NANA 7 : Kepergok

1688 Kata
“Iya, Chef. Bo—boleh.” “Terima kasih untuk hari ini, ya. Makanannya enak-enak. Saya pamit pulang. Saya bakal mampir kali kalo ada waktu senggang. Semoga kamu nggak keberatan, ya.” “Ng—nggak, Chef. Silakan datang lagi.” Aku masih menatap ke arah Yasa yang berjalan menuju pintu keluar warung. Sama sekali tak menyangka kalau dari begitu banyak warung nasi yang ada, dia justru secara tidak sengaja datang ke warungku. Susah payah aku menghindar darinya, namun Tuhan membuka jalan dengan mudahnya. Aku hanya tak ingin dianggap penggemar yang menggoda idolanya. Kebanyakan penggemar Yasa adalah kaum betina. Sudah paham betul bagaimana para betina marah saat miliknya diaku hak milik, bukan? Aku hanya menghindari kondisi mengerikan itu. Pernah ada kejadian konyol yang terjadi beberapa tahun yang lalu saat Yasa baru saja menapaki dunia hiburan tanah air sebagai seorang celebrity chef . yasa tampil sebagai bintang tamu di acara kontes memasak sebagai salahs eorang chef muda berbakat. Sejak kemunculannya saat itu, ia berhasil menarik simpati para penonton acara itu. Bahkan. Rating acara meningkat pesat khusus di episode yang menampilkan dirinya. Banyak orang, termasuk aku sendiri, mencari semua berita tentangnya. Usiaku yang kala itu masih terbilang sangat muda dipenuhi oleh rasa penasaran yang teramat besar. Mencari semua informasi tentangnya dari Google, Wikipedia, bahkan langsung meluncur ke akun sosial medianya. Kejadian konyol yang kumaksud adalah Yasa mem-follback salah satu wanita yang menjadi penggemarnya. Karena hal itu, dunia persilatan pun menjadi sangat heboh. Begitu banyak pro dan kontra yang bertebaran. Mereka saling berasumsi dan beropini tentang tindakan Yasa. Tim santai menanggapi hal itu dengan masa bodoh dan menganggap semuanya tidak penting karena itu hak pribadi Yasa. Tapi, tim ngegas yang menonjolkan urat leher saat berteriak menganggap penggemar itu berhasil menggoda Yasa. How ironic it was. Yasa yang menyadari kegaduhan sedang terjadi pun segera menonfirmasi kebenaran. Ternyata, wanita yang dianggap penggemar itu adalah kerabat dekatnya. Benar-benar kesalahpahaman yang sangat besar dan memalukan karena tim ngegas sudah terlanjur melancarkan serangan sumpah serapah ke akun i********: wanita itu. Aku tak ingin menjadi korban selanjutnya. Aku tak ingin mereka menganggap aku telah menggod Yasa, meskipun tidak munafik kalau aku memang sangat tergila-gila padanya. Siapa yang bisa menolak seorang Yasa Maitreya? Tidak satu pun. Jika ada, maka orang itu benar-benar harus menemui psikolog untuk sesi konsultasi. “Kok tadi aku dicubit sih, Mbak?” ucap Endah padaku. Tadi, aku memang sempat mencubitnya. Endah hampir saja membongkar semuanya. “Kan sakit.” “Maaf ya, Endah. Nanti jangan kayak gitu lagi, ya. Aku nggak mau Chef Yasa mikir aku tergila-gila banget sama dia.” “Tapi, kan emang bener kalo Mbak Nana tergila-gila sama Chef Yasa, kayak kita bertiga ngepens sama dia. iya kan, Mbak?” sambar Siti. “Iya. Tapi ... ah udah lah. Aku bingung jelasinnya.” “Eh, tapi kok Chef Yasa kayaknya kenal banget sama Mbak Nana. Kayak udah jadi temen,” ucap Tuti. “Nggak begitu, Tut. Mungkin karena aku pernah kasih titipan kalian ke dia, makanya dia inget sama aku. Aku mau siapin baju ganti untuk Ibu dulu. Nanti tolong anterin ke rumah Bu Santi, ya. Kalo sekiranya udah nggak ada yang dateng, watungnya ditutup aja. Kalian istirahat aja. Besok warung buka atau gimana?” “Ibuk pesen warung ditutup aja karena besok Ibuk masih rewang di rumah Bu Santi, Mbak.” “Yaudah. Kalian istirahat yang cukup.” OoO Sejak kunjungan pertamanya hari itu, Yasa kembali aktif mengirimiku pesan. Aku tak bisa lagi menghindar. Ia sudah tahu di mana tempat tinggalku. Bukan tidak mungkin kalau ia akan langsung datang ke sini kalau-kalau pesannya terus-terusan tidak kuacuhkan. Siapa yang tak senang mendapat pesan dari idolanya? Itulah perasaan yang tengah kurasakan kali ini. Tapi, aku selalu menduga-duga apa motifnya mendekatiku. Rasanya konyol kalau kupikir dia tertarik padaku. Sudah kukatakan kalau aku kalah jauh jika dibandingkan dengan wanita-wanita yang pernah digandengnya. Bahkan, tak bisa disamakan barang seujung kuku pun. Baiklah. Aku hanya cukup membalas pesan-pesan darinya seperlunya. Ingat. Se-per-lu-nya. [Yasa Maitreya : Lagi apa, Na?] Sudah beberapa hari ini ia mulai memanggilku dengan nama itu. Rasanya aneh karena sebelumnya ia memanggilku dengan nama ‘Tatjana’. [Tatjana Amaryllis Katja : Lagi negrjain kerjaan, Chef. Udah deket deadline. Kenapa, Chef?] [Yasa Maitreya : Nggak apa-apa. Aku nggak boleh nanya-nanya, ya?] [Tatjana Amaryllis Katja : Eh, nggak begitu. Boleh, kok.] [Yasa Maitreya : Na, kamu keberatan nggak kalo saya minta kontak kamu? Rasanya ngobrol di sini kurang efektif. Saya jarang buka Instagram.] [Tatjana Amaryllis Katja : Kontak saya? Nomor handphone maksudnya?] [Yasa Maitreya : Iya. Boleh? Semoga pertanyaan kamu yang tadi bukan sebuah penolakan ya, Na.] Hati, tolong jangan terlalu senang dulu. Tapi ... mimpi apa aku semalam? Yasa meminta nomor ponselku! Kasih. Nggak. Kasih. Nggak. Kasih. [Tatjana Amaryllis Katja : 087X-XXXX-XXXX. Itu nomor saya ya, Chef.] Tak ada balasan darinya. Tapi, pesanku sudah terbaca. Tak lama, ada sebuah notifikasi yang masuk ke ponselku. Dari nomor tak dikenal. [0812-XXXX-XXXX : Na, ini nomor saya. Kalo nggak keberatan, tolong disave, ya. -Yasa-] Aku masih tak bisa percaya dengan apa yang baru saja k****a di layar ponsel. Yasa langsung mengirimiku pesan. Tanpa berpikir, aku langsung membalas pesannya, namun tetap menjaga agar ia tak mengira aku sangat bahagia mendapatkan pesan darinya. [Nana : Hai, Chef. Siap. Saya udah save nomornya.] [Chef Yasa : Kita pindah ngobrol di sini ya, Na. Kamu keberatan nggak?] [Nana : Nggak, Chef. Sama sekali nggak, kok.] [Chef Yasa : Senangnya. Aku pikir kamu bakalan keberatan. Aku boleh tanya satu hal, Na?] [Nana : Silakan, Chef. Chef mau tanya apa? Selama saya bisa jawab, pasti saya jawab.] [Chef Yasa: Kamu ... kamu nggak join di Pepaya, ya?] [Nana : Oh, itu. Bukannya nggak join, Chef. Saya belum join.] [Chef Yasa : Oh, begitu. Na, saya boleh ke warung lagi?] [Nana : Boleh, Chef. Silakan. Kebetulan Ibu ada di rumah. Chef bisa langsung dilayani sama Ibu.] [Chef Yasa : Tapi, saya bukan mau ketemu Ibu kamu. Saya mau ketemu sama kamu, Na.] Tuhan! Bantu Nana. Tolong. [Nana : Eh, Chef bercandanya suka ngada-ngada, deh.] [Chef Yasa : Saya serius, Na. Saya on the way ke sana, Na. Saya dari restoran. Kebetulan jaraknya nggak terlalu jauh dari restoran saya.] OoO Yasa memenuhi ucapannya. Tak butuh lama. Hanya sekitar tiga puluh menit, ia sudah ada di hadapanku. Seluruh pengunjung warung terkesiap kaget menyambut kedatangannya. Yasa membintangi lumayan banyak produk. Ia sering muncul di layar televisi. Maka tak heran kalau semua orang mengenalinya. Para pengunjung yang hadir seakan tak ingin kehilangan momen. Mungkin, mereka menganggap saat ini adalah jumpa penggemar dadakan. Masing-masing dari mereka seakan lupa dengan makanan yang tersaji di hadapan. Mereka malah sibuk dengan ponselnya masing-masing. “Chef, boleh minta foto bareng, ya?” ucap Pak Ihsan, salah seorang langganan yang memang sudah sangat sering datang ke sini. Pak Ihsan adalah petugas keamanan di sebuah kompleks perumahan elit yang letaknya tak jauh dari sini. “Mau saya pamerin sama ART-ART di kompleks.” “Siap, Pak. Boleh. Mau foto di mana, Pak?” Yasa segera melepas kacamata hitam yang masoh bertngger di hidungnya. Dilipatnya kaca mat hitam itu dan digantungnya di saku kemejanya. “Di sana kayaknya cahayanya bagus. Kita foto di sana ya, Pak.” Aku begitu terlena menyaksikan sesi pengambilan gambar Yasa dan beberapa penggemarnya. Setelah mengambil gambar, mereka pun menyelesaikan makan dan berpamitan satu per sat. Kusodorkan segelas es teh tawar yang baru saja kubuat ke arah Yasa yng terlihatsedikit kehausan karena beberapa kali kupergoki ia tengan memegangi tenggorokannya. “Diminum dulu, Chef. Kalo mau gula bisa saya tambahin.” “Terima kasih ya, Na.” “Sama-sama, Chef. Chef mau makan apa?” ucapku. Aku sudah siap dengan piring yangkuisi dengan dua centong nasi putih yang masih mengepulkan hawa panas. “Silakan dipilih lauknya, Chef.” “Saya mau tumis buncis, telur balado, ikan pindang goreng, tempe goreng tepung dan sambelnya ya, Na.” Kuiisi piringnya dengan lauk-lauk yang menjadi pilihannya. Aku segera masuk ke dalam setelah menyerahkan makanannya untuk mengambil ponsel. Saat kembali ke warung. Ternyata kutemui Ibu sedang mengobrol dengan Yasa. “Nana kok nggak bilang kalo ada Chef Yasa ke warung kita.” “Ibu kan lagi sibuk di dapur sama yang lain. Lagi juga Chef Yasa baru banget dateng. Itu apa, Bu?” tanyaku saat kulihat Ibu menenteng sebuah paperbag di tangan kanannya. “Oh, ini dari Chef Yasa. Katanya ini makanan dari restorannya Chef Yasa. Dimasak khusus untuk kita.” “Kayaknya tadi Chef nggak bawa apa-apa, deh.” “Saya lupa kalo bawa itu. Tadi saya tinggal di mobil. Waktu kamu ke dalam, saya ke luar untuk ambil itu di mobil. Itu salah satu menu best-seller di restoran saya. Semoga kamu cocok sama rasanya ya, Na.” “Menu best-sellernya apa nih, Cehf?” tanyaku sambil sedikit mengintip isi di dalam paperbag itu. “Saya bawa beberapa macam makanan. Salah satunya ada soto mi Bogor. Kebetulan saya suka banget sama soto mi Bogor. Jadi, saya masukin soto mi Bogor ke dalam menu restoran. Dan surprisingly, banyak yang suka. Semoga kamu juga suka.” Seketika, aku bergidik ngeri mendengar isi di dalam paperbag itu. Aku akan memakan apapun yang ada di dalamnya, kecuali soto mi Bogor. Sejak hari itu sampai sekarang aku belum pernah lagi menyentuh soto mi Bogor. Seakan menjadi trauma mendalam bagiku, meskipun hanya mendengar namanya saja. “Terima kasih banyak, Chef. Bu, bawa masuk.” “Iya. Na, kamu temenin Chef Yasa. Ibu mau lanjut ke dalam untuk siap-siap yang mau dijual besok.” Aku mengangguk. “Chef, Ibu tinggal masuk dulu, ya. Dikenyangin makannya.” “Iya, Bu. Terima kasih banyak ya, Bu.” Aku beruntung karena ada etalase makanan yang membatasi pandanganku dengannya. Aku tak ingin Yasa menangkap basah aku yang mengambil fotonya diam-diam. Ini hal yang sangat langka. Seorang Yasa Maitreya terlihat begitu menikmati makanan yang di jual di warung nasi. “Na, kamu nggak harus diem-diem ambil foto saya kayak begitu.” Ucapannya seketika membuatku langsung terdiam dan segera menurunkan ponsel. Yasa terkekeh melihatku yang membeku menatap polos ke arahnya. Ternyata dia menyadari apa yang baru saja kulakukan. “Ma—maaf, Chef.” “Kalo kamu mau, kita bisa foto berdua. Gimana?” Mampus gue.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN