“Maksud kedatangan saya ke sini ... saya mau mengenal kamu lebih dekat. Boleh nggak, Na?”
Aku terpekur diam mendengar satu kaimat yang baru saja meluncur dari mulutnya. Yasa terlihat begitu tenang. Aku juga tetap berusaha untuk tenang, meskipun satu organ bernamakan jantung begitu bergemuruh tak keruan di dalam sana.
Aku jelas merasa sangat terkejut dengan ucapannya. Sete;ah beberapa kali berkunjung ke sini dan banyak mengobrol, tiba-tiba Yasa mengatakan kalau ia ingin mengenalku lebih dekat. Untuk apa?
Aku tak boleh cepat terbang ke angkasa. ‘Mengenal lebih dekat’ bisa memiiki banyak makna. Tenang, Na.
Menyadari aku yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, Yasa pun segera meletakkan sendok di piringnya. Ia menatap kedua mataku yang ada di balik kacamata dengan sangat lekat. Diseruputnya es teh tawar yang kubuatkan atas permintaannya.
“Na, kok diem aja? Gimana?”
“Gimana apanya, Chef?”
“Astaga, Nana. Saya kan udah kasih tau ke kamu maksud kedatangan saya ke sini. Saya mau kenal kamu lebih dekat. Kamu ngerti maksud semua ini kan, Na?” Ingin rasanya aku mengangguk, namun sepertinya menggeleng akan menjadikan semuanya lebih jelas. Aku pun akhirnya menggelengkan kepala. “Na, saya mau kenal kamu lebih dekat. Mungkin ini kedengerannya konyo dan tiba-tiba banget. Saya udah tertarik sama kamu saat di acara meet and greet waktu itu.”
DEG.
Na, jantung aman?
“Maksud, Chef? Chef nggak bermaksud untuk ....”
“Kalau kamu berkenan, bukan nggak mungkin kita bisa menjalin sebuah hubungan, kan? Saya single. Kecuali kalau ... kamu single kan, Na?” ucapnya. Aku mengangguk pelan. “Langkah saya bakal lebih gampang ke depannya karena nggak harus bersaing sama siapapun.”
“Ini bukan terlalu terburu-buru, Chef. Tapi, buat saya ... ini aneh. Banget. Okay, terima kasih untuk ungkapan perasaan Chef ke saya. Kalo Chef memang mau kenal saya lebih dekat, silakan. Saya nggak bisa ngelarang. Monggo. Saya membuka diri. Tapi, untuk ke depannya kita nggak ada yang tau. Jadi, jalani aja dulu ya, Chef.”
“Apa kamu pernah gagal dalam percintaan, Na? Atau pernah sakit karena laki-laki?” ucapnya.
“Chef mau kenal saya lebih dekat, kan?” kataku. Yasa mengangguk. “Seiring berjalannya waktu, Chef akan tau seluk-beluk tentang saya. Itu juga kalo Chef tahan. Saya termasuk orang yang susah untuk dideketin.”
“Saya akan coba segala cara untuk bisa deketin kamu, Na.”
“Sebelumnya saya mau tanya. Boleh?”
“Silakan. Kamu mau tanya soal apa?”
“Chef bukannya lagi deket sama Amel yang model itu, ya?”
“Saya hampir lupa kalo kamu salah satu dari penggemar saya,” sahutnya dengan percaya diri. “Kamu pasti dapet info ini dari internet, kan?”
“Di TV juga ada, sih?”
“Saya dan Amel cuma teman. Saya sengaja ajak Amel ke acara itu untuk menyelamatkan saya dari pertanyaan ‘Kapan nikah?’ yang biasa ditanyakan keluarga besar saya.”
“Oh, begitu.” Aku merasa lega setelah mendengar penjelasannya. Mungkin, aku menjadi satu-satunya orang yang berada di deretan para penggemarnya yang tahu akan kenyataan ini. “Apa nggak masalah, Chef? Chef nggak takut kalo nanti malah ada skandal baru?”
“Maksud kamu, Na? Skandal apa? Skandal saya pura-pura pacaran sama Amel atau ....”
“Jangan dilanjutin, Chef. Kita belum tau gimana akhir dari semuanya, kan.”
“Kamu tenang aja. Mental saya dibentuk untuk menghadap skandal-skandal. Soal Amel, kayak yang saya jelasin ke kamu. Kami cuma teman,” ucap Yasa yang mendadak memelan di kata ‘teman’.
Jangan-jangan ... ah mungkin ini hanya pikiranku saja.
OoO
Hari demi hari pun berlalu begitu saja. Aku tak bisa menampik kenyataan kalau aku dan Yasa memang menjadi jauh lebih dekat dari sebelumnya. Tiap kali ada waktu luang, Yasa pasti akan menyempatkan diri untuk mampir ke rumah.
Belum ada status jelas soal hubungan ini. Aku masih menempati posisi sebagai seorang penggemar yang sedang menjalin kedekatan dengan idolanya.
“Kalo kamu sibuk, nggak usah maksain ke sini, Yas.” Yasa memintaku untuk berhenti memanggilnya dengan sebutan ‘Chef’. Mati-matian aku berusaha membiasakan diri untuk bisa memanggilnya dengan cara yang diinginkannya. “Rumahku bukan nggak pake fingerprint, kok.”
Yasa terkekeh. Ia baru saja menyelesaikan makan siangnya. Akhir-akhir ini, ia lebih memilih untuk menikmati makanannya di ruang tamu rumahku ketimbang di warung seperti sebelum-sebelumnya. Hal itu dikarenakan kondisi warung yang selalu ramai di setiap jam makan siang.
“Ini yang aku suka dari kamu, Na,” ucapnya yang membuatku mengernyitkan dahi. “Kamu selalu tau gimana caranya bikin aku ketawa. Kayaknya kamu lupa kalo aku sedang dalam masa pendekatan ke kamu.”
“Oh, jadi rajin datengnya karena lagi pendekatan aja,” sahutku.
“Bukan begitu, Na. Bukan.”
“Santai aja, aku cuma bercanda. Kamu lanjut makannya. Aku mau ke kamar dulu.”
Kutemui Yasa tengah menyandarkan kepalanya sambil memejamkan kedua mata di sandaran kursi ruang tamu. Dia terlihat sangat kelelahan. Dari ceritanya, dia pulang pagi setelah Subuh karena harus menyelesaikan syuting di luar kota.
“Yas ....” Kusenggol bahunya perlahan. “Yas ....”
Yasa yang sepertinya sedikit terkejut sontak mengerjapkan kedua matanya. Ia pun meregangkan otot-ototnya.
“Aku ambilin bantal, ya. Atau ... kamu bisa tidur di kamar tamu. Di sini berisik karena dekat sama warung. Gimana?” tawarku padanya.
“Jangan, Na. Aku nggak enak sama Ibu.”
“Nggak apavapa. Aku minta izin dulu ke Ibu, ya. Kamu tunggu di sini.”
Aku meninggalkannya dan berjalan menuju ke warung. Di sana, Ibu sedang duduk sambil membaca majalah bulanan langganannya sambil menunggui beberapa pengunjung yang masih menikmati makanan mereka. Ibu yang menyadari keberadaanku pun segera menutup majalah.
“Ada apa, Na?”
“Bu, Yasa kelihatan capek banget. Boleh numpang tidur di kamar tamu?” ucapku. Ibu mengangguk.
“Iya. Tadi Ibu juga sempet lihat. Kayaknya dia emang kecapekan banget, Na.”
“Pulang subuh dari Bandung, Bu. Yaudah, aku balik ke dalam lagi ya, Bu.”
Kumpimpin jalan menuju ke kamar tamu yang ada di lantai atas, bersebrangan dengan kamarku. Setelah kupastikan ia masuk ke sana, aku kembali ke kamarku untuk menyelesaikan pekerjaanku. Setelah libur beberapa hari membuat para penggemar Damar menerorku dengan serbuan pesan pribadi di akun media sosialku.
Setiap mengerjakan pekerjaan, aku pasti selalu larut akan suasana. Meskipun yang kugarap hanyaah cerita fiksi belaka, entah kenapa selalu membuatku sukses seakan aku memang berada di dalamnya.
Astaga! Aku terlalu menikmati pekerjaanku. Aku tak sadar sudah melewati beberapa jam. Ini sudah hampir jam makan malam. Aku keluar kamar dan mengintip Yasa yang masih tertidur pulas di kamar tamu. Aku masih belum bisa percaya seorang Yasa Maitreya sedang menumpang tidur di kamar tamu rumahku.
“Masih tidur,” gumamku.
“Na ....” Suara Ibu menginterupsiku yang tengah asyik mengamatinya tertidur.
“Kenapa, Bu?”
“Nggak dibangunin? Udah sore banget, lho. Emangnya dia nggak pulang?”
“Iya, Bu. Aku bangunin dia dulu, ya.”
“Ajak makan di ruang makan ya, Na. Ibu udah siapin makanan di sana. Gina juga baru banget pulang. Kalian bisa makan bareng.”
Perlahan, kubuka pintu kamar tamu. Yasa masih terlelap dengan pulas. Suara dengkuran pun terdengar dari mulutnya.
“Yas, bangun. Udah sore. “ Sama sekali tak ada pergerakan darinya. “Yasa, bangun.”
Kedua matanya perlahan mengerjap. Tubuhnya pun menggeliat meregangkan otot-otot. Demi apapun aku berani bersumpah, Yasa dalam keadaan bangun tidur sungguh sangat ... tampan.
“Jam berapa, Na?” tanyanya.
“Hampir maghrib. Bangun, Yas. Ibu udah siapin makanan di meja makan. Aku tunggu kamu di sana, ya.”
OoO
“Mas Yasa, aku boleh minta foto bareng?” ucap Gina di sela-sela makan malam kami. Yasa tersenyum dan mengangguk. “Temenku pada nggak percaya kalo aku sering ketemu Mas Yasa.”
“Bisa, Gin. Kamu tenang aja.”
“Mas Yasa lagi sibuk apa?” tanya Gina.
“Kebetulan sekarang-sekarang aku cuma lagi sibuk urus restoran sama acara TV aja. Semua syuting iklan produk udah selesai. Tapi, kemungkinan besar aku bakal sibuk banget bulan depan. Ada tur promosi minyak goreng yang aku iklanin.”
“Gara-gara Mas Yasa, Jernih jadi incaran ibu-ibu, lho.”
“Itu artiya aku berhasil jadi brand ambassador, Gin,” ucap Yasa. “Bukan karena akunya, sih. Tapi karena kualitas minyak gorengnya yang memang bagus. Aku juga pake di restoran.”
“Makan dulu. Ngobrolnya dilanjut nanti.”
Selesai makan malam, kami bertiga berpindah duduk ke ruang TV. Di sana, kami pun lanjut berbincang. Yasa banyak menceritakan soal keluarganya.
“Nanti aku bakal ajak kalian main ke rumah orang tuaku. Mereka pasti senang.” Pandangannya memindai ke arah foto keluarga yang dipajang di atas teevisi. “Itu ayah kalian?”
“Iya,” jawabku. “Itu almarhum Bapak.”
“Bapak sudah lama nggak adanya?” tanya Yasa. Aku dan Gina mengangguk. “Sudah berapa tahun?”
“Delapan tahun. Nggak kerasa delapan tahun lewat begitu aja tanpa Bapak.”
“Almarhum meninggal kenapa, Na?”
“Tabrak lari, Mas,” serobot Gina. “Sampe sekarang pelaku tabrak larinya nggak bisa kedeteksi. Dulu Mbak Nana bolak-balik kantor polisi. Tapi, tetep nggak ada hasilnya. Malah ....”
“Gina, udah. Cukup.”
“Maaf, aku sama sekali nggak bermaksud untuk buat kalian sedih. Sekali lagi aku minta maaf, ya.”
Jam dinding sudah menunjuk angka sembilan. Warung sudah tutup. Yasa pun berniat untuk segera pulang. Ia harus bekerja di restorannya esok hari.
Aku mengantarkannya sampai ke mobilnya.
“Aku minta maaf untuk yang tadi ya, Na.”
“Yang mana?” sahutku.
“Soal Bapak. Aku minta maaf.”
“Nggak ada yang harus dimaafin, Yas. Santai aja. Semua sudah ikhlas menerima, kecuali aku. Aku masih belum bisa terima kenyataan kalo yang nabrak Bapak belum ketemu.”
Yasa meraih satu telapak tanganku dan mengusapnya dengan lembut.
“Jangan sedih ya, Na. Ada aku di sini.”