Ini adalah hari pengumuman. Saphira sudah tidak sabar melihat hasilnya. Dia sudah sangat yakin bahwa dia akan diterima di universitas tersebut. Dia bertekad akan mendapatkan beasiswa jika dia sudah diterima di sana. Dia pada akhirnya menggunakan uang yang diberikan oleh Kaisar. Dari pada hanya disimpan, lebih baik dia gunakan untuk membiayai kuliahnya. Nanti jika dia sudah bekerja, dia pasti akan mengembalikan semua uang itu.
Dia membuka web di poselnya. Masih ada satu menit hingga pengumuman itu keluar. Dia melipat kedua tangannya dan memohon pada Tuhan agar meloloskannya di pengumuman tersebut.
“Tuhan, aku mungkin tidak tahu diri. Aku datang memohon hanya jika mempunyai keingingan. Tapi tolonglah, kabulkan doaku. Aku ingin kuliah!” setelah mengucapkan itu dalam hatinya. Dia membuka mata. Dia mengecek dengan memasukkan nomer pendaftarannya. Dia mengetikkan angka-angka itu secara perlahan. Tangannya seidkit gemetar. Dia menggigit bibir bawahnya saat angka terakhir telah dia ketikkan. Kemudian dia menghela napas panjang, sebelum akhirnya dia memencet tombol ‘submit’. Terlihat ada lingkaran yang masih terus berputar. Loading web terasa begitu berat. Mungkin karena banyak yang sedang mengaksesnya. Tentu saja, ratusan atau bahkan ribuan orang sedang mengecek apakah dia lolos atau tidak. Hingga akhirnya lingkaran itu berhenti berputar. Dan ternyata dia gagal. Dia tidak lolos dalam penerimaan siswa di sana. Dia lemas. Dia meletakkan ponselnya di sampingnya. Kemudian dia merebahkan tubuhnya. Dia menangis sejadi-jadinya.
“Tuhan kau jahat! Kenapa kau tidak mengabulkan permohonannku! Padahal kau tidak akan rugi apa pun jika mengabulkannya!” Saphira mulai mengocehkan banyak hal. Dia merutuki nasibnya yang malang. Memaki Tuhan yang tidak mengabulkan doanya. Bahkan dia mulai menghentak-hentakkan kakinya ke tempat tidur. Dia juga mengancam tidak akan berdoa lagi pada Tuhan. Karena dia tidak mengabulkan doanya hari ini.
Cukup lama dia larut dalam kesedihannya. Dia terisak-isak, tapi tetap saja mengomel tak jelas. Dia berhenti melakukan semua tindakan bodohnya saat mendengar ponselnya berdering. Siapa yang menghubunginya? Bukannya nomor dia baru dan dia juga belum memberitakukan nomornya tersebut pada siapa pun. Dia dengan segera mengambil ponselnya. Dia membulatkan matanya saat melihat nama Romeo tertera di layar ponselnya. Ada apa pria itu menghubunginya lagi? Dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Dia tidak melaporkan kejadian malam itu pada siapa pun. Lalu kenapa Romeo menghubunginya? Jika dia hanya diam dan tidak mengangkatnya. Maka dia hanya akan ada dalam rasa penasaran tanpa tahu tujuan dari Romeo. Dia pun mengangkat panggilan tersebut.
“Iya, halo?” ucap Saphira setelah memencet tombol hijau.
“Saphira, aku sudah mengirimkan pesan padamu. Apa yang sedang kamu lakukan hingga kamu tidak membacanya? Cepat buka!” hanya itu yang dia ucapkan. Kemudian dia menutup teleponnya tanpa mengucapkan apa pun lagi.
Saphira melihat ke arah ponselnya yang sudah menghitam. Dia menggerak-gerakkan mulutnya seolah sedang emnirukan gaya bicara dari Romeo. Dia benar-benar merasa kesal. Saphira cemberut, kenapa dia telepon kalau hanya untuk dimarah-marahi saja. Suasana hatinya sudah buruk hari ini. Malah ditambah dengan omelan Romeo yang tidak jelas. Dia dengan sengaja tidak membuka pesan dari Romeo. Dia biarkan saja ponselnya tergeletak di tempat tidur. Saphira sedang ngambek. Tanpa memberikan kesempatan pada Saphira untuk menjawab, dia terus mengomel dan memberi perintah.
