“Jadi, kamu memutuskan untuk mempertahankan atau menggugurkan, mia? “Nadia membuka percakapan siang itu.
“Menggugurkan? “ Yusuf dan Mia mengulangi ucapan Nadia bersamaan. Yusuf melotot seperti marah dan Mia mengernyit tidak percaya.
“Iya, ada yang aneh? “ sekali lagi Nadia menegaskan.
“Aku pernah nemenin temenku korban p*******n untuk konseling. Setelah diketahui dia hamil, dia punya hak untuk tidak melanjutkan kehamilannya. Sebagai korban, dia akan lebih tertekan bila menanggungnya. “
“Korban p*******n? “ Yusuf berucap sangsi.
“Iya. Di sini Mia itu korban lo. Dia bahkan nggak ngerti siapa pelakunya. “ Nadia mencoba menekankan kembali asumsinya.
Yusuf terbeku, sepertinya ia hendak mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Sementara Mia nampaknya mendapatkan pencerahan.
“Memang boleh Mbak, menggugurkan kandungan di dokter?”
“Untuk beberapa kasus, itu diperbolehkan kok. “ Nadia meyakinkan Mia.
“Jangan digugurkan!!! “ ucapan Yusuf mengejutkan Nadia dan Mia.
“Kenapa? Bukankah ini bagus untuk Mia? Dia bisa memulai hidup barunya tanpa terbebani bayang masa lalu yang menyakitkan. Dia juga bisa menjalin hubungan lagi bahkan jika nanti dia akan menikah, anak ini tidak akan menjadi beban buat Mia. “ Nadia terus berargumen. Sepertinya Mia mulai setuju dengan pendapat Nadia.
“Nggak. Mia nggak boleh menggugurkan kandunganya, “ tegas Yusuf.
“Mas! Kamu kenapa sih! Aku nggak paham sama kamu. Kalau kamu niat nolongin Mia yang all out dong, jangan setengah setengah. Kalau kamu nggak mau bayar biaya dokternya, biar aku yang bayar, “ jengkel Nadia. “Ini bukan masalah uang. Yang jelas aku melarang Mia aborsi. “
“Lalu, menurut mas bagaimana Mia yang akan menjalaninya? Mas pikir hamil itu enak? Belum lagi pandangan negatif orang nantinya. Mas juga nggak mikir kan, gimana status anaknya nanti? Gak ada mas anak yang mau terlahir tanpa kejelasan bagaimanapun Mia berusaha memberi pemahaman. Dia akan tetap dicap anak haram. “
“Anak haram??? “ Yusuf kembali terbelalak. Kali ini dengan marah dan menggebrak.
Mia ketakutan sementara Nadia masih tetap kekeuh dengan pendapatnya. “Mbak sudah Mbak. Saya nggak papa. Ya sudah saya nggak jadi gugurin kandungan. Saya nurut mas Yusuf. Mas jangan marah ya... “ Mia melerai perdebatan diantara mereka. Namun Nadia terlihat tidak puas. Dia tidak paham dengan Yusuf.
“Mia, jika kamu mampu melewati masa kehamilan kamu. Apa kamu mampu jika jika anakmu terlahir tanpa ayah? Bagaimana jika dia bertanya? Sementara kamu sendiri tidak tahu siapa ayahnya. Orang akan menilai kamu perempuan gampangan. “ Ucapan Nadia seperti menyimpan maksud lain.
Mia hanya diam tertegun tak mampu menjawab.
“Jika ada yang bertanya, katakan aku ayahnya. Aku yang akan bertanggungjawab atasnya. Jaga dia baik-baik! “ Yusuf pergi usai mengatakan hal itu. Membuat Nadia semakin penasaran dan Mia merasa semakin bersalah.
“Kenapa aku jadi curiga ya kalau pelaku malam itu Mas Yusuf?” seloroh Nadia.
Sambil tertawa kecil Mia menyahut, “Nggak mungkin Mbak, Mas Yusuf bukan orang yang seperti itu. “
“Awalnya aku juga nggak percaya, tapi mendengar ucapannya tadi sepertinya kecurigaan ku bertambah.”
“Sudahlah Mbak, mungkin Mas Yusuf kasihan sama saya. “
“Kalau Cuma kasihan, nggak akan mengorbankan diri sendiri. Udah kamu nggak usah ikut mikir. Biar aku sama Mas Handoko aja yang cari tahu. “
“Siapa Mbak, Mas Handoko? “Mia penasaran.
“Oh... Itu tunangan aku, temennya mas Yusuf. Jadi ceritanya 6 bulan lagi kita mau menikah. Makanya tadi aku kasih usul aborsi karena aku takut aku nggak bisa jagain kamu terus. Kalau kamu aborsi, setidaknya kamu nggak perlu menanggung beban. Hamil ini awal cobaan kamu. Kalau anakmu sudah lahir bebanmu lebih berat lagi.” Nadia menghela napas panjang. Sepertinya ia lebih terbebani dari pada Mia sendiri.
“Terima kasih Mbak. Mbak bahkan lebih mencemaskan aku. “
Dan merekapun mengakhiri peristiwa hari ini dengan pelukan.