Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, mobil sedan mewah yang sedari tadi membawa Seo Hyung keluar dari hutan, akhirnya berhenti di area parkir sebuah hunian 47 lantai yang terletak di kawasan sentral bisnis kota Jakarta.
Selama perjalanan, Kim Soe Hyung banyak kali dibuat terkejut. Pertama oleh kemacetan yang cukup padat. Jujur saja, Kim Soe Hyung tak pernah mengalami kejadian di mana mobil hanya bergerak semeter per menit. Dan yang paling parah, wanita berambut hitam sebahu itu tidak berhenti menggerutu dengan bahasanya.
“Pak, tolongin gue dong!”
Suara itu membuat Kim Seo Hyung bergeming. Ia pun menoleh ke samping. Terjebak dengan lamunan panjang, Kim Soe Hyung tidak menyadari kalau gadis yang duduk di sampingnya sudah keluar.
“Ia, Neng, ada apa?” Seorang pria pertengahan empat puluh menghampiri si gadis yang baru saja turun dari mobilnya.
“Pak, tolong bopong temen saya dong. Kaki dia terkilir jadi agak sulit buat jalan,” ujarnya.
Lelaki dengan pakaian serba hitam itu tak langsung menyahut. Tampak dahinya terlipat dan alisnya mulai melengkung ke tengah. Sungguh, ini kejadian yang langka menurutnya.
Pertama, ini kali pertama bagi gadis itu menyapa selama tiga tahun tinggal di tempat tersebut. Bukan rahasia umum lagi kalau para staf apartemen menganggapnya patung berjalan, karena selama ini ia tak pernah sekalipun menegur para staf. Ya, jika sekadar membalas sapaan. Itu pun seadanya saja. Namun, hari ini, si nona judes seperti patung berjalan itu berbicara dengan keresahan di wajahnya.
Melihat reaksi yang ditunjukkan oleh lawan bicaranya, membuat gadis itu mengerutkan dahi. ‘Nih orang kesambet kali ya?’ gumamnya dalam hati.
“Pak?” Gadis itu memetik jari di depan wajah si pria, sehingga membuat pria itu bergeming. Dia mengerjap untuk kembali menarik kesadaran.
“Y- ya, Neng?”
Tampak d**a gadis itu mengembang saat ia menghela napas. Sempat juga sudut bibirnya atasnya naik, pertanda jika ia agak kesal dengan ekspresi yang ditunjukkan oleh pria di depannya.
“Bapak denger saya bicara, kan?”
Masih dengan wajah tercengang, lelaki itu menatap wanita di depannya dan mulutnya kini terbuka. Ia pun menganggukkan kepala lalu berkata, “Denger, Neng.”
Gadis itu kembali mengembuskan napas gusar. “Jadi, Bapak mau bantu saya?” Ia berusaha untuk tenang dan tidak membentak orang tua di depannya.
Pria yang berprofesi sebagai security itu kembali terdiam. Bola matanya bergerak ke sudut dan menatap di balik punggung gadis bertubuh jangkung di depannya. Seketika matanya terbelalak.
“Wadidaw!” Lelaki itu menarik tubuhnya dan membawa kedua tangan menutup mulut. Ia kembali mendongak, sedangkan gadis di depannya menatap pria itu dengan kening yang mengerut.
“Itu siapa, Neng?” tanya lelaki itu dengan spontan. Gadis di depannya memutar bola mata. Inilah salah satu alasan mengapa ia benci berinteraksi dengan orang lain. Mereka kebanyakan ingin cari tahu urusan orang lain.
“Udah gue bilang, dia temen gue. Bapak mau nolongin apa kagak?”
Oke ... nada bicara gadis itu mulai berubah. Sepertinya si bapak harus segera memberikan jawaban yang pasti. Dalam hati ia menyalahkan diri karena baru membangunkan macan yang sedang terlelap.
“Bapak sih mau aja, Neng. Asal ....”
Sekali lagi gadis itu mendengkus sambil memutar bola mata. “Iya, iya, gue bayar, kok.”
Lelaki di depannya pun tersenyum. “Oke!” ucapnya antusias. Ia langsung melesat ke sisi kiri mobil.
Wanita muda itu mendecih. Nyaris semua manusia yang tinggal di ibukota tak bisa membantu jika tidak diberi imbalan. Namun, mau bagaimana lagi. Kehidupan di sini terlalu keras. Semua orang dituntut berpikiran realistis untuk bisa bertahan hidup.
“Maa syaa Allah ...,” gumam lelaki itu. Matanya melebar dan sekilas bibirnya berdecak kagum. “ini beneran orang apa gimana, yak?” Lelaki itu bermonolog lalu ia tertawa berat. “buset ... cakep pisan. Ini kalo dikawinin ama anak gue bakalan cocok banget ini da! Ah mantep dah!”
“Dih!”
Mendengar nada mengejek itu membuat lelaki itu mendongak. “Lah, kali aja teman lu mau, Neng, daripada dia nganggur. Iya kagak?” Sambil bertanya, ia mengedikkan alisnya.
“Gak usah ngomong yang enggak-enggak deh ... udah buruan. Kasian dia kelamaan kayak gitu.”
“Ya ... kan namanya juga usaha, Neng. Lagian, dia juga bukan pacar, Eneng kan?”
Melihat alis lelaki itu yang terus menggodanya, membuat si gadis berdecak bibir. “Iya deh, biar cepet,” ucapnya dengan nada malas. Membuat si lelaki tertawa.
“Nah ... gitu kan cakep,” ucap si pria. Ia pun menunduk. “ayo Bang, Bapak bantuin.”
“Yaelah, Pak, dia gak ngerti bahasa kita, Pak.”
“Lah buset!” Lelaki itu menarik punggungnya dan kembali membungkam mulut dengan tangan kanan.
Kim Soe Hyung yang melihat dan mendengar percakapan mereka, sungguh dibuat kebingungan.
“Lah ... terus gue ngomongnya gimana?!”
Gadis itu berdecak kesal. Ia menundukkan wajah, Menatap Seo Hyung. “Hey, this guy’s gonna help you up. Hold your hands onto his shoulder,” ujar gadis itu sambil menunjuk lelaki di samping Kim Soe Hyung.
Seo Hyung pun mengangguk. Ia lalu memutar tubuhnya ke samping. “Sorry,” ucapnya.
“No problem!” ucap pria itu dengan percaya diri. “a***y! Gue bisa juga bahasa Inggris. Hahaha!”
“Udah, Bapak jangan kecentilan. Cepet buruan!”
“Okay, okay! Shantay aja shay.”
“Pfft!” Tanpa sadar si gadis yang dijuluki patung berjalan itu terkekeh melihat tingkah kocak dari pria yang sudah lama bekerja di apartemen tempat tinggalnya. Gadis tersebut menggelengkan kepala.
“Ayo, Mr, gak usah afraid afraid, Abang kuat kok. Ahay!” Mulut lelaki itu terbuka hanya untuk melepaskan gelak tawanya.
Wajahnya terdongak, sementara ia mendorong bahu kirinya ke dalam. Kim Soe Hyung memanjangkan tangan lalu melingkari punggung dan leher lelaki itu dengan lengannya.
Sempat mendesis, tapi Kim Seo Hyung menahan rasa sakit di kaki dan sekujur tubuhnya.
“It’s okay, just slow down, he can take your body.”
Sambil mengulum bibirnya, Kim Soe Hyung menganggukkan kepala. Apa pun yang dikatakan wanita itu, Kim Soe Hyung menyahut saja.
“Bushyet! Tampang lu doang ganteng, tapi badan lu berat banget. Maa syaa Allah ....”
“Udah, gak usah ngeluh. Entar gue kasih cepek.”
“Cepek ceng apa cepek doang?”
“Serah Bapak!” desis gadis itu. Membuat lelaki yang sedang memapah tubuh Soe Hyung pun tertawa.
“Becanda, Neng. Lailah, gitu doang marah.”
Tak ada sahutan lagi dari si gadis jutek tersebut. Ia mempercepat langkah dan menghampiri lift. Menekan tombol anak panah ke atas dan menunggu hingga lift tiba di basement.
Sambil menunggu lift, ia pun memutar tubuh. Satu tangannya membawa paper bag berisi baju Kim Seo Hyung. Melihat kondisi Seo Hyung membuat gadis itu iba, tapi di sisi lain ia pun memikirkan nasib pria itu dan juga nasibnya setelah ini.
‘Ini sih bisa gue tampung beberapa hari, tapi gimana ya, setelah itu.’ Ia pun bergumam dalam hati.
Tak berselang lama, terdengar bunyi berdenting yang langsung membuat gadis tersebut memutar tubuhnya. Ia pun masuk dan segera menekan tombol 23 sementara Kim Soe Hyung dan pria yang memapah tubuhnya masuk menyusul gadis itu.
Pintu yang disepuh aluminium itu tertutup, kemudian lift bergerak cepat membawa mereka naik ke lantai 23. Seperti sebelumnya, gadis itu keluar lebih dulu untuk mengambil kunci apartemennya.
“Buset! Neng, cepetan, Neng, bahu Bapak mulai keram,” keluh lelaki itu.
“Ia bentar, Pak, ini gue lagi nyari kunci gue,” ucap si gadis lalu dia berdecak bibir. “di mana sih.”
“Buruan, Neng.”
“Nah, ini dia.” Sang gadis bergegas mendekati pintu kayu yang disepuh warna cokelat tersebut. Ketika kartu akses ditempelkan, pintu tersebut terbuka.
“Ayo, Pak,” kata gadis itu.
Bergegas si lelaki membawa tubuh Kim Seo Hyung ke dalam. Sempat Kim Soe Hyung melihat furniture di ruangan ini yang bertema modern klasik.
“Di mana Bapak naroh si Abang ini, Neng?”
“Sini, Pak,” ucap si gadis. Ia telah membuka salah satu pintu dan security itu membawa Kim Soe Hyung pada second room, lalu mendudukkannya pada ranjang berukuran queen.
“Hah ....” Lelaki itu mengembuskan napas panjang dari mulut. Ia menegakkan badan sambil merenggangkan otot punggung. Tangannya memanjat, memijat bahunya.
“Pak, sini deh,” panggil si gadis.
“Ya, Neng.”
Gadis itu memberikan selembar berwarna merah dan selembar lagi berwarna biru. Manik mata si bapak langsung mengkilap melihat uang 150 ribu di depannya.
“Ini ongkos buat Bapak, dan ini tolong beliin makanan ya, Pak,” kata si gadis sambil menambah selembar lagi pecahan seratus ribu.
“Makanan apa, Neng?”
“Apa aja, eum ... KFC aja deh biar cepet. Beliin semuanya ya.”
“Siap, Neng!” ucap lelaki itu sambil menegakkan badan dan memberi hormat.
“Oke, kalau begitu makasih ya, Pak.”
“Sama-sama Neng, cantik,” ucap pria itu. Ia pun berbalik. “calon mantu, Bapak pergi dulu ye. Elu bae-bae dah di mari. Oke?”
Seo Hyung yang tak mengerti hanya bisa mengangguk. Ia menarik sudut bibirnya lalu memperlihatkan kedua lesung pipi. “Hem,” gumam Seo Hyung.
“Ahay!” Pria itu tergelak. Ia kembali menatap si gadis. “magut-magut aje, die,” ucapnya.
Tak ada kalimat yang keluar dari bibir si gadis selain gidikkan kepala yang menyuruh lelaki di depannya untuk pergi.
“Iya! Baru juga sedetik bae, udah judes aja lu. Ah!”
“Jangan lupa, beliin semuanya.”
“Iya! Bawel da, ah!”
Sambil menghitung uangnya, lelaki itu berjalan keluar sambil terus tersenyum. Si gadis pemilik apartemen lalu mendengkus dan menggelengkan kepala. Ia lalu memutar pandangannya ke dalam.
“Ya sudah, kau ganti baju dulu. Bisa, kan?”
Kim Soe Hyung mengangguk. “Ya, bisa,” jawabnya.
“Oke, istirahatlah dulu. Akan kupanggil nanti dan kita bicara baik-baik,” ujar gadis itu.
“Baiklah,” kata Soe Hyung.
Gadis di ambang pintu itu mengangguk dan memutar tubuh, tapi sebelum dia beranjak, Kim Soe Hyung pun memanggil, “Hey.” Langkah si gadis terhenti dan dengan cepat ia memutar tubuhnya.
“Ada apa?”
“Aku harus memanggilmu apa?” tanya Soe Hyung lalu dia menggeleng. “maaf, maksudku, namamu-“
“Jessy,” jawab gadis itu dengan cepat.
Kim Seo Hyung tersenyum sekilas lalu berkata, “Terima kasih, Jessy.”
Tampak bibir gadis itu memerengut. “Don’t mention it,” katanya. “actually, I should the one to say thank you. Thanks for your help. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kau tidak berada di sana.”
Lalu Soe Hyung benar-benar tersenyum. “Aku pun tak tahu, apa yang akan terjadi padaku jika aku tidak bertemu dengamu.”
Sudut bibir gadis itu terangkat membentuk seringai, “Ya ... sepertinya kita sama-sama beruntung,” ucapnya.
“Ya, aku pikir juga begitu,” kata Seo Hyung.
Gadis itu mengedikkan alisnya. “Kalau begitu aku ke kamarku dulu. Aku butuh mandi. Oh ya, kalau kau mau mandi juga kamar mandinya dekat. Kau bisa berjalan ke sana, atau kau butuh bantuan?”
“Ah, tidak, tidak,” jawab Soe Hyung dengan senyum ramah. “aku bisa sendiri. Kau sudah cukup membantuku.”
Gadis itu memanyunkan bibir sambil menarik satu alisnya ke atas. Ia pun mengedikkan setengah bahu. “Baiklah, take your time. I’ll see you out there.”
Sambil tersenyum simpul, Kim Seo Hyung mengangguk. “Hem,” gumamnya.
Gadis itu menarik pintu lalu menghilang dari hadapan Seo Hyung. Seketika Kim Soe Hyung mengembuskan napas panjang. Masalahnya belum terselesaikan, tapi setidaknya ia telah berada di tempat aman. Ini lebih baik daripada luntang lantung di kota antah-berantah.