Setelah bersepakat untuk meminta bantuan aparatur setempat, akhirnya wanita yang telah membawa Seo Hyung keluar dari hutan itu menepati janjinya. Ia membawa Kim Seo Hyung ke Polsek Kembangan.
Tiba di depan kantor polisi di daerah Jakarta Barat itu, Kim Soe Hyung masih terdiam di dalam mobil. Jantungnya mulai berdetak meningkat dan entah mengapa bulu kuduknya berdiri dan membuat tubuh Seo Hyung merinding.
Entahlah. Ia merasa seperti trauma dengan kantor polisi. Baru beberapa hari yang lalu dia mendekap di tempat semacam itu dan sekarang Kim Seo Hyung harus berurusan lagi dengan mereka.
“Ayo, akan kutemani,” ucap wanita di samping Kim Soe Hyung. Lantas Seo Hyung pun menoleh, menatapnya.
“Don’t be affraid, I will testify for you,” ucapnya sekali lagi.
Sambil menghela napas panjang, Kim Soe Hyung lalu memberanikan diri untuk menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi, jika hanya ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan, maka Soe Hyung harus berbuat apa.
“Okay,” ucap Seo Hyung.
Wanita di sampingnya pun mengangguk dan keduanya bersiap untuk turun dari mobil, tapi ketika kaki kanan si wanita telah melesak ke luar, tiba-tiba saja sesuatu terbesit di otaknya. Dengan cepat wanita itu memutar wajahnya.
“Tunggu!”
Tubuh Seo Hyung pun ikut terhenti ketika hendak melesak keluar. Kim Seo Hyung lalu menoleh ke belakang. Ditatapnya manik mata wanita itu yang kini melebar sempurna.
“Masuk kembali,” perintahnya.
Seo Hyung terdiam sambil mengerutkan kening. Lalu wanita itu berdecak bibir. Ia menarik lengan Seo Hyung hingga tubuh lelaki itu masuk ke dalam mobil.
“Pakai sabuk pengamanmu,” ucapnya.
Seo Hyung pun bingung. “Kenapa? Bukankah-“ Ucapan Kim Soe Hyung terhenti ketika wanita itu melayangkan pandangan penuh teror kepada Soe Hyung.
“Sudah! Nanti kujelaskan saat di jalan. Yang jelas kau pakai dulu sabuk pengamanmu.”
Kim Seo Hyung sungguh tidak mengerti dengan apa yang sedang dipikirkan oleh wanita di sampingnya, tetapi lelaki itu menurut saja. Ia kembali menarik pintu mobil lalu memasang sabuk pengaman. Wanita itu langsung menginjak pedal gas dan melesatkan mobilnya keluar dari kantor polisi.
“Hey, sepertinya aku berubah pikiran,” kata wanita itu.
Mendengar ucapannya membuat Kim Seo Hyung membulatkan mata, lalu memutar wajahnya.
“Maksudmu?” tanya Seo Hyung dan seketika ia menjadi panik.
Tampak wanita di sampingnya itu menghela napas lalu mengembuskannya dengan cepat. “Kita tidak bisa melapor ke polisi sekarang,” kata wanita itu.
Seo Hyung terdiam. Menahan sekelebat rasa penasaran dan kebingungan di dalam kepalanya.
“Jika kau melapor polisi, mereka akan menanyakan seluk beluk kejadian yang menimpamu. Bagaimana kau akan menjelaskan kau bangun di tempat tadi sedangkan di sana ada tubuh lelaki itu.”
DEG
Seperti mendapat pukulan kuat dan membuat jantung Kim Seo Hyung berhenti berdetak. Lelaki itu lantas terdiam dan dalam hati ia membenarkan ucapan wanita di sampingnya.
Terdengar decak bibir dari wanita itu. Ia pun panik. Sekilas ia merutuki dirinya sendiri. Hampir saja ia menjerumuskan dirinya ke dalam bahaya. Bersyukur otaknya cepat berpikir hingga ia bisa langsung menghindari bahaya tersebut.
Sementara Kim Soe Hyung kembali dilanda ketakutan dan kegelisahan. Terlihat dari pandangan matanya yang membulat dan raut wajahnya yang berubah pucat.
“So, what should I do now?” tanya Soe Hyung dengan nada rendah, kemudian ia memutar wajahnya ke samping.
Wanita yang duduk di balik kursi kemudi itu tak langsung menjawab. Ia menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya dari mulut dengan desahan panjang. Wanita itu menelan saliva.
“Akan kita pikirkan nanti, tapi untuk saat ini kau tidak boleh melapor polisi,” ucapnya. Ia pun menoleh pada Kim Soe Hyung sebelum meneruskan, “mengerti?”
Kim Seo Hyung menarik napas dalam-dalam. Menarik punggung hingga menyentuh sandaran kursi. Seo Hyung membuang napasnya sambil menutup kedua mata.
“Baiklah,” gumam lelaki itu. Mau bagaimana lagi, sepertinya Kim Soe Hyung sudah ditakdirkan untuk selalu pasrah pada keadaan.
Di mana dia berada dan apa yang akan terjadi padanya setelah ini, semua itu masih menjadi rahasia. Kim Soe Hyung hanya berharap, wanita di sampingnya tidak akan membohongi Seo Hyung.
Mobil yang membawa Kim Soe Hyung kini memasuki area perkotaan. Dalam kebingungan, Kim Seo Hyung hanya bisa berharap supaya ia segera bertemu dengan Sejin.
Terdengar embusan napas panjang dari si gadis yang sedang menyetir mobil di sisi kanan Seo Hyung. Sungguh, ini kali pertama ia mengizinkan seorang lelaki masuk ke mobilnya. Ralat. Ia tak pernah mengundang seseorang masuk ke mobilnya kecuali satu gadis yang selalu merusuh hidupnya.
Sejauh ini, gadis berusia 25 tahun itu tidak pernah memedulikan orang-orang di sekitarnya.
Antisosial?
Eum ... entahlah. Dia hanya –agak tertutup– dan tidak ingin terlibat drama. Ya, bagi wanita yang berprofesi sebagai arsitek itu, ia tak ingin hidupnya terlibat pada sebuah keadaan yang terlalu melebih-lebihkan.
Saat di kantor, fokusnya hanya ada pada pekerjaan. Terlebih ketika ia baru-baru ini diberikan tanggung jawab untuk menjadi pimpinan untuk sebuah rancangan proyek besar, tentu saja gadis berparas cantik itu tak bisa membiarkan pikirannya memikirkan hal tidak penting.
Hanya saja, hari ini adalah hari sialnya. Niat hati ingin mengobservasi tempat pembangunan apartemen ramah lingkungan yang akan menjadi sasaran mega proyek perusahaannya, ia hampir saja mengalami musibah.
Bersyukur ada si lelaki tampan yang entah siapa, dia juga belum mengetahuinya. Namun, rasa-rasanya gadis itu tak bisa membiarkan lelaki ini begitu saja. Selain tidak etis, gadis itu merasa tak manusiawi membiarkan lelaki ini begitu saja di kantor polisi.
Dalam keheningan, gadis itu akhirnya memutuskan sesuatu. Setidaknya ini bisa membalas kebaikan yang dilakukan oleh pria asing di sampingnya.
“Apa ....” Wanita itu menunda ucapannya. Ia menggerakkan bola matanya ke samping. “kau sudah makan?” Lanjutnya.
Seo Hyung tak langsung menjawab. Seperti biasa. Ia selalu terdiam selama beberapa saat dan menimbang, sekiranya apa yang harus ia katakan.
“Aku pasti akan membantumu, aku janji. Aku juga berhutang budi, bahkan berhutang nyawa padamu. Aku akan membantumu, tapi aku perlu tahu apa yang terjadi padamu. Dan ... menurut pendapatku, sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja,” ujarnya.
Sekilas ia menoleh, tepat saat Kim Soe Hyung menatapnya.
“Maaf, tapi wajahmu terlihat pucat. Aku juga penasaran, mengapa kau sampai berada di hutan itu. Dan ... aku juga menduga jika kau seorang turis. Aku akan membantumu mendapatkan identitasmu. Tenang saja.”
Ada sesuatu dalam ucapan gadis itu yang membuat hati Kim Soe Hyung sedikit dibuat tenang. Jujur saja, ini kali pertama bagi Seo Hyung duduk berdampingan dengan seorang gadis. Apalagi gadis itu adalah orang asing. Namun, entah mengapa, Kim Seo Hyung begitu saja memercayainya.
Ya, Kim Seo Hyung memang kerap kali menilai seseorang dari tampilannya. Dari cara bicara dan bahkan tatapan mereka, tapi untuk gadis asing berambut hitam sebahu di sampingnya, Kim Seo Hyung ragu mengatakan jika ia sama seperti Park Ahn Lee, tuangannya Seo Hyung yang telah membuat hidupnya kacau balau.
Maka dengan yakin Kim Seo Hyung pun berucap, “Terima kasih. Aku memang butuh bantuanmu.”
Wanita muda itu mengangguk. “Don’t worry, I will help you. You can trust me.”
Sudut bibir Seo Hyung berkedut. Pertama kali dalam hidup Seo Hyung ada seseorang yang –meminta– untuk percaya pada dia. Tidak ada nada intimidasi yang memerintah dengan mutlak.
Dari gelombang suaranya, Kim Seo Hyung bisa merasakan betapa tulus perkataan gadis itu barusan. Semua itu membuat Kim Soe Hyung tersenyum sendirian dan dalam hati ia pun mulai percaya bahwa masih ada manusia baik di bawah kolong langit ini.
Manusia yang bisa memperlakukan Kim Soe Hyung sebagai seorang manusia.
Walaupun di dunia ini banyak orang jahat, tetapi masih ada setitik, bahkan mungkin iota orang-orang yang tergolong murni baik hati.