“Itu tidak ada dalam surat perjanjian.” Saphira berkata pada dirinya sendiri. Kemudian dia meninggalkan ponselnya di sana. Dia tidak menuruti apa yang diucapkan oleh Romeo. Karena dia sangat kesal padanya. dia keluar dari kamar dan menuju dapur. Dia melihat kedua orang tuanya sedang memasak seperti biasanya. Dia melangkahkan kakinya mendekat ke arah mereka. Dia dengan tiba-tiba memeluk Ibunya dari belakang. Diana menoleh, kemudian dia menarik wajah Saphira yang dibenamkan di dadanya.
“Ada apa?” ucapnya dengan lembut. Dia membelai rambut saphira perlahan. Saphira hanya menggelengkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan dari Maria. Dia masih saja memeluknya tanpa berbicara sepatah kata pun. Melihat keanehan dari anaknya, dia pun mengajaknya untuk duduk di depan meja makan. Dia memperhatikan wajah Saphira yang terlihat memerah. Air matanya menganak sungai di pipinya. Dia pun mengusapnya dengan lembut. Kemudian menegcup kening Saphira dan kembali memeluknya. Dia sangat hapal, jika Saphira melakukan tindakan itu tandanya ada hal yang tidak baik sedang dia alami. Tapi dia juga tidak bisa memaksa Saphira untuk segera bercerita. Karena biasanya Saphira akan menceritakan semuanya secara detail jika dia sudah merasa baikan.
Saphira masih terisak dipelukan Ibunya. Sementara Roki masih melanjutkan memasak. Dia lebih baik tidak ikut bicara dalam kedekatan Ibu dan anak tersebut. Karena dia trauma, dulu dia pernah ikut campur dan memberikan pendapat. Sayangnya kedua wanita kesayangannya itu malah marah padanya. Karena apa yang dia ucapkan itu tidak masuk akal. Setelah kejadian itu dia tidak lagi berani mencampuri urusan dari kedua wanita tersebut. dia hanya akan bicara jika mereka meminta pendapat. Itu pun dia harus sangat hati-hati saat mengucapkannya.
Saphira teerlihat mulai tenang. Dia melepaskan pelukan pada Ibunya. Dia mengusap air matanya dan menghembuskan napas panjang. Dia menatap mata Ibunya.
“Bu, aku tidak lolos.” Dia mengucapkannya dengan wajah yang sendu, lesu dan tidak b*******h sama sekali. Dia seolah sudah kehilangan semangat untuk melakukan hal lain.
“Tidak apa-apa, kamu masih bisa mencobanya tahun depan.” Maria mencoba memberikan dia semangat. Dia membelai rambut Saphira lagi.
“Bagaimana bisa? Aku sudah mengundurkan diri dari club. Aku sudah tidak bekerja Ibu. Kalau aku hanya di rumah saja. Akdu hanya semakin menyusahkan kalian.” Dia mengucapkannya dengan lelehan air mata di pipinya. Dia benar-benar merasa tidak beerguna. Kenapa dia harus kembali menyusahkan orang tuanya. Ini semua gara-gara Tuhan tidak mengabulkan doanya.
Ponsel Saphira terus menerus berdering. Sementara sang pemilik ponsel sedang sibuk bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Di seberang telepon Romeo terlihat cemas. Kenapa Saphira masih belum juga membalas pesannya. Seharusnya sekarang dia sudah melakukan regristasi.
“Kemana kamu?” ucap Romeo dengan gemas. Dia merasa kesal dan marah dalam satu waktu. Dia sudah mengiyakan perintah dari Kaisar. Tapi nyatanya dia bisa saja gagal melakukan tugasnya tersebut. Karena Saphira yang masih belum juga menunjukkan jawabannya. Romeo menggigit bibir bawahnya. Dia mengepalkan tangannya, seolah dia sudah siap untuk adu tinju. Jika tugasnya kali ini gagal, ini adalah pertama kalinya dia tidak bisa menjalankan tugas dari Kaisar. Ini adalah pertama kalinya Kaisar akan kecewa padanya. padahal dia sudah bersumpah akan melakukan apa pun untuk mewujudkan perintah dari Kaisar. Dia menghela napasnya. Dia bingung, apakah dia harus menemuinya di rumah orang tuanya? Jika dia tidak melakukan itu, maka sampai kapan Saphira akan menjawab pesan dan juga teleponnya. Namun, jika dia melakukan itu. Bisa saja orang tua dan juga tetangganya akan beerpikiran lain atas kedatangannya ke sana. Dia benar-benar merasa dilema. Di satu sisi dia tidak mempunyai cara lain. Tapi di sisi lain dia tidak mungkin melakukannya.
Pada akhirnya dia pun melakukan peretasan pada ponsel Saphira. Tidak ada cara lain. Itu adalah cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Dan itu mempunyai resiko yang sangat kecil. Dia mulai mengaktifkan sebuah aplikasi pengontrol jarak jauh dari ponselnya. Dia mulai memasukkan beberapa kode dan sandi juga algoritma. Dia meretas ponsel Saphira. Dia mengambil semua data yang ada di sana dan mengirrimkannya ke web kampus lain. Memasukkan berkas yang dibutuhkan, tanpa sepengetahuan pemilik data tersebut. Tidak perlu waktu yang lama. Sejak awal namanya memang sudah teerdaftar di sana. Jadi langkah selanjutnya hanyalah pengiriman kelengkapan berkas. Dan kini sudah dia lakukan dengan baik. romeo tersenyum puas. Dia akhirnya bisa bernapas lega. Karena tugasnya sudah selesai. Kini tinggal menunggu Saphira mengecek ponselnya. Sehingga dia bisa mengetahui bahwa dia telah diterima di kampus yang sangat bagus dan brgengsi. Kampus para kaum elit dan juga konglomerat. Tidak ada orang sembarangan yang bisa masuk ke kampus tersebut. Karena biaya masuknya saja sudah ratusan juta. Orang biasa tidak akan pernah memikirkan untuk bisa masuk ke sana. Hanya keajaiban yang bisa membawanya ke sana. Seperti yang sedang terjadi pada Saphira. Sepertinya Tuhan mengabulkan doanya dengan cara lain yang lebih indah, yang tidak pernah dia sangka-sangka.
Romeo menemuni Kaisar dan melaporkan semuanya.
“Semuanya sudah selesai, semua yang Tuan perintahkan sudah selesai saya kerjakan. apa tidak sebaiknya Tuan mengatakan yang sebenarnya pada dia?” Romeo mengatakannya dengan hati-hati. Dia tidak ingin Tuannya merasa marah atas ucapannya. Dia menunduk setelah mengucapkan semuanya. Kaisar telrihat senang dan bahagia.
“Tidak perlu mengatakan apa pun padanya. biarkan dia mengira semua adalah bantuan darimu. Berikan dia beasiswa hingga dia tidak perlu lagi memikirkan soal biaya kuliahnya. Aku ingin dia fokus belajar dan menggapai mimpinya.” Setelah mengucapkan itu, Kaisar mengibaskan tangannya. Itu adalah tanda bahwa dia menuruh Romeo untuk pergi dari ruangannya. Romeo pun mengerti. Dia menunduk sebentar dan kemudian berjalan keluar dari ruangan Kaisar.
Setelah melihat Romeo pergi, Kaisar mengambil sebuah ponsel yang ada di laci meja kerjanya. Itu adalah ponsel milik Saphira. Dia membuka dan melihat foto-foto yang ada di dalamnya. Foto-foto Saphira yang terlihat cantik dan juga polos. Dia bahkan tidak bosan melihat foto itu berlama-lama. Bahkan ada beberapa foto yang telah dia cetak dan dia tempatkan di kamar pribandinya. Kini pikirannya tentang Viona telah tergantikan dengan segala hal tentang Saphira. Gadis yang telah dia tiduri, gadis yang tidak peduli dengan kekayaan, gadis yang bahkan rela tidak melaporkan tindakannya demi menjaga perasaan orang tuanya. Gadis itu kini memenuhi segala pikirannya. Sepertinya dia sudah merasakan jatuh cinta.