Zia tidak berniat pulang terlalu malam, namun siapa sangka ia malah ketiduran di kos Helen. Pukul tujuh malam, ia malah tertidur setelah mengisi perut. Lihat saja sekarang sudah pukul sepuluh lewat. Zia benar-benar tidak habis pikir. Dia hanya berniat berbaring sebentar saja, tapi malah ketiduran. Helen juga tidak berbeda dengan dirinya.
"Tidur sini aja Zi," ucap Helen.
"Nggak bisa. Gue belum izin sama bokap." Zia tidak pernah menginap di rumah atau kos teman sebelumnya.
"Udah malam Zi, iya kali malam-malam gini pulang." Helen tidak bisa membiarkan Zia pulang karena sudah cukup malam. Tentu saja sangat berbahaya apalagi untuk perempuan.
"Tenang, gue punya gr*b langganan." Zia tidak terlalu khawatir jika jam bus beroperasi sudah lewat atau ketinggalan bus sekalipun.
Helen bersandar di pintu. "Lo yakin?"
Zia mengangguk. Beberapa menit kemudian gr*b datang. Untuk berjaga-jaga Helan mengambil gambar mobil tersebut. "Tenang, gue bakal aman sampai rumah kok." Zia menepuk pundak Helan sebelum masuk ke dalam mobil.
"Kenapa pulang kemalaman?" tanya Driver, namanya Pak Bambang.
Zia menyengir. "Ketiduran kos teman, Pak."
"Oalah. Ayah kamu pasti dinas malam." Pak Bambang mengenal ayah Zia.
"Iya Pak," balas Zia.
Mobil bergerak meninggalkan menuju jalan raya. Butuh waktu sekitar empat puluh menit untuk sampai di rumah Zia. Namun ketika beberapa meter ingin sampai di rumahnya, Zia melihat begitu banyak motor dan mobil yang terparkir di tengah jalan.
"Ada apa, Pak?" tanya Zia. Jika di malam hari, Zia jarang melewati jalan ini karena sepi.
"Bapak juga tidak tahu. Mungkin anak muda yang balapan." Pak Bambang menjawab asal. Saking banyaknya mobil, mereka sulit melewati jalan tersebut. Namun tidak ada yang mencoba menghalangi mobil Pak Bambang.
Mata Zia langsung membulat dengan sempurna saat melihat disisi gang sempit. Walaupun gelap dan ramai, Zia dapat melihat beberapa orang memukul seseorang yang sudah tidak berdaya.
"Mereka memukul orang, Pak!" ucap Zia cepat.
"Mana?"
Zia menunjuk arah yang ia lihat.
"Tidak mungkin, mereka hanya bermain-main saja." Pak Bambang tidak melihat sehingga berkomentar seperti itu. Sedangkan Zia merasa khawatir padahal ia tidak melihat siapa orang yang dipukuli itu.
Sepuluh menit mobil sampai di depan rumah Zia. "Jangan terlalu dipikirkan, langsung masuk rumah." Pak Bambang tidak ingin Zia ikut campur dalam hal yang sangat berbahaya walaupun belum pasti.
"Tapi Pak-"
"Sudah sudah, kamu langsung masuk rumah," potong Pak Bambang. Ia menunggu Zia benar-benar masuk ke dalam rumah. Ketika sudah tidak terlihat barulah Pak Bambang meninggalkan rumah Zia.
Zia mondar mandir tidak jelas. "Bagaimana kalau ada yang mati?" ujarnya sendiri. Hati Zi tidak tenang, apalagi matanya melihat dengan jelas.
Zia mencari kontak polisi yang ada di daerahnya. Namun jika Zia salah lihat, apakah polisi akan menuduh Zia sebagai orang yang mengadukan informasi palsu? Zia menggeleng. Ternyata ia masih banyak berpikir padahal waktunya tidak banyak. Zia mengeluarkan sepeda dan langsung menaikinya.
Jalanan sunyi dan gelap, Zia hanya punya senjata berupa telepon genggam. Ia berusaha menguatkan diri agar mentalnya tidak terjun bebas. Sepuluh menit mengayuh sepeda, Zia melihat ada banyak motor dan mobil. Ia turun dari jarak yang lumayan jauh agar tidak diketahui oleh orang-orang yang berkumpul disana. Apa Zia takut? Jelas saja takut, tapi ia tidak boleh menyepelekan nyawa seseorang. Zia sudah lama tinggal di daerah ini, ia cukup kenal dengan jalan dan gang-gang sempit yang ada.
Kaki Zia melangkah melewati bangunan tua, sudah lima tahun bangunan ini ada tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Perlahan-lahan namun pasti, Zia bisa melihat rombongan orang yang tengah menghajar seseorang. Ternyata Zia tidak salah lihat, ia langsung menghubungi polisi untuk melaporkan apa yang telah ia lihat.
Zia menutup mulut saat tendangan mendarat di perut orang yang sudah terkapar lemah. Dia baru pertama kali melihat sesuatu yang mengerikan seperti sekarang. Sungguh menakutkan dan menyayat hati. Namun Zia tidak bisa menampakkan wujud karena ia pun tidak akan bisa melawan rombongan tersebut.
Tubuh Zia bergetar, ia berharap polisi segera datang sebelum ada nyawa yang hilang. Namun tidak ada tanda-tanda polisi akan datang. Apa laporan Zia dianggap main-main? Ia tidak bisa hanya diam. Jika sudah sampai merenggut nyawa, maka Zia akan menyesal.
Waktu terasa lama berlalu, namun beberapa menit kemudian polisi benar-benar datang. Rombongan laki-laki yang melakukan aksi pengeroyokan tersebut langsung melarikan diri. Mereka meninggalkan seseorang laki-laki yang terkapar di tanah. Zia berlari menuju laki-laki tersebut.
Hal yang sangat mengejutkan terjadi, walaupun wajah laki-laki yang terkapar itu sulit untuk dikenali namun Zia dapat menebaknya. Ternyata dia adalah presiden mahasiswa di kampusnya yaitu Agam.
Kesadaran Agam hampir hilang, ia bahkan tidak bisa melihat Zia dengan jelas. Zia berusaha membuat sang senior untuk tetap sadar namun hal itu tidak berlangsung lama. Pandangan Agam menggelap dan ia tidak sadarkan diri. Bunyi ambulan terdengar dan Agam langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Zia terpaksa ikut ke rumah sakit. Apalagi ia yang melaporkan kejadian itu dan Polisi membutuhkan penjelasan dari Zia.
Saat perjalanan ke rumah sakit, denyut jantung Agam terhenti. Petugas medis yang berada di dalam ambulan tentu saja panik. Bunyi mesin EKG menunjukkan bahwa Agam mengalami henti jantung.
Zia bertambah panik. Ia berada di dalam ambulan bukan untuk melihat kematian seseorang. Zia juga tidak ingin menambah kenangan buruk dalam hidupnya.
"Jangan... jangan," ujar Zia sambil menggeleng. Ia tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menatap tubuh Agam dengan perasaan takut.
Petugas medis langsung melakukan tindakan RJP (Resusitasi Jantung Paru). RJP dimulai dengan tahap awal membuka jalan napas penderita dengan menengadahkan kepala penderita, selanjutnya dilakukan kompresi d**a disertai tekanan dengan kekuatan penuh serta berirama di setengah bawah dari tulang d**a.
Keringat mulai bercucuran. Bunyi ambulan menambah suasana menjadi semakin tegang. Petugas berusaha membuat jantung Agam kembali berdetak. Segala upaya dilakukan.
"Kembali kembali kembali," ucap petugas medis saat melakukan RJP. Ia berharap jantung Agam kembali berdetak. Beberapa detik kemudian, jantung Agam kembali berdetak. Bunyi mesin EKG sudah berubah dan itu membuat petugas medis bernafas lega.
Zia tidak mengenal Agam, tapi saat jantung Agam kembali berdetak dia sangat-sangat bersyukur. Bahkan Zia tidak sadar jika air matanya sudah keluar.
Petugas medis harus tetap siaga, bagaimanapun pasien harus sampai di rumah sakit dalam keadaan bernyawa.
Butuh waktu dua puluh menit untuk sampai di rumah sakit. Agam langsung dilarikan ke ruang UGD sedangkan Zia menunggu di depan ruangan.
Pihak polisi memberikan Zia air minum. Bagaimanapun Zia terlihat sangat kacau dan panik. Setelah terlihat lebih baik, polisi bertanya beberapa hal. Awalnya polisi mengira Zia memiliki hubungan asmara atau hubungan pertemanan dengan Agam. Namun Zia menjelaskan jika ia tidak mengenal Agam sama sekali.
Zia mengatakan kronologi yang ia lihat. "Apa kamu melihat orangnya?" tanya pihak polisi.
Zia menggeleng. Kondisi gang sangat gelap sehingga tidak bisa melihat dengan jelas. Ia juga tidak berani terlalu dekat untuk melihat orang-orang yang memukul Agam.
"Apa kamu ingin di sini?" Pihak polisi ingin mengantar Zia pulang.
Zia bingung. Apa dia tetap disini atau pulang saja? Entah kenapa ia berat untuk pulang. Namun dia bukan siapa-siapa Agam jadi untuk apa tetap disini.
"Keluarganya bagaimana, Pak?" tanya Zia. Jika keluarga sudah bisa dihubungi maka Zia akan pulang.
"Sudah dihubungi, jadi kamu tidak perlu khawatir."
Zia mengangguk. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang bersama pihak polisi. Zia mengucapkan terima kasih kepada pihak polisi yang sudah mengantarnya pulang.
Suasana rumah sepi karena tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Tidak butuh waktu Zia langsung masuk ke dalam. Tentu saja ia tidak lupa untuk mengunci pintu. Apalagi sekarang sudah pukul dua dini hari.
Zia membersihkan diri terlebih dahulu, setelah itu barulah ia memutuskan untuk menuju ke alam mimpi.
Sepuluh menit waktu berlalu, Zia tidak kunjung memejamkan mata. Perasaannya menjadi tidak tenang. Apa yang sebenarnya terjadi? Seharusnya Zia bisa tertidur dengan mudah karena tubuhnya merasa lelah.
Zia kembali mencoba untuk memejamkan mata. Hasilnya tetap sama, ia tidak bisa tidur. Apa seharusnya Zia berada di rumah sakit? Tapi dia tidak ada hubungan apapun dengan Agam. Zia hanya sebatas mengenal Agam sebagai presiden mahasiswa.
Zia bangkit dari ranjang menuju dapur. Tujuannya adalah untuk mengambil air karena tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Namun saat mengambil gelas, Zia tidak sengaja menjatuhkannya. Pecahan gelas langsung berserakan di atas lantai. Tentu saja Zia kaget, apalagi ia yakin sudah sangat berhati-hati dalam mengambil gelas.
Zia buru-buru ingin menghidupkan lampu. Namun kakinya malah menginjak pecahan gelas. Zia meringis kesakitan. Ia tidak bisa hanya diam, apalagi darah sudah keluar. Kali ini ia lebih berhati-hati untuk menghidupkan lampu.
Saat cahaya lampu menyala, Zia dapat melihat dengan jelas telapak kaki yang terkena pecahan kaca. Kulitnya sedikit robek, namun tidak terlalu parah. Zia membersihkan luka dengan air walaupun terasa perih. Setelah itu, luka robek tersebut ditutup menggunakan kain.