Merepotkan

1167 Kata
Zia berhasil kabur dari pria yang ingin melecehkan dirinya. Bahkan satu tamparan mendarat di pipi Zia karena tidak ingin menuruti perkataan pria itu. Zia berlari keluar rumah setelah menggigit dengan kuat pundak pria itu sehingga ada kesempatan untuk melarikan diri. Zia berlari sambil menangis terisak-isak. Pakaiannya bahkan sudah robek karena ditarik. Dia tidak ingin kembali ke rumah walaupun rumah itu miliknya sendiri. Hidup Zia benar-benar berantakan. Lihat saja sekarang, ia berlari menyusuri jalan yang diguyur rintik-rintik hujan. Padahal suasana di luar rumah sangat dingin, tapi Zia seakan tidak merasakan hal itu. Bahkan ia tidak memakai alas kaki sama sekali. Zia hanya ingin berlari sejauh-jauhnya agar tidak bertemu dengan pria gila itu lagi. Entah sudah berapa lama Zia berlari. Ia sampai dibangunan yang tidak ditempati siapapun. Zia kelelahan, apalagi ia baru saja mengalami sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Jika Zia tidak berhasil kabur, mungkin apa yang ia jaga selama ini akan hancur begitu saja. Zia bersandar sambil memeluk diri. Tangisnya tidak kunjung reda. Ia merasa ketakutan dan tidak tahu kedepannya harus menjalani hidup seperti apa. Tante Nina tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Apa yang harus Zia lakukan agar tidak hidup bersama dengan Tante Nina lagi? Zia benar-benar merasa buntu. Apalagi Tante Nina terus saja mengancam sehingga Zia tidak bisa membantah atau melawan secara keras. Zia hanya bisa menangis di tempat yang tidak dia kenal sama sekali. Bahkan Dia baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Saat Zia menangis, ada bayangan orang yang datang. Awalnya Zia sangat ketakutan. Ia kira bayangan itu dari pria yang ingin melecehkan dirinya. Ternyata perkiraan Zia salah. Sewaktu Zia mengangkat wajah, ia melihat dengan jelas orang yang berdiri di depannya. Zia mengenalnya. Walaupun pertemuan mereka sebelumnya karena hal yang tidak terduga, tapi Zia percaya bahwa tidak ada yang namanya kebetulan. Orang yang berdiri di depannya adalah Agam. Zia tidak mungkin salah lihat. Matanya masih berfungsi dengan baik. Zia bertemu terakhir kali sekitar satu tahun yang lalu. Setelah insiden pengeroyokan yang menyebabkan Agam masuk ke rumah sakit, mereka tidak pernah bertemu lagi. Tanpa berpikir panjang, Zia langsung meminta pertolongan. Mungkin terdengar seperti lelucon atau kejiwaan Zia bermasalah. Bagaimana mungkin ada orang yang baru bertemu setelah sekian lama langsung meminta tolong untuk dinikahi. Zia tidak masalah jika Agam menganggapnya sebagai orang gila. Ucapan itu terucap begitu saja. "Ulangi lagi," ucap Agam. "To-tolong nikahi saya," pinta Zia sambil terbata-bata. Dia menerima segala bentuk respon yang akan Agam berikan. Setidaknya Zia sudah mengatakan sesuatu yang ingin ia katakan. "Kenapa gue harus nikahin lo?" tanya Agam. Zia tidak punya alasan yang masuk akal. Apalagi mereka bukan dua insan manusia yang sedang dimabuk cinta. Pertanyaan yang Agam lontarkan tidak bisa dijawab oleh Zia. Lihat saja, bibirnya menjadi kaku seakan tidak bisa berkata-kata. "Oke." "Ha?" Zia kaget. Apa maksud satu kata yang baru saja Agam katakan? "Oke, Gue bakal nikahin lo." Tanpa diminta, Agam mengulang dan memberi penjelasan dari ucapan sebelumnya. Penjelasan Agam membuat Zia menjadi takut. "Kamu tidak mungkin mau menjual saya bukan?" Agam yang awalnya berjongkok, sekarang ia sudah berdiri. "Siapa yang mau beli lo?" tanya Agam dengan mimik wajah datar. Zia berusaha melindungi diri dengan memeluk tubuhnya sendiri. Ia menjadi sangat takut. Walaupun Zia tidak punya harapan hidup, setidaknya ia ingin mati dalam keadaan baik. "Lo tetap mau disini?" tanya Agam. Jujur saja, ia tidak mau berlama-lama disini. Zia tidak menjawab. Agam menghela nafas panjang. "Gue nggak akan jual lo," ucapnya. "Kamu yakin?" Zia memastikan kembali. "Nggak ada untung gue jual lo. Ayo bangun!" Rasa takut Zia perlahan-lahan menghilang walau tidak sepenuhnya. Agam melihat bagaimana Zia berusaha untuk menutupi tubuhnya. Robekan pada hoodie yang Zia kenakan tidaklah kecil. Apalagi sekarang udara sangat dingin sekali. Agam membuka hoodie dan memberikan kepada Zia. "Pakai," ucapnya. Zia tampak ragu. Sekali lagi Agam menyuruhnya untuk memakai hoodie tersebut walaupun sebenarnya Agam cukup kedinginan. Agam hanya memakai kaos lengan pendek. Zia buru-buru memakai hoodie yang diberikan oleh Agam. Walaupun tampak kebesaran, hoodie tersebut sudah bisa menutupi tubuh Zia dengan baik. "Kita mau kemana?" tanya Zia. "Cerewet!" Zia mengunci rapat bibirnya. Kali ini ia tidak membantah atau mengajukan keluhan sama sekali. Agam tidak hanya memberikan hoodie miliknya, ia juga memberikan sandal kepada Zia untuk menjadi alas kaki. Mereka berjalan sampai ke minimarket dan baru kali ini Agam berjalan dengan kaki terlanjang. Hal yang sangat jarang Agam lakukan. Seharusnya ia tidak perlu peduli, tapi nyatanya Agam tidak bisa. Sesampainya di minimarket, Agam membeli kopi dan alas kaki. Dia juga membeli beberapa cemilan yang ambil secara acak. Zia menunggu di depan minimarket dengan tatapan kosong. Kejadian beberapa waktu yang lalu sungguh membuat Zia trauma. Bagaimana jika Zia tidak berhasil kabur? Mungkin ia akan kehilangan apa yang sudah ia jaga selama ini. Membayangkan saja sudah sangat menakutkan bagi Zia. Agam menatap Zia dari dalam minimarket. Ia mempertanyakan dirinya sendiri kenapa mau ikut campur dalam masalah orang lain. Agam bukanlah orang baik, tapi ia malah rela untuk mengurusi masalah orang lain. Apa Agam bisa mengulang waktu? Jika bisa, ia berencana untuk tidak keluar dari bangunan yang dijadikan markas bersama Hiro. Tanpa dijelaskan, Agam dapat mengetahui gambaran besar apa yang terjadi pada diri Zia. Apalagi Zia tampak sangat ketakutan sekali. Agam meletakkan kopi hangat di atas meja. Ia tidak mengatakan apapun. Mereka mungkin tidak cocok untuk mengobrol dan Agam tidak punya kewajiban untuk mengeluarkan kata-kata. Menikmati kopi hangat di tengah rintik hujan dapat menambah kenikmatan dari kopi tersebut. Suasana sangat sunyi dan hanya ada suara rintik-rintik hujan yang berjatuhan. Agam melihat ponsel. Ternyata sudah pukul empat dini hari. Pasti Hiro bertanya-tanya kenapa dirinya tidak kunjung kembali ke markas. "Mau kemana?" tanya Zia saat Agam berdiri dari tempat duduk. Agam tidak menjawab. Ia sudah memesan taksi yang akan sampai sebentar lagi. Bagaimanapun, mereka tidak mungkin hanya duduk diam disini. Apalagi Agam sangat kedinginan. Benar saja, 3 menit kemudian taksi datang. Agam menyuruh Zia untuk masuk walaupun dengan intonasi datar. Tentu saja Zia tidak langsung menurut. Jujur saja, ia masih was-was. Bagaimana jika Agam melakukan hal yang tidak-tidak? Itu sama saja seperti keluar dari kandang harimau dan masuk ke lubang buaya. "Lo mau tetap disini?" Zia hanya menatap Agam. "Oke, silahkan," ucap Agam lagi. Ia masuk sendiri ke dalam taksi. Namun belum beberapa detik, Zia menyusul Agam. Ia juga tidak punya tujuan harus kemana. Sampai kapanpun, Zia tidak mau tinggal bersama Tante Nina lagi. Agam berdecak kesal. Zia terlalu merepotkan. Kenapa harus ada drama sebelum masuk ke dalam taksi. Terlalu membuang-buang waktu. Zia tidak tahu kemana taksi akan meluncur. Dia hanya termenung sambil melihat pemandangan di luar melalui jendela mobil. Hidupnya benar-benar kacau. Entah apa yang akan Zia lakukan kedepannya, ia merasa tidak ingin hidup sama sekali. Taksi berhenti di depan hotel. Siapa yang bisa berpikir waras jika ada orang yang membawa ke hotel? Zia yang juga tidak terlalu mempercayai Agam menjadi was-was. "Kenapa ke sini?" tanya Zia meminta penjelasan. Agam menghela nafas panjang. "Lo mau ke rumah gue?" tanyanya menusuk. "Ti-tidak," jawab Zia cepat. "Tetapi kenapa disini?" tanyanya lagi. "Perlu lo tau, gue nggak tertarik sama lo. Jadi jangan terlalu berlebihan," jawab Agam dengan wajah datar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN