aku segera keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam.
“Lho, Chef Yasa?” ucap Tuti. “Kenapa, Chef? Kok lari-lari?”
“Wrungnya mau tutup ya, Tut?” tanyaku. Tuti mengangguk. “Yah, saya telat. Masakannya habis semua?”
“Nggak, Chef. Masih ada beberapa, kok. Chef mau makan?”
“Niat awalnya sih begitu. Di dalam masih ada apa, Tut?”
“Chef lihat sendiri aja di dalam, ya.”
Sesampainya di dalam warung, memang tak banyak makanan yang masih dipajang di dalam etalase. Aku beruntung karena masih ada beberapa potong ayam goreng, perkedel kentang dan sambal terasi. Aku sudah sangat lapar. Sengaja aku menahan lapar untuk bisa makan di sini.
“Sepi banget, Tut. Pada ke mana?”
“Endah sama Siti lagi nyuci piring-piring sama perabotan yang kotor, Chef. Ibuk udah mapan turu duluan.”
“Nana ke mana?”
“Ah, saya tau. Chef ke sini pasti nyari Mbak Nana, kan?” ucapnya. Aku hampir saja tersedak. “Saya bener kan, Chef?”
“Nana pergi, Tut?” sahutku.
“Mbak Nana ada di kamarnya, Chef. Lagi kerja.”
“Nana itu kerja apa sih, Tut?” tanyaku penasaran.
“Yang saya tau, Mbak Nana itu nulis cerita n****+. Ceritanya cuma bisa dibaca di aplikasi hape.”
“Oh, begitu. Selain nulis, Nana kegiatannya apa?”
“Bantu-bantu di warung. Itu aja, sih. Kalo udah nulis, Mbak Nana bisa nggak keluar kamar seharian. Kerja pun harus tenang banget, Chef. Saya tinggal sebentar, Chef. Mau masukkin makanan-makanan sisa ke kulkas dulu. Chef saya tinggal sendirian di sini nggak apa-apa, kan?”
“Iya nggak apa-apa, Tut. Silakan kamu lanjutin kerjaan kamu.”
Saat tengah asyik menyantap makananku, suara derap langkah seseorang dari dalam mendekat ke arah warung. Aku tersenyum saat mengetahui siapa yang baru saja datang. Aku datang karenanya.
“Udah lama, Chef?” ucap Tatjana. Aku menggeleng. “Tuti bilang Chef ke sini mau ketemu sama saya. Ada apa, Chef?”
Hah? Gila!
“Oh, nggak ada apavapa, Na. Saya cuma ngerasa warung kok sepi banget. Nggak kayak biasanya.”
“Ya jelas sepi, Chef. Kan udah tutup. Seharian ini rame. Chefnya aja yang datengnya kemalaman. Lagi sibuk banget ya kerjanya?”
“Lumayan, Na. Kerjaan kamu udah selesai?”
“Udah dari tadi sih, Chef. Cuma saya baru keluar kamar aja. kenapa, Chef?”
“Nggak apa-apa, Na. Na, bisa tolong buatin saya ....”
“Es teh tawar?” sambarnya. Aku mengangguk. “Tunggu sebentar ya, Chef.” Tak lama, Tatjana kembali dengans egelas es teh tawar di tangannya. “Diminum dulu, Chef. Karena Chef datengnya kemalaman, udah nggak kebagian tumis sayuran. Seret banget pasti itu makannya.”
“Na ....”
“Ya, Chef?”
“Kamu keberatan nggak kalo duduk di sini nemenin saya makan?” Kutepuk sisi kosong di bangku kayu yang kududuki. “Kita bisa ngobrol, Na.”
Tatjana mengabulkan permintaanku. Dengan kacamata yang masih bertengger di hidungnya, ia pun duduk di sebelahku. Aku menatap wajah ayunya dengan kacamatan berbingkai merah muda yang lembut. Terlihat sangat cantik.
“Mata kamu minus berapa, Na?”
“Yang kiri satu. Yang kanan setengah, Chef.”
“Tapi, kamu masih bisa lihat dengan jelas kan, Na?”
“Bisa, Chef. Masih jelas, kok.”
“Tapi, saya ngerasa kamu kok nggak bisa lihat maksud kedatangan saya ke sini dengan jelas ya, Na.”
“Maksud Chef Yasa gimana, ya?”
“Iya, maksud kedatangan saya ke sini.”
“Emangnya apa maksud kedatangan Chef ke sini?”
“Maksud kedatangan saya ke sini ... saya mau mengenal kamu lebih dekat. Boleh nggak, Na?”