Musibah

1010 Kata
 Program Magister Ilmu Sosial dan Ilmu Politik · Reguler Rp14.000.000,00 · Khusus Rp18.000.000,00 · WNA Rp40.000.000,00. Melihat rincian biaya program Magister FISIP yang ada di layar ponselku membuatku tersenyum kecil di sela langkah kakiku yang baru saja turun dari Angkutan Umum, rincian harga yang sangat mahal untuk kaum pinggiran sepertiku di mana UMK dari pekerjaan sebagai seorang Penerjemah hanya 2 juta lebih sedikit. Jika orang lain mungkin akan mencari beasiswa atau kampus lain selain Ibukota agar biayanya tidak semahal ini, maka berbeda denganku sekarang, aku memang sengaja mendaftar di sebuah PTN di Jakarta sana untuk memuluskan apa yang tengah aku rencanakan. Sebenarnya aku nyaman dengan gaji Rp 2.200.000 belum termasuk lembur yang aku terima setiap bulannya, di sini aku bisa bersama dengan Bunda, Orangtua tunggal yang selalu menjadi orang nomor satu yang melindungiku, rasanya aku tidak tega untuk meninggalkan beliau sendirian bergulat dengan kue-kue basah yang sedari dulu di gunakan beliau untuk menyambung hidup dan ongkos kuliahku, tapi melihat seorang yang sudah mencampakkan aku dan Bunda hidup bahagia hingga nyaris sempurna sementara aku menderita aku membulatkan tekadku membuang seluruh keraguan yang sempat aku rasakan. Tidak, Ayahku dan juga Bibiku, wanita yang sangat tidak tahu diri yang membalas tuba pada air s**u yang di berikan Bunda, sama sekali tidak aku izinkan untuk berbahagia sama seperti aku dan Bunda yang hidup tersisihkan selama 18 tahun ini. Mereka hidup nyaman dalam gelimang harta dan juga kehormatan seakan seorang Alim tidak pernah hadir dalam kehidupan mereka. Sungguh busuk dua manusia yang pernah di cintai oleh Bunda dengan begitu tulusnya. "Le, Alle, buruan pulang, malah senyam-senyum nggak jelas di sini!" Suara teriakan dari Rian, tetanggaku yang bekerja di salah satu pabrik sparepart kepadaku membuatku seketika tersentak, perhatianku dari layar ponsel seketika beralih pada pria yang sebaya denganku yang kini tampak panik di atas motornya. Bahkan tanpa peduli dengan jalanan yang ramai, Rian bermanuver dengan asal membawa motornya berbalik arah mendekatiku. Sungguh aku yang melihat Rian panik menjadi ikutan panik juga, tidak biasanya si Tengil yang hobi godain cewek lewat ini seserius dan sepanik ini, sudah pasti sesuatu yang buruk tengah terjadi di rumah sana. "Buruan naik!" Perintahnya cepat. "Bunda nggak kenapa-kenapa kan, Yan?" Tanyaku saat Rian mulai menarik gas motornya dalam kecepatan penuh. Mungkin jika dalam kondisi normal makian akan aku berikan padanya yang begitu ugal-ugalan dalam mengendarai motor bebeknya ini, tapi memikirkan ada hal buruk yang terjadi pada Bunda membuatku ketakutan. Percayalah, Bunda satu-satunya hal berharga di dalam hidupku yang tersingkirkan ini, mendapati ada hal buruk yang terjadi pada Bunda adalah hal terakhir yang ingin aku dapati di dunia ini. "Itu Bu Melly, Rentenir yang seringkali minjemin duit ke pedagang ngamuk ke Bundamu, Le? Bundamu ada hutang sama dia? Busyeeet dah Le dia teriak-teriak kayak di hutan." Mendengar penuturan Rian yang menceritakan tentang keadaan Bunda membuatku tercekat. Hutang? Ibu tidak pernah menceritakan kepadaku jika beliau memiliki hutang pada siapapun. Aku ingin sekali menangkis cerita Rian, tapi saat akhirnya motor Rian berhenti di samping rumah sederhana yang menjadi tempat tinggalku selama nyaris 18 tahun ini, teriakan Bu Melly yang terdengar membahana hingga seantero kampung membuatku hampir roboh tidak percaya. "POKOKNYA SAYA NGGAK MAU TAHU BU ALIM GIMANA CARANYA IBU LUNASIN HUTANGNYA. HUTANG IBU SUDAH JATUH TEMPO, JANGAN SALAHKAN SAYA KALAU SELURUH BARANG DI RUMAH INI HARUS SAYA AMBIL UNTUK MENEBUS HUTANG ANDA, KALAU PERLU RUMAH INI SEKALIAN SAYA SITA!" Jangan tanya bagaimana hancurnya hatiku sekarang, sosok Ibu yang berjuang mati-matian sendirian menjadi tontonan seluruh penduduk kampung karena hutang yang tidak mampu di bayarnya. Hatiku begitu sakit melihat Ibu hanya bisa menunduk malu melihat ke arah tanah tanpa ada daya sama sekalis ementara si penagih hutang berkacak pinggang penuh kuasa mengangkat telunjuknya pada Bundaku. Aku tahu tidak membayar hutang adalah sebuah kesalahan. Tapi haruskah hal itu membuat kita menjadi semena-mena dan pantas mempermalukannya? "Saya usahakan Bu Melly. Uang 60 juta bukan uang yang sedikit, Bu. Saya minta pengertiannya." Iba Bunda penuh pengharapan, mendengar nominal 60 juta membuatku bagai tersambar petir. Astaga, 60 juta? Sebanyak itu hutang Bunda? Dan seakan belum selesai keterkejutanku, suara lantang bak gledek Bu Melly kembali terdengar. "Enak saja kamu cuma hitung pokoknya, harus berapa kali saya katakan, setiap bulan ada bunganya 10% kalau kamu tidak sanggup mengembalikan pinjamanmu dalam waktu 2 bulan, dan sekarang sudah 3 bulan lebih kamu mangkir! Hutangmu jadi 78 juta. Nih surat perjanjiannya." "Apa-apaan sih Bu Melly? Hutang apa Bundaku ini, Bu? Nggak mungkin Bundaku hutang sebanyak itu!" "Ini lagi bocah ingusan! Keterlaluan banget kamu jadi anak nggak tahu orangtuanya kelilit hutang. Noh baca surat perjanjiannya! Nggak buta, kan?" Glek, aku menelan ludahku kelu. Tidak sanggup lagi melihat Ibu yang semakin di permalukan dengan bentakan Bu Melly aku menghampiri beliau yang melemparkan secarik kertas pada Ibu. Aku sempat berharap jika semua yang di katakan oleh Bu Melly sekedar gertak sambal omong kosong belaka, tapi saat melihat bagian surat perjanjian piutang di mana Bunda mengaminkan sertifikat rumah kami ini serta kesanggupan Bunda untuk mengembalikan lengkap dengan bunga dan denda jika Bunda tidak sanggup membayar tepat waktu, untuk kedua kalinya aku merasa duniaku runtuh. Sungguh, 60+18 juta bunganya bukan nominal yang kecil. Uang sejumlah itu sangat banyak, dalam pikiranku yang kalut aku bertanya-tanya untuk apa Bunda hingga memerlukan uang sebanyak ini, ingin sekali aku marah pada dunia yang sangat tidak adil kepadaku, tapi melihat bagaimana Bunda bahkan tidak berani sekedar menatapku membuatku tidak tega untuk langsung bertanya pada Ibu. Seluruh tubuhku gemetar saat aku mencoba bangkit menghadapi Bu Melly, sungguh aku malu menjadi tontonan, sedih karena orang-orang memperlakukan Ibu seperti sampah, dan aku benci melihat Ibu menderita seperti ini. Tapi siapa lagi yang akan menyelesaikan masalah ini jika bukan aku? "Beri saya waktu satu Minggu paling lama, Bu! Sebelum satu Minggu saya pastikan akan melunasi hutang tersebut." Ucapku yakin walau Bu Melly dan yang lainnya justru terbelalak dengan keyakinanku ini mendekati tidak percaya. "Ibu boleh jual rumah ini jika saya ingkar janji." Ketidakpercayaan itu ada di diri Bu Melly, beberapa tetangga pun menyangsikan ucapanku ini, tapi pilihan apa yang di miliki oleh Bu Melly selain percaya. "Baiklah, satu minggu. Lebih dari satu minggu saya tidak akan segan mengusir kalian."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN