“Jernih membantu anda menciptakan yang terbaik di dapur anda sendiri. Jernih ... minyak gorengnya Chef Yasa.”
Ini adalah kali kelima kuucapkan kalimat itu. harus diulang dan diulang. Jujur, hari ini aku merasa tubuhku sangat lelah. Aku pulang sangat larut tadi malam.
Kru syuting pun terlihat sedikit tidak puas dengan pekerjaanku hari ini. Ini kali pertamaku bekerjasama dengan mereka. Dan dari yang kutahu, mereka memang sudah sangat berpengalaman.
“Chef, istirahat dulu. Nanti kita lanjut lagi. Gimana? Chef Yasa kelihatan capek banget. Kemaren banyak kerjaan ya, Chef?” tanya Mas Hikam selaku sutradara iklan ini. Mas Hikam sudah begitu banyak menyutradai iklan-iklan yang ditayangkan di televisi.
“Iya, Mas. Kemaren ada kerjaan di luar kota dan baru balik tengah malam. Saya minta maaf ya, Mas.”
“Nggak apa-apa, Chef. Kita mulai lagi dua jam, ya. Chef Yasa bisa tidur sebentar supaya staminanya balik lagi.”
“Terima kasih banyak ya, Mas Hikam.”
Raditya mengekor di belakangku. Kami berdua berjalan memasuki ruang istirahat. Bukan kasur empuk, namun hanya selembar kasur busa. Segera kurebahkan tubuh di atas kasur busa dan bersiap menjemput mimpi untuk dua jam ke depan.
Dua jam berlalu dengan sangat cepat. Tim make-up segera membenahi penampilanku. Aku siap untuk mengambil gambar, meskipun masih dengan keadaan sedikit mengantuk.
“Chef Yasa sudah siap?” tanya Mas Hikam yang baru saja melihatku selesai dirias untuk yang kedua kalinya. Aku mengangguk. “Alhamdulillah. Kalo misal belum siap nggak apa-apa tidur dulu. Kami semua nggak ada jadwal lagi hari ini.”
“Nggak, Mas. Udah cukup tidurnya. Nanti bisa dilanjut di rumah,” sahutku.
Saat tidur tadi, aku tak sepenuhnya bisa larut dalam istirahatku. Otakku terus berjalan. Menghafal naskah dan mengoreksi actingku. Aku hanya ingin pulang cepat. Aku butuh tidur panjang.
“Jernih membantu anda menciptakan yang terbaik di dapur anda sendiri. Jernih ... minyak gorengnya Chef Yasa.”
“CUT! Perfect. Chef Yasa emang bener-bener butuh istirahat. Buktinya istirahat dua jam aktingnya langsung balik keren lagi. Hari ini kita selesai ya, Chef. Saya bakal langung tunjukkin hasil syuting kita ke pihak perusahaan supaya mereka bia menilai. Kalau nanti mereka kurang puas dan minta untuk direvisi, Chef Yasa keberatan, nggak?”
“Oh, tentu nggak. Justru saya harus kasih mereka yang terbaik kan, Mas? Kan saya kerja dibayar,” kekehku. “Saya udah boleh pulang, Mas?”
“Boleh, Chef. Silakan. Eh, sebelum pulang Chef bisa makan dulu. Udah disediain makanan di sana,” ucap Mas Hikam. Ia menunjuk ke arah sebuah meja di pojok ruangan. Di atasnya memang ada beberapa kardus nasi kotak yang dipesan dari sebuah restoran.
Demi menghargai tawaran Mas Hikam, segera kuajak Raditya untuk mendekat ke meja makanan. Kami mengambil dua kotak makanan, untukku dan untuknya.
“Mas Hikam, terima kasih untuk makanannya. Kami pamit pulang, ya.”
OoO
Isi kotak makanan sama sekali tak berhasil untuk menggugah seleraku. Ingin rasanya menikmati sepiring nasi rames dengan lauk telur dadar dan sambal terasi. Aku meminta Raditya untuk berhenti di warung nasi pinggir jalan yang sejalur dengan arah pulang.
“Mau makan di sini aja?” tanya Raditya. Kurang dari beberapa meter di depan kami, ada sebuah warung makan. “Kalo mau, gue stop.”
“Boleh, deh. Gue udah laper banget.”
“Yaudah, lo keluar duluan. Gue mau parkir dulu biar nggak ngalingin jalanan.”
“Gue duluan, ya. Dit, jangan tinggalin barang-barang penting di mobil. Bawa aja ya, Dit.”
“Iya, Bang.”
Layaknya warung nasi pada umumnya. Ada sebuah etalase dengan begitu banyak makanan berjejer di dalamnya. Semuanya benar-benar terlihat sangat menggiurkan.
Aku berdiri terpaku saat kulihat sosok yang bersiap menyambut kedatanganku. Susah payah kucari selama ini, akhirnya Tuhan memberikan kemudahan untukku menemuinya secara kebetulan. Tatjana ada di hadapanku.
“Oh, jadi kamu sibuk di sini? Kebetulan banget.”
“Chef? Kok bisa ada di sini?” sahutnya dengan raut wajah kaget.
“Kebetulan ada kerjaan dekat sini. Dan kebetulan juga saya laper berat.”
“Chef mau makan di sini?” tanyanya. Aku mengangguk. “Seriusan?”
“Iya. Saya ke sini mau makan, bukan mau mandi. Saya boleh makan di sini, kan?”
“Bo—boleh, Chef. Silakan.” Tatjana mengambil sebuah piring kosong dan mengisinya dengan dua centong nasi putih. “Chef mau makan apa?”
“Tunggu sebentar, ya. Manajer saya masih ada di mobil,” ucapku yang dianggukinya. Selang beberapa detik kemudian kulihat Raditya masuk sambi memanggul tasnya yang berisikan dokumen-dokumen penting perihal pekerjaan kami. “Itu manajer saya dateng.”
“Silakan, Mas. Mau makan pake apa?” ucap Tatjana pada Raditya.
“Ini cewek yang lo cari-cari, kan?” bisik Raditya di telingaku pelan. Aku mengangguk. “Kok bisa?”
“Mana gue tau. Ini sama sekali nggak disengaja. Jangan berpikiran yang nggak-nggak, ya.” Tatjana masih menatap ke arahku dan Raditya yang sedang berbisik. Ia masih memegang piring berisikan nasi milikku. “Saya mau telur dadar, sambel terasi, tumis kangkung dan kerupuknya, ya.”
Dengan lihainya, Tatjana menyiapkan makanan yang sesuai dengan pesananku.
“Silakan, Chef. Mau minum apa?”
“Es teh tawar aja.” Ia mengangguk dan masuk ke bagian dalam warung.
“Masnya mau makan pake apa?” tanyanya pada Raditya.
“Saya mau ini orek tempe, ikan kembung goreng, tumis tauge ... terus sama tumis terongnya.”
“Ini, Mas. Minumnya mau apa?”
“Es teh manis aja. Saya minta dua gelas, ya.”
Tatjana kembali masuk ke bagian dalam warung. Beberapa menit kemudian, ia keluar dengan membawa sebuah nampan di kedua tangannya. ditaruhnya segelas minuman di hadapanku dan dua gelas minuman di hadapan Raditya.
“Ini es teh tawarnya. Yang ini es teh manisnya. Silakan makan. Kalo butuh apa-apa, saya ada di sana.”
Sambil menikmati makanan, pandanganku tak pernah beralih darinya. Dari sini, aku bisa melihat Tatjana yang sedang sibuk menekan tombol-tombol keyboardnya. Dia terlihat sangat serius. Ada sebuah kacamata yang bertengger di hidungnya.
“Saya boleh tambah sambelnya?” ucapku. “Sambelnya enak banget.”
“Boleh, Chef. Sebentar, ya.” Tatjana menambahkan sesendok sambel di atas makananku. “Cukup, Chef?”
“Cukup.”
OoO
Makanan kami sudah habis. Piring bersih. tak ada sebutir nasi pun yang tersisa. Makanan yang dijual di warung ini memang sangat enak, meskipun masakan rumahan.
Sengaja kuulur waktu untuk bisa melihatnya lebih lama lagi. Ia masih sibuk di depan laptopnya. Dia terlihat serius dengan apa yang dikerjakannya saat ini. Sesekali ia akan menggeleng, mengusap wajah dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Mbak Nana, barusan Ibuk telep—“ Seorang wanita dari bagian dalam warung pun menghampiri Tatjana. Dia terlihat sangat terkejut saat menyadari keberadaanku. “Ya Allah Gusti!!! Iki tenanan Chef Yasa?”
Nana?
“Iya, Mbak. Saya Yasa,” ucapku sambil tersenyum.
“Inyong nggak lagi mipi, kan? Bener Chef Yasa, Mbak Nana?” ucapnya lagi seakan tak percaya dengan jawaban yang kuberikan. Tatjana mengangguk. “Chef, jangan pergi dulu. Saya mau bangunin Siti sama Endah.”
Ah! Jadi ia adalah salah satu dari tiga nama yang mengirimiku lauk saat itu. Dia menyebutkan dua nama, itu berarti namanya adalah Tuti. Ya, dia Tuti.
Bagaikan angin, wanita dengan aksen ngapak itu melesat masuk ke dalam dengan sangat cepat. Sedkit kegaduhan pun terdegar dari dalam sana.
“Ana apa tah, Tut? Penak turu malah digugah.”
“Deleng tah kuwi. Deleng. Ana sapa kuwi?”
“Sapa tah, Tut?”
Dua orang yang baru saja ikut bergabung itu pun segera melemparkan pandangan ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum ke arah mereka.
“Chef Yasa, ya?”
“Iya, Mbak. Saya Yasa.”
“Ya ampun, Chef. Kok bisa ada di sini? Chef, saya Siti. Yang ini Endah. Kita yang kirim makanan untuk Chef Yasa lewat Mbak Nana.” Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. “Chef masih inget, kan?”
“Masih, Mbak. Tentu saya masih inget. Karena hari itu cuma kalian yang kasih lauk-pauk buatan rumah. Makanannya enak banget.”
“Jelas, dong. Itu semua masakannya Ibuk. Oh, iya sampe lupa. Mbak Nana, Ibuk telepon. Ibuk bilang kalo malam ini nggak pulang ke rumah. Ibuk minta dianterin baju ganti ke rumahnya Bu Santi.”
“Baju ganti untuk apa, Tut?” tanya Tatjana.
“Ibuk lagi bantu-bantu di rumahnya Bu Santi. Ibuk males balik ke rumah. Mbak Nana disuruh anter baju ganti ke sana.”
“Kamu aja yang anter baju ganti Ibu ya, Tut? Biar nanti aku siapin. Aku banyak kerjaan yang harus aku selesein malam ini. Aku minta tolong ya, Tut. Bisa?”
“Bisa, Mbak.”
“Eh, ngomong-ngomong Mbak Nana kok biasa aja ketemu sama Chef Yasa. biasanya kan ....” Belum sempat Endah menyelesaikan ucapannya, ia sudah mengaduh kesakitan. Aku menangkap Tatjana yang membelalakan kedua matanya ke arah Endah.
“Biasanya kenapa, Mbak Endah?” tanyaku.
“Eh, nggak apa-apa. Chef, boleh foto bareng? Buat dipamerin ke keluarga yang ada di kampung. Orang kampung saya pasti bakal norak banget kalo lihat artis,” ucap Endah yang membuatku sontak terkekeh.
“Saya bukan artis, Mbak Endah. By the way, boleh kita foto barengnya.”
Setelah mengambil beberapa foto dengan ponsel milik Endah, aku dan Raditya pun izin pamit pulang. Aku sapai lupa tujuan awalku untuk segera beristirahat. Rasa lelahku tiba-tiba hilang entah ke mana.
“Kok buru-buru banget, Chef?” ucap Siti.
“Saya mau istirahat, Mbak. Besok harus standby di restoran. Mbak Siti dan yang lainnya kapan-kapan main ke restoran saya, ya. Nanti saya kasih gratis untuk kalian semua. Oh, iya. Saya boleh serng-sering mampir ke sini kan, Nana?”
“Iya, Chef. Bo—boleh.”