Pertemuan Kembali

1090 Kata
Hidup sebatang kara adalah mimpi buruk yang ingin Agam kubur. Namun nyatanya ia tidak bisa lari dari mimpi buruk tersebut. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, hidup Agam seperti tidak ada artinya lagi. Apalagi segala macam berita bermunculan. Apa Agam akan percaya jika kedua orang tuanya bunuh diri? Tentu saja tidak walaupun polisi sudah mengeluarkan hasil penyelidikan. Agam ingat pesan terakhir dari sang Mama yang menyuruhnya untuk tidak percaya dengan hal buruk yang menimpa Papa. Hidup Mama dan Papanya tidak pernah melenceng. Mereka selalu berbuat baik dan tidak ingin merugikan orang lain. Jika memang Papanya haus uang, maka sudah banyak uang di dalam tabungan. Lantas mana dana yang dikorupsi sang Papa? 2.1 Triliun bukan nominal kecil. Agam tidak mengerti bagaimana dunia ini bekerja. Dia bahkan pernah memilih untuk menyerah. Tetapi wajah Papa dan Mamanya selalu terbayang dalam pikiran Agam. Kini hidup Agam berubah tiga ratus enam puluh derajat. Jika dulu ia aktif berinteraksi dengan orang-orang maka sekarang tidak lagi. Agam tinggal di sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk manusia. Jika ingin membeli sesuatu maka ia akan keluar di malam hari saat orang-orang sudah tidur. Agam tidak lagi berkuliah. Bahkan jabatan presiden mahasiswa sudah tidak menempel lagi pada namanya. Agam tidak mau bertemu siapa-siapa. Hidupnya kosong, bahkan ia tidak memiliki harapan apa-apa. Sepertinya Agam hanya menunggu kematian dalam diam. Entah kapan kematian itu datang, Agam sangat menunggunya. Selama satu tahun menghilang dari peradaban manusia, Agam mengenal sosok Hiro. Pria berusia dua puluh empat tahun. Mereka kenal dari forum rahasia. Kedua tidak mengenal identitas masing-masing. Hiro sering mengunjungi Agam, namun mereka hanya menghabiskan waktu di tempat yang gelap seraya menatap layar komputer. Bagaimana dengan biaya hidup Agam? Dia memiliki tabungan dengan nominal yang cukup untuk hidup beberapa tahun. Sang Papa bahkan sudah mempersiapkan tabungan itu untuk Agam. Rumah, kendaraan serta harga sang Papa sudah disita oleh perusahaan sebagai ganti rugi dari dana yang dikorupsi. Seharusnya, jika Papa Agam terbukti melakukan korupsi, maka pihak penyidik pasti tahu kemana aliran dana itu mengalir. Tapi sampai sekarang mereka tidak tahu. Banyak informasi yang bermunculan dan itu tidak masuk akal. Agam hanya sendiri, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Menyembunyikan diri adalah cara untuk menjaga kewarasannya. Sampai sekarang, Agam masih mengkonsumsi obat penenang agar bisa tidur. "Ada kerjaan," ujar Hiro dengan bibir yang menjepit sepuntung rokok. "Terserah." Agam hanya berkata seadanya. Hiro dan Agam sama-sama ahli dalam dunia cyber. Mereka bahkan mendapat pekerjaan dari beberapa perusahaan besar untuk mengamankan situs yang mereka miliki. Tentu saja bayarannya tidak sedikit karena banyak oknum yang ingin masuk ke dalam situs perusahaan. "Harga lumayan," ujar Hiro lagi. "Terserah, gue mau keluar." Hiro membuang puntung rokok begitu saja. Kondisi ruangan yang mereka tempati memang sangat berantakan. Bahkan sampah berserakan dimana-mana. "Hari hujan." Agam mengerutkan kening. Mau siang mau malam, mau hujan atau panas maka orang-orang di dalam ruangan ini tidak dapat merasakannya. Jadi wajar jika Agam kebingungan saat Hiro mengatakan jika hari sedang hujan. Hiro memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan perkiraan cuaca. "Jadi gimana?" tanyanya. Agam tetap ingin keluar untuk membeli beberapa kebutuhan yang sudah habis. Hiro tidak melarang, ia malah menyuruh Agam untuk membelikan sebungkus rokok. Agam melangkah keluar dengan kepala yang ditutupi topi dan juga hoodie. Penampilannya terlihat sangat misterius sekali. Apalagi topi dan hoodienya berwarna hitam. Jika ada yang tidak sengaja melihat Agam pasti langsung menghindar. Agam berjalan menuju minimarket yang jaraknya tidak terlalu jauh. Hanya saja suasana sudah sangat sepi. Wajar bukan karena sekarang hampir pukul tiga dini hari. Siapa yang mau keluar dini hari begini jika tidak orang aneh seperti Agam. Bangunan-bangunan yang tidak berpenghuni ditemui oleh Agam. Dia tidak takut sama sekali. Agam sengaja mencari tempat tinggal dibangunan seperti ini agar tidak bertemu dengan banyak orang. Agam sudah sampai di minimarket yang buka dua puluh empat jam. Berhubung ia sering berbelanja disini, maka pegawai yang bekerja di minimarket tidak takut lagi. Saat awal-awal Agam datang, pegawai berpikiran buruk terhadap dirinya. Agam tidak menyalahkan hal itu karena penampilannya dapat membuat orang berpikir yang tidak-tidak. Agam mengambil barang-barang yang ia butuhkan. Bahkan ia juga mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat makanan. Agam tidak terlalu lama di minimarket. Setelah selesai, ia langsung pulang ke bangunan yang dijadikan tempat tinggal. Saat Agam melewati beberapa gang, ia melihat seekor kucing yang bersembunyi di balik kardus-kardus. Sepertinya ada seseorang yang sengaja mengirim kucing tersebut ke tempat ini. Agam berhenti sejenak, ia hanya melihat saja. Hati dan pikirannya sedang bergulat. Ia memutuskan untuk melangkah dan pura-pura tidak melihat kucing tersebut. Namun siapa sangka baru beberapa langkah, kaki Agam melangkah mundur kembali. "Kenapa?" tanya Agam kepada kucing tersebut. Kucing berwarna putih hanya mengeluarkan suara seakan-akan ingin mengatakan sesuatu. Agam berjongkok. Ia tidak tega sehingga merelakan ayam mentah yang baru saja dibeli. Padahal ayam tersebut ingin dimasak keesokan harinya. Saat Agam memperhatikan kucing tersebut, ada suara aneh yang ia dengar. Padahal Agam tidak pernah takut sebelumnya, tapi sekarang ia bulu kuduknya malah berdiri. "Dengar suara orang nangis nggak, Cing?" tanya Agam kepada kucing yang asik memakan daging ayam. Meong...Meong Agam menghela nafas panjang. Ia bertanya kepada sesuatu yang salah. Agam ingin menunggu sampai daging ayam habis, namun ia merasa sedikit takut sehingga memutuskan untuk segera pergi. Suara tangis yang awalnya tidak begitu jelas malah bertambah jelas seiring dengan jumlah langkah kaki Agam. Seharusnya ia memakai earphone sehingga tidak mendengar apapun. Pelan-pelan Agam melangkah dan suaranya semakin jelas. Saat bertemu dengan gang kecil, Agam mengintip sedikit. Ia mengucek matanya berulang-ulang kali. Bisa saja matanya salah melihat. Nyatanya Agam tidak salah melihat. Ada seorang manusia yang bersandar di depan bangunan tua sambil memeluk tubuhnya sendiri. Awalnya Agam kira hantu atau sejenisnya, tetapi semakin mendekat ia semakin yakin bahwa itu manusia. Agam berdiri di depan manusia yang tidak jelas itu sehingga menghalangi cahaya. Suara tangis perlahan-lahan mulai reda. Saat mengangkat wajah, Agam baru tahu jika manusia itu berjenis kelamin perempuan. Penampilannya sangat berantakan. Bahkan perempuan itu tidak memakai alas kaki sama sekali. Tatapan mereka bertemu beberapa detik. Agam dapat melihat luka lebam di sisi kanan wajah. "To-tolong," lirihnya. Agam hanya terdiam dan tidak memberi respon apa-apa. Ia bahkan ingin pergi dari sana. "To-tolong saya." Perempuan itu menghentikan niat Agam dengan memegang hoodie kain celananya. Dalam hitungan menit, Agam bertemu dua hal yang sangat ia hindari. Pertama, kucing dan sekarang perempuan lemah. "Lo nggak takut sama gue?" tanya Agam dengan tatapan tajam. Perempuan itu menggelang. "To-tolong saya, " ucapnya penuh harap. Agam berjongkok di depan perempuan itu. Wajahnya disinari cahaya lampu sehingga Agam bisa melihatnya dengan jelas. "Apa yang bisa gue bantu?" tanya Agam. Walaupun ia tidak mengetahui apa yang terjadi dengan perempuan itu. "Tolong nikahi saya," ucapnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN