Jendral Itu Ayahku

1128 Kata
 Holla, selamat datang di kisah Alleyah Hakim, semoga menghibur kalian ya. Happy reading semuanya. Enjooy "Untuk masyarakat, jika kalian menemukan tindakan para polisi yang menyimpang, jangan segan untuk melaporkan kami. Percayalah, kami akan menindak tegas setiap Anggota kami yang melanggar hukum. Jika masyarakat mau menilik lebih jauh, itu bandar narkoba yang ternyata seorang Pamen, kami libas tanpa ampun." "............." "Saya, Dhanuwijaya Hakim, selaku Kadiv Propam Polri, berjanji jika hukum akan di tegakkan setegak-tegaknya tidak pandang bulu!" "............." "Bahkan jika keluarga saya ada yang berbuat kesalahan, saya pun tidak akan segan untuk menghukum mereka, karena menjadi penegak hukum dan disiplin adalah tugas dan panggilan jiwa saya." Pria dalam seragam coklat penuh kegagahan tersebut tersenyum lebar, menampakkan wibawanya yang semakin menguar dalam karisma seorang pemimpin yang begitu di segani, apalagi saat Sang pemandu acara memperlihatkan potret bahagia sang Jendral bersama dengan keluarga dan jajarannya bergantian, pria tersebut tampak mengaminkan saat mendapatkan pujian sebagai sosok yang bukan hanya sukses dalam karier tapi juga sukses dalam menjadi sosok Kepala keluarga idaman. Semua orang seolah setuju jika Dhanuwijaya Hakim bukan seorang Polisi biasa yang pulang pergi ke kantornya hanya sekedar kewajiban. Tapi sosok Sang Jendral muda membuktikan jika dia sukses dalam kariernya di Kepolisian dengan melesat bak bintang, memiliki istri yang luar biasa cantik dan sangat aktif dalam kegiatan sosial Ibu Bhayangkari dalam mendampingi suaminya, lengkap dengan dua anak yang sangat membanggakannya. Mahasiswi kedokteran di sebuah PTan ternama dan Sang Putra yang merupakan atlet basket nasional yang di gadang-gadang akan melanjutkan nama besar Hakim di Kepolisian. Riuh tepuk tangan atas wawancara sang Jendral begitu membahana, antusias dalam mengelu-elukan Sang Jendral Hakim yang selalu tampil bak pahlawan di setiap kasus yang melibatkan oknum dari Kepolisian, tapi di antara jutaan orang yang menjadikan Sang Jendral idola, satu persen dari para penonton talkshow mencibirnya atas kemunafikan yang di tampilkan di dalam layar kaca. Senyum bahagia sang Jendral yang berdiri di atas lara pengkhianatan seakan pisau tajam yang akhirnya membunuh nurani menyisakan kebencian tiada bertepi. Klik. Dalam sekejap percakapan yang di siarkan salah satu TV swasta nasional tersebut berubah, berganti dengan nyanyian Bis kecil warna biru yang di gandrungi anak-anak, bagiku kartun ini jauh lebih menghibur daripada mendengar obrolan Sang Jendral. Ya, akulah satu persen pembenci dari 99% orang yang mengidolakan Sang Jendral. Bahkan hanya melihatnya dari layar televisi saja sudah menggugah niatku untuk mengayunkan belati dan mengoyak hatinya yang sama sekali tidak berfungsi. Kemarahan selalu menguasaiku setiap kali melihat sosok Dhanuwijaya Hakim, hingga aku tidak sadar kaleng kopi yang aku genggam kini hancur terkoyak karena genggamanku yang begitu kuat. "Perasaan setiap kali ada wawancara sama Jendral Ganteng Om-om Sugar Daddy idaman para ani-ani itu nggak pakai lama mesti kau ganti Chanel lain." Teguran dari rekanku atas apa yang aku lakukan membuatku mendongak, kebencian yang semula terpatri jelas di wajahku kini berubah dalam sekejap berganti dengan keramahan dan tidak lupa juga dengan senyuman yang tersungging di bibirku. Jika ada satu hal yang bisa aku banggakan dari diriku adalah senyumanku yang menjelma menjadi sebuah topeng untuk menyembunyikan bagaimana pedihnya asa yang aku rasakan selama ini. Ayolah, hidup pas-pasan sedari kecil, berteman dengan kekurangan, dan bersahabat bersama dengan kemiskinan membuatku nyaris tidak memiliki kenangan indah di masalalu. Keseluruhan hidupku nyaris aku habiskan hanya untuk berjuang bersama dengan Ibu mengais rezeki dari usaha laundry rumahan yang tidak seberapa hasilnya. Di saat teman-temanku yang lain hanya fokus belajar sebelum tes sekolah, maka aku harus memutar otak bagaimana caranya agar wali kelasku memberikan dispensasi untuk kaum miskin sepertiku karena beasiswa sama sekali tidak aku dapatkan entah apa alasannya. Bukan hanya beasiswa yang seakan haram untuk aku dapatkan, prestasi yang aku terima dan juga nilai-nilaiku yang tinggi sama sekali tidak di gubris oleh guruku. Tidak peduli seberapa pun tingginya nilai yang aku dapatkan, aku tidak akan pernah mendapatkan peringkat. Merasa tidak adil? Tentu saja? Rasanya aku hampir memilih mati di bandingkan merasakan ketidakadilan yang begitu nyata tersebut. Mungkin jika tidak melihat bagaimana kerasnya hidup Bunda yang berjuang sendirian sebagai Orangtua single agar aku hidup dengan layak seperti orang lain, aku pasti memilih untuk menyerah pada hidupku ini. Bunda, beliaulah alasan kenapa aku bisa bertahan sampai di detik ini. Dari aku yang awalnya terpuruk penuh kesedihan karena tidak ada orang yang peduli padaku hingga aku bisa menjadi seorang yang mampu menebalkan telinga dan menjadikan hinaan, pandangan meremehkan, serta cibiran menjadi sebuah penyemangat untuk sukses. Dan yah, akhirnya aku bisa melewati masa kelamku. Akhir SMA dan awal aku masuk kuliah adalah titik mulai hidupku yang baru. Jika dulu aku memandang dunia penuh kebencian dan memusuhi semua orang yang mencibirku, maka sekarang senyuman adalah topeng yang aku kenakan untuk mengelabui dunia yang begitu kejam. Aku bertekad bagaimana pun caranya aku harus bisa membalas mereka yang sudah membuat hidupku dan Bunda menderita. Semakin aku membenci seseorang, maka senyumanku akan semakin lebar. Dalam sekejap, sosok Alleyah Hakim, si cemberut yang tidak punya teman dan bermulut ketus berubah menjadi Alleyah Hakim yang ramah, dan manis. Sosok mahasiswa supel idaman banyak Kating dan dosen. Berkat topeng yang aku kenakan selama ini, akhirnya aku pun bisa mendapatkan sebuah pekerjaan yang cukup mapan di sebuah instansi pemerintah sebagai seorang penerjemah. Seharusnya setelah aku mampu mengubah hidupku menjadi lebih baik seperti sekarang ini, aku bisa melupakan luka di masa lalu dan berdamai dengan keadaan. Tapi memaafkan bukan hal yang mudah untuk aku lakukan. Aku benci melihat ketimpangan di antara aku dan orang yang sudah membuatku menderita. Aku benci di saat aku dan Bunda berjuang setengah mati hanya agar bisa hidup untuk esok hari, sosok Ayah yang seharusnya menjadi pelindung untuk keluarga dan anak perempuannya justru berbahagia dengan keluarganya sendiri di atas lukaku yang begitu menganga. Itulah sebabnya setiap kali Jendral Dhanuwijaya muncul di Televisi aku akan langsung menggantinya dengan channel TV lain. "Bengong lagi." Celetuk Kinara saat aku kembali termangu. Aku tersenyum, tersentak karena terkejut dengan suaranya yang melengking. "Kinara, kalau aku bilang aku benci Jendral Dhanuwijaya karena dia Ayahku kamu bakal percaya nggak?" Kini giliran Kinara yang ternganga, mulut perempuan asli Sunda tersebut terbuka lebar karena syok mendengar apa yang aku katakan. Mungkin di pikirannya sekarang ini Kinara menganggapku sudah mulai agak halu karena terlalu banyak menerjemahkan n****+ bahasa Inggris. Perlu beberapa saat untuk Kinara menguasai dirinya sebelum akhirnya Kinara tertawa terbahak-bahak penuh ejekan. "Al, jangan bercanda kenapa! Mentang-mentang nama belakang kamu sama kayak Pak Jendral kamu ngaku-ngaku anaknya. Lagian, kalaupun benar kamu anak Pak Jendral, ya kali kamu hidupnya nelangsa kayak gini, kemeja cukerpak, celana diskonan. Belum lagi itu sepatumu yang udah ketinggalan musim, Al. Daripada kebanyakan halu nggak berfaedah mending kamu nulis n****+ sekalian, Al." Sayangnya apa yang aku katakan sama sekali tidak halu. Dan memang, dunia sebercanda itu terhadapku, tawa yang meluncur bebas dari Kinara membuat kebencianku semakin membesar pada sosok yang dunia anggap begitu sempurna. Mungkin ini sudah saatnya untukku menghancurkan kesempurnaan yang di elu-elu ribuan orang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN