Blurb
"Alleyah, Mama mau minta tolong kepadamu."
Suara ketus yang terdengar memecah keheningan di sunyinya ruang makan keluarga Hakim membuat seluruh orang yang di meja makan ini mengarahkan pandangannya pada sosok wanita yang ada di sebelah kanan Sang Kepala keluarga.
Seorang yang tidak lain adalah Bibiku, sekaligus Ibu tiriku yang harus aku panggil Mama. Seorang yang sudah di asuh oleh Bundaku layaknya anak sendiri karena orang tua mereka meninggal karena bencana tanah longsor tapi dengan teganya merebut suami dari Kakaknya sendiri.
Sungguh, kisah pilu yang biasanya hanya ada di dalam sebuah n****+ atau sinetron azab tapi sebuah kenyataan di dalam hidupku, dan parahnya tidak seperti di dalam drama yang setiap perbuatan jahatnya di bayar instan, maka Pelakor dan Ayahku ini justru hidup bahagia dengan dua anak mereka dan karier Ayahku melejit bak roket dengan dua bintang di bahu seragam polisinya, tidak main-main jabatan beliau, seorang Irjen Polisi di Kadiv Propam dengan sederetan Ajudan yang memenuhi rumah megah yang sejak beberapa bulan lalu aku tempati, sementara aku dan Ibuku hidup sengsara dengan kepedihan yang tidak bertepi, berteman dengan kelaparan, dan akrab denabn kemiskinan, serta terlupakan begitu saja dari hidup Ayah kandungku seakan aku tidak pernah ada di dalam kehidupannya.
Ya, mungkin aku akan terlupakan begitu saja dari hidup Sang Jendral seandainya aku tidak memberanikan diri untuk datang ke rumah ini meminta hak yang wajib di berikan oleh seorang Ayah untuk Putri sulungnya, salah satunya adalah pendidikan karena Bunda di kampung sudah tidak sanggup membiayai S2ku.
Banyak hal yang terjadi selama beberapa bulan aku tinggal di rumah ini, keadaan yang membahagiakan untukku tapi sebuah bencana untuk Pelakor tidak tahu diri dan tidak tahu adab seperti Bibiku. Dalam sekejap aku bisa menjadi putri kesayangan Ayahku, aku pintar, baik hati, penurut, dan mudah mengambil simpatinya dengan kesedihan hidup yang aku bawa.
Di hadapan Ayahku aku adalah seorang putri yang bisa memenuhi segala hal yang dia harapkan dari seorang anak, itu sebabnya saat Bibiku bersuara ketus kepadaku, tatapan kejam Ayah terarah padanya, membuatku menyeringai samar di sela ketenanganku menyantap sarapan.
"Amelia, bisa nggak sih kamu ngomong yang lembut ke Alle, dia anakmu juga."
Seraut wajah masam terlihat di wajah Bibiku, terlihat jelas sekali jika dia tidak suka pria yang dulu begitu memujanya hingga rela meninggalkan anak dan istrinya sekarang justru membela anak yang tidak pernah di tengoknya selama 18 tahun.
Tidak ingin memperlihatkan rasa senangku atas teguran yang di berikan oleh Ayah, aku buru-buru menyela. "Silahkan, Bi. Mau minta tolong apa?" Jawabku lembut, hal yang langsung membuat Bibiku serta adik tiriku, Kalina, mendengus kesal.