Berulang kali Yuno mencoba menghentikan niat Agam, namun semua terkesan sia-sia. Agam tetap akan membahas masalah ini sehingga memberi efek jera kepada Kio. Pura-pura tidak tahu adalah hal yang salah. Agam tidak akan tinggal diam karena Kio sudah bertindak di luar batas.
"Lo pikir bisa lawan Kio?" Yuno sudah cukup lelah mengingatkan Agam.
Agam tidak berkomentar. Ia sibuk menyusun bukti-bukti untuk membongkar kejahatan Kio.
"Siapa yang percaya kalau Kio mengambil uang itu Gam?"
"Dia tidak akan bisa lari kalau semua bukti ada disini," jawab Agam seadanya.
"Percuma Gam, dia anak orang kaya. Lo tau sendiri ayahnya sering jadi donatur di kampus kita."
Agam mengalihkan pandangan ke arah Yuno yang tampak frustasi. "Yang jadi donatur bukan ayahnya tapi perusahaan tempat ayahnya bekerja." Agam meralat pemahaman Yuno.
"Lo nggak takut kalau Kio berbuat buruk?"
Agam menggeleng. "Udahlah, jangan buang-buang waktu gue."
Yuno menatap Agam dengan kesal. Ia pergi begitu saja sambil menutup pintu dengan keras. Sekarang keduanya sedang berada di sekre kampus, tepatnya di ruangan presiden mahasiswa.
Kepergian Yuno tidak membuat Agam merasa bersalah atau apapun. Dia selesai menyusun beberapa dokumen. Saatnya Agam mengirim pesan kepada Kio. Dia hanya mengirim lokasi pertemuan dan beberapa gambar yang akan membuat Kio merasa khawatir.
Agam keluar dari sekre. "Mau kemana?" tanya Dito. Mereka bertemu di depan sekre.
"Ada urusan. Kalau ada yang cari, bilang aja gue keluar sebentar."
Dito mengangguk. Agam pergi ke lokasi yang menjadi pertemuan mereka. Sebuah cafe di depan kampus. Dia tidak mungkin bertemu dengan Kio di kawasan kampus. Setidaknya Agam masih berlaku baik.
Saat memasuki cafe. Ia melihat banyak mahasiswa yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Berhubung Agam adalah presiden mahasiswa maka tidak ada yang tidak mengenal dirinya. Beberapa orang yang ada menyapa atau bahkan mencuri-curi pandang. Respon Agam seperti biasa. Dia bertindak sewajarnya tanpa menimbulkan kesan-kesan tertentu.
Agam memilih bertemu di lantai dua karena tempatnya lebih privasi. Namun sebelum melangkah menaiki tangga, matanya terpaku pada satu orang yang tengah fokus menatap layar laptop. Hal itu tidak berlangsung lama karena Agam langsung menaiki tangga.
Agam tidak perlu menunggu karena Kio sudah berada di dalam ruangan. Agam tersenyum tipis sedangkan Kio terlihat menahan amarah yang ingin meledak.
"Mau lo apa?" tanya Kio langsung.
"Santai," balas Agam. Ia memilih untuk duduk terlebih dahulu.
Kio mengepalkan tangan. Agam tertawa kecil sehingga menambah amarah Kio. Sejak awal Kio sudah tidak menyukai Agam karena tidak bisa diajak bekerjasama.
"Santai Bang, teman lo kemana?" tanya Agam. Ia kira Kio akan membawa orang lain yang juga ikut dalam masalah ini.
Kio memukul meja. Agam benar-benar menguji kesabarannya. "Lo mau mati?" ancam Kio tanpa takut sama sekali.
"Mati?" beo Agam sambil tertawa. Dia paling jarang tertawa, namun saat berhadapan dengan Kio ia menjadi sosok yang mudah tertawa.
Kio beranjak dari kursi. Ia langsung melayangkan pukulan namun Agam dengan cepat menghindar dan menahan tangan Kio. Walaupun Agam tidak pernah terlibat dalam perkelahian namun ia bisa seni bela diri. Agam tersenyum sinis sedangkan Kio berusaha untuk melepaskan diri dari Agam. "Lo nggak ada apa-apanya di depan gue," ucap Agam. Kemarahan Kio semakin bertambah namun ia tidak bisa menyentuh Agam.
Agam melepaskan Kio. Apalagi peluh keringat sudah keluar dan wajah Kio memerah karena menahan sakit. "Gue nggak mau pakai kekerasan, silahkan duduk." Agam mempersilahkan Kio untuk kembali duduk.
"Duduk gue bilang!" Agam semakin keras.
Meskipun Kio tidak suka, namun ia tetap duduk. Kio sadar bahwa dirinya tidak bisa melawan Agam sekarang.
"Gue gak mau basa basi. Ini!" Agam melempar beberapa dokumen kepada Kio hingga mengenai wajahnya.
"Woi! " Kio tidak terima sehingga melempar kembali dokumen tersebut ke lantai.
"Lo nggak punya uang ya?" tanya Agam dengan senyum sinis.
Harga diri Kio terguncang. "Apa maksud lo?" Kio mencengkram kerah kemeja Agam. Padahal baru beberapa menit yang lalu Agam mengunci pergerakan Kio. Namun ia tidak sadar posisi dan tetap menyerang Agam.
"Kenapa lo ambil uang donasi?" tanya Agam dengan tatapan tajam. Dia paling tidak suka orang seperti Kio karena mengambil uang untuk orang yang membutuhkan. Kio tidak bisa membantah karena Agam memiliki banyak bukti.
"Kalau lo nggak punya uang, minta sama gue!" Agam berkata dengan santai sehingga Kio semakin tersudutkan.
"Lo mau apa?" Kio tidak bisa terus melawan Agam. Jika masalah ini sampai publik, bisa-bisa Kio tidak punya muka lagi.
"Kalau mau masalah ini tetap jadi rahasia, kembalikan uang yang udah lo ambil." Sebenarnya Agam juga tidak tega mengatakan masalah ini kepada pihak kampus atau bahkan pihak kepolisian. Apalagi Kio sudah semester akhir. Lebih baik Agam mengancam sehingga Kio tidak akan berani melakukan hal yang salah kedepannya.
"Oke." Kio langsung setuju.
"Keluar dari BEM," ucap Agam.
"Apa hak lo nyuruh-nyuruh gue keluar?" Kio tidak setuju.
"Pokoknya besok lo harus keluar dari BEM, kalau nggak jangan salahkan gue jika masalah ini sampai ke pihak kampus atau bahkan polisi."
Agam tidak mau berlama-lama disana sehingga memilih untuk keluar. Dia sudah mengatakan hal-hal yang perlu. Sedangkan Kio langsung mengamuk tidak jelas, bahkan kursi dan meja sudah terbalik karena ulahnya. Kio mengumpat dengan sangat keras. Agam membuat dia menjadi tidak berkutik padahal Kio tidak pernah berada di posisi ini sebelumnya.
Agam tidak langsung pulang ke rumah. Ia memilih untuk kembali ke kampus karena ada jadwal kuliah pukul tiga sore. Mobil sudah sampai di parkiran gedung. Sebelum Agam keluar, notif pesan masuk. Agam langsung melihat isi pesan tersebut.
Mama : Apapun yang kamu lihat dan dengar, jangan percaya.
Agam mengerutkan kening. Ia membalas pesan tersebut.
Agam : Maksud Mama apa?
Tidak butuh waktu lama. Balasan dari Mama kembali masuk.
Mama : Pokoknya Papa tidak melakukan hal yang buruk. Kamu jaga kesehatan ya sayang.
Agam : Papa ada masalah?
Agam menunggu balasan namun kali ini sang Mama tidak membalas sama sekali. Agam sudah menunggu selama lima belas menit. Ia mengirim pesan kembali.
Agam : Mama
Agam : Apa semua baik-baik saja?
Sebelum Agam masuk ke kelas. Ia mengirim pesan kembali namun tetap tidak ada balasan.
"Sebenarnya ada apa?" lirih Agam sambil mengacak rambut frustasi.
Agam tidak bisa berlama-lama di dalam mobil. Ia segera berlari menuju ruang kelas yang berada dilantai dua. Selama pelajaran Agam lebih banyak diam, ia bahkan memilih duduk di kursi belakang. Dari awal kelas dimulai sampai akhir, Agam hanya memperhatikan ponsel. Ia berharap ada pesan balasan dari sang Mama untuk memecah rasa penasaran yang sudah menumpuk.
"Lo kenapa?" tanya salah satu teman kelas Agam.
Seperti biasa, Agam tidak ingin orang lain tahu tentang apa yang membuat ia gelisah seperti sekarang. "Nggak apa-apa," jawabnya.
Semenjak menjadi presiden mahasiswa, Agam lebih banyak menghabiskan waktu dengan anggota organisasi dibanding teman kelasnya sendiri.
Setelah kelas selesai, Agam ingin pulang ke rumah namun ada rapat yang tidak bisa ditinggali. Notif pesan masuk sudah cukup banyak, anggota organisasi mencari dirinya karena tidak kunjung menampakkan batang hidung di tempat rapat. Apalagi wakil presma juga tidak bisa datang hari ini. Agam terpaksa mengurungkan niat untuk pulang ke rumah dan melangkah ke sekre.
"Lo kemana aja?" Yuno menunggu di depan sekre. Ia bertanya dengan suara pelan.
"Kelas," jawab Agam seadanya. Padahal jam kelas sudah selesai dari satu jam yang lalu. Yuno mendekatkan wajahnya ke telinga Agam. "Lo nggak akan singgung soal Kio bukan?"
Agam tidak menjawab. Ia langsung masuk ke ruang rapat. Sudah ada banyak anggota yang berada di dalam. Suasana tampak mencengkram, bahkan Kio masih berani menunjukkan batang hidung di depan Agam. Ia seperti tidak ada takut-takutnya sama sekali.
Sindiran-sindiran terdengar dengan jelas. Agam sadar jika tidak semua anggota menyukai dirinya. Salah sedikit saja maka akan menjadi hal besar.
"Diam!" sentak Agam. Ia ingin rapat ini cepat selesai dan pulang ke rumah.
Beberapa orang tertawa yang didominasi oleh senior-senior. Agam memilih untuk mengalah, ia memulai rapat.
Seperti biasa, rapat selalu diliputi dengan perdebatan sengit. Namun yang setuju dengan pendapat Agam juga tidak sedikit. Ada beberapa kubu yang mendukung Agam sehingga rapat seperti ini bisa sampai malam. Mereka beristirahat saat waktu waktu shalat masuk.
"Lo ada masalah?" Andrian mendatangi Agam yang tengah memijat pangkal hidung. Dia adalah senior yang sangat mendukung Agam.
"Nggak Bang."
"Lo nggak kayak biasanya. Kalau ada apa-apa jangan dipendam sendiri." Andrian merangkul bahu Agam.
Agam melepaskan rangkulan tersebut. "Gue baik-baik aja, Bang." Ia pergi meninggalkan Andrian dan kembali duduk di ruang rapat.
Pukul sepuluh malam, rapat selesai. Sebelum rapat ditutup, Agam menegaskan bahwa hal yang paling tidak ia sukai adalah orang-orang yang mengambil dana kegiatan walaupun dalam jumlah kecil. Saat mendengar hal itu, Kio dan rekan-rekannya langsung mengepalkan tangan. Tentu saja Agam menatap Kio dengan tatapan tajam.
Anggota perlahan-lahan meninggalkan sekre. Namun Agam memilih untuk membaca proposal yang masuk hari ini.
"Gam, gue pulang." Andrian berteriak dari luar ruangan.
"Oke bang. Hati-hati."
"Lo juga jangan pulang malam-malam." Kali ini suara Yuno yang terdengar.
"Siap."
Agam selesai membaca proposal sekitar pukul sebelas malam. Ia memilih untuk pulang. Ada beberapa anggota yang masih berada di dalam sekre. Mereka kadang tidak pulang dan memilih untuk menginap di sekre. Agam pamit pulang kepada anggota yang masih tinggal. Sebelum menghidupkan mobil, Agam mencoba untuk menghubungi Mama dan Papanya. Namun panggilan tidak ada yang masuk. Perasaan Agam semakin tidak karuan.
Mobil sudah meninggalkan kawasan kampus. Namun belum beberapa menit, ada rombongan orang yang menunggu dirinya di tengah jalan. Agam mengerutkan kening. Batinnya bertanya-tanya, apa ada tawuran atau agenda balap liar? Agam tidak keluar dari mobil. Mobilnya tidak bisa melaju karena karena rombongan itu memblok jalan.
"Keluar!" kaca mobil dipukul dengan tongkat dari luar.
Agam tidak kunjung keluar. "Lo takut?" ujar seseorang yang sangat Agam kenal. Dia adalah Kio. Agam tidak akan bisa melawan rombongan Kio jika seorang diri. Ia ingin menelpon polisi tapi naas semua terlambat. Satu pukulan kembali mendarat, kali ini menggunakan batu sehingga kacanya menjadi pecah. Pecahan mengenal wajah Agam sehingga kulitnya tergores.
Umpatan-umpatan keluar dari mulut Kio. Agam ditarik keluar sampai bajunya robek. Agam berusaha untuk melawan. Ia bisa menghindar dari pukulan yang datang. Namun jumlah mereka banyak sehingga Agam terjatuh berulang-ulang kali. Darah keluar dari mulut Agam, ia menatap Kio dengan tatapan tajam.
"Lo pengen gue keluar dari BEM?" tanya Kio sambil tertawa.
"Sampah," balas Agam sambil meludah. Ia sudah tidak bisa berdiri dengan sempurna karena berbagai macam pukulan yang diterima.
Kio mengepalkan tangan. Ia kembali tertawa dengan terbahak-bahak. "Pegang dia," suruh Kio.
Beberapa orang langsung maju menghajar Agam. Satu atau dua orang masih bisa Agam taklukan tetapi jika sampai enam orang ia cukup sulit. Satu tendangan mengenai perutnya. Agam sampai terbatuk mengeluarkan darah. Wajahnya sudah babak belur. Dia diseret ke gang yang sangat sepi. Banyak sampah di gang tersebut sehingga tidak akan ada yang datang. Apalagi jalanan ini sangat sepi sekali.
"Tatap gue!" Kio berada di depan Agam.
Agam menatap dengan tatapan sayu. Matanya bengkak karena tendangan dari orang suruhan Kio.
"Gimana?" tanya Kio.
Agam tidak menjawab. Ia seakan tidak punya tenaga lagi.
"Lo nggak akan bisa lawan gue jadi jangan sok-sokan." Kio menampar wajah Agam sebanyak dua kali.