Hari ini adalah hari peringatan delapan tahun wafatnya Bapak. Sejak pagi, Ibu dibantu Tuti, Siti, Endah dan beberapa tetangga yang memang sangat dekat dengan kami mempersiapkan semuanya. Rasanya baru kemarin kami sekeluarga menghabiskan waktu makan siang di warung soto mi Bogor. Ternyata, waktu berjalan dengan sangat cepat.
Delapan tahun sudah aku dan Gina tumbuh tanpa sosok Bapak yang membersamai langkah kami. Aku selalu berharap kalau semuanya hanyalah mimpi. Aku juga selalu berandai-andai kelak Bapak lah yang akan menjadi wali nikah kami nantinya.
Saat Bapak masih hidup, kehidupan ekonomi kluarga kami memang bisa dibilang lebih dari cukup. Bapak mengemban posisi penting di tempatnya bekerja. Gajinya besar, ditambah tunjangan istri, anak dan asuransi kesehatan yang benefitnya juga besar.
Sejak Bapak meninggal, dunia seakan runtuh seruntuh-runtuhnya. Biasa hidup serba ada dan serba berkecukupan, kemudia tiba-tiba harus berjuang demi bisa menyambung hidup. Beruntung tempat di mana Bapak mengabdikan diri selama puluhan tahun berbaik hati memberikan haknya. Uang pesangon, santunan kematian dan jaminan sosial ketenagakerjaan pun dijadikan modal untuk membangun usaha.
Kepergian Bapak menyisakan lubang besar di hati kami semua, terutama di hatiku. Bapak pergi terlalu cepat dan sangat tiba-tiba. Andai saja waktu bisa kuputar kembali, maka aku tak akan pernah merengek untuk memintanya mengajak kami sekeluarga makan siang bersama di warung soto mi Bogor.
Kecelakaan yang merenggut nyawa Bapak selalu kupantau perkembangannya. Bolak-balik aku keluar masuk kantor polisi demi bisa mendapatkan laporan terbaru. Tapi, nihil. Polisi butuh waktu lama untuk memecahkan teka-teki pelaku tabrak lari.
Tak ada satu pun petunjuk yang disisakan. Dari laporan saksi mata yang melihat kecelakaan Bapak kala itu, mobil pelaku segera melaju dengan sangat kencang setelah menabrak. Bahkan, nomor polisi mobil pelaku pun tak sempat tertangkap.
“Na, kamu udh bilang ke Pak RT kalo acaranya setelah Isya, kan?” ucap Ibu. Aku mengangguk. Kami sedang berkumpul di ruang tengah untuk menata kotak nasi yang nantinya akan dibagikan pada para tamu yang hadir. “Bagus, deh. Biar Pak RT juga enak kasih undangan ke tetangga-tetangganya. Kamu tau sendiri kan Pak RT gimana orangnya. Suka plin-plan.”
“Ibu dong nyalonin jadi Bu RT,” sahutku.
“Kamu mau Ibu diketawain orang-orang, Na? Nggak usah ngaco, deh.”
“Lah, siapa yang ngaco? Jadi Bu RT nggak harus punya Pak RT, Bu,” kekehku.
“Udah nggak usah ngelantur. Mendingan cepetan dikelarin semuanya. Biar kita bisa istirahat. Tinggal nyiapin kue-kue yang nanti jadi sajan pengajian.”
Aku teringat akan kenangan di mana Ibu yang terlihat sangat tegar di hari di mana Bapak meninggal. Ibu memang menitikkan air mata, namun entah kenapa aku selalu merasa kalau saat itu ia hanya sedang ebrusaha menahan untuk tidak menangis. Ibu tidak ingin membuat aku dan Gina ikut bersedih.
Pernah beberapa kali tak sengaja kupergoki Ibu yang sedang duduk sendirian menatap gelapnya langit malam dari balkon lantai atas sedang terisak menangis. Hatiku sangat pedih tiap kali melihatnya menangis. Susah payah ia menahan semuanya seorang diri, namun akhirnya harus tumpah juga.
Saat itu ....
Rasa haus yang begitu menyerang terpaksa membuatku yang sangat malas turun ke lantai bawah demi sebotol air. Saat kubuka pintu kamar, samar-samar kudengar isakan dari bagian luar balkon. Itu Ibu.
Kulihat Ibu sedang duduk di kursi santai yang memang sengaja disediakan di balkon sambil menatap gelapnya malam tanpa bintang. Kedua ikut bahunya bergetar. Ibu menahan isakkan agar tak terlalu terdengar.
“Mas, kenapa kamu harus pergi secepat ini? Kamu nggak sayang sama aku dan anak-anak? Mereka masih butuh kamu. Aku juga butuh kamu, Mas. Apa aku sanggup membesarkan mereka tanpa kamu? Aku hancur tanpa kamu, Mas.”
Kejadian itu membuatku bertekad agar bisa menemukan pelaku tabrak lari yang menewaskan Bapak sesegera mungkin. aku tak pernah bosan mengunjungi kantor polisi. Aku juga tak pernah bosan mendengar penjelasan mereka tentang sulitnya menemukan identitas pelaku karena minimnya petunjuk.
“Kami masih belum bisa menemukan identitas pelaku tabrak lari yang menewaskan ayah kamu, Dek.”
Aku hanya tak ingin kasus yang menimpa Bapak berubah status menjadi kasus dingin. Kasus dingin adalah kasus yang dianggap kadaluwarsa karena tidak ada penyelesaiannya. Aku tidak ingin.
OoO
Aku menatap tak percaya pada laporan pengunjung harian ceritaku. Ini mningkat dengan sangat pesat. Chapter terbaru yang kuunggah kemarin berhasil menyedot atensi para pembaca.
Kolom komentar juga tak kalah ramai. Sangat tumben. Biasanya, aku hanya akan menemukan satu atau dua komentar, paling banyak lima. Tapi, hari ini ada puluhan komentar yang masuk. Bingo!
Damar tak pernah gagal menarik simpati para pembaca. Sosoknya yang dingin namun sangat perhatian rupanya berhasil menghangatkan hati para pembacaku. Di chapter terbaru, aku memang sengaja membuat sosok Damar yang biasanya menuai pujian berubah menjadi sosok yang sedikit menjengkelkan. Komentar penuh dengan caci maki pun berhasil kutuai.
‘Anyelir mendapati noda lipstick merah membara di kerah kemeja sang suami. Anyelir paham ia tak bisa asal menuduh. Tapi, perasaan wanita tak pernah salah. Wanita paham benar saat ada sesuatu yang buruk tengah terjadi dengan sauminya.
Dengan ragu Anyelir memberanikan diri menanyakan kebenarannya pada Damar yang baru saja jekuar dari kamar mandi dengan handuk yang masih melilit di pinggangnya. Damar terlihat bingung karena melihat sang istri yang masih memegang kemeja kotornya. Biasanya, Anyelir akan langsung membawa baju kotor Damar ke ruang cuci.
“Ini apa ya, Mas?” tanya Anyelir sambil menunjukkan noda lipstik di kerah baju Damar.
“Kamu tau lipstik, kan?”
“Iya, aku paham. Tapi, kenapa ada noda lipstik di kerah kemeja kamu? Kamu nggak lagi berusaha mengkhianati aku kan, Mas?”
“Pernikahan kita itu ada karena perjodohan konyol orang tua kita. Kamu paham, kan?”
“Tapi, selama ini kamu ....”
“Jangan terlalu berharap banyak. Nggak akan pernah ada masa depan di hubungan ini.”
Ada rasa pedih saat Damar mengatakan itu pada istrinya. Damar terpaksa melakukan semua itu. Damar hanya ingin Anyelir bahagia. Hidupnya sudah terlalu sulit karena dijadikan alat pembayar hutang oleh keluarganya. Damar yakin Anyelir bisa menemukan pria yang jauh lebih baik darinya.
Soal noda lipstik itu, Damar sengaja membuatnya sendiri. Agak konyol memang. Damar membeli sebuah lipstik dengan merk yang direkomendasikan SPG toko. Dipakainya lipstik itu di bibirnya. Dan terciptalah noda itu.’
Aku suka memainkan emosi para pembacaku. Kemungkinan besar aku akan membaut mereka merasa kesal dan kecewa dengan apa yang sudah dilakukan Damar pada Anyelir. Aku tak akan semudah itu menyelesaikan konflik di kehidupan pernikahan yang terbina di antara mereka berdua. Emosi pembaca adalah tolak ukur keberhasilanku meramu aur cerita.
OoO
Aku merasa tenang karena terhitung hingga hari ini, Yasa tak pernah lagi mengirimiku pesan. Aku sempat merasa tak nyaman saat ia menyadari kehadiranku di mall kala itu. Aku wanita yang normal. Sebenarnya, ingin rasanya kuhampiri ia kala itu. Tapi, aku harus tetap menjaga citraku. Aku tak bisa semudah itu.
Aku sedang mengamati akun i********: miliknya. Ada satu poto terbaru yang baru saja diunggahnya. Foto di mana ia berpose di depan sebuah pelaminan yang diberikan sebuah caption di bawahnya.
“Attending my cousin’s wedding. When will my turn?”
Seperti biasanya. Di saat seorang Yasa mengunggah foto baru, di sana lah para wanita yang tergila-gila dengannya berkumpul saling beradu menulis komentar di kolom komentar. Puluhan ribu like dan komentar pun terkumpul di foto itu.
“Chef lagi jalan sama Amel yang model itu, ya?”
“Tahun depan ya nikah.”
“Jangan-jangan Chef dateng ke nikahan sepupunya sama si Amel.”
Amel? Ah! Model terkenal yang memang selama ini dikenal dekat dengan Yasa. pernah berhembus kalau Amel menjadi salahs atu dari beberapa wanita yang tidur dengan Yasa. Namun, keduanya menampik dan menjelaskan bahkwa hubungan yang terjalin di antara mereka hanyalah murni hubungan pertemanan.
Tak lama, ada sebuah direct message yang masuk. ya Tuhan. Baru saja aku merasa tenang karena ia sudah berhenti mengirimiku pesan. Tapi ....
[Yasa Maitreya : Hai. Apa kabar? Aku sibuk beberapa hari ini, jadi nggak sempat DM kamu. Sehat, kan?]
[Tatjana Amaryllis Katja : Sehat, Chef.]
[Yasa Maitreya : Kenapa waktu itu kamu pergi?]
[Tatjana Amaryllis Katja : Oh, saya harus lanjut temenin adek saya belanja untuk keperluan kampus, Chef.]
[Yasa Maitreya : Saya kok ngerasa kamu menghindar dari saya, ya?]
[Tatjana Amaryllis Katja : Jelas dong, Chef. Fansnya Chef Yasa kan banyak banget di mall itu. Nanti mereka kira saya pake pelet untuk Chef Yasa.]
[Yasa Maitreya : Kamu bisa aja. Kapan kamu ada waktu?]
[Tatjana Amaryllis Katja : Chef, saya ada urusan. Next time disambung lagi, ya.]
Lagi-lagi aku mengalihkan topik dan segera mengakhiri permbicaraan. Aku tak ingin Yasa memberikan sebuah pengharapan besar padaku. Lagi pula, terlalu tidak mungkin kalau aku sampai berani membayangkan hal manis yang mungkin akan terjadi di antara aku dan Yasa. Hal manis hasil menghalu ria hanya akan terjadi di n****+-n****+ yang kutulis.
“Na, gantian jaga warung. Ibu mau tidur dulu sebentar. Endah sama Siti lagi istirahat. Ada Tuti lagi nonton TV. Kamu temenin dia, ya. Kasihan dia iseng jaga warung sendirian. Masih ada beberapa orang yang lagi makan, Na,” ucap Ibu dari balik pintu kamarku.
“Iya, Bu.”
Kubiarkan Tuti berisirahat, sementara aku membereskan piring kotor bekas pembeli.
“Oh, jadi kamu sibuk di sini? Kebetulan banget kita ketemu di sini, ya.”
Kenapa dari begitu banyak tempat yang ada d dunia harus rumahku lah di mana aku kembali bertemu dengannya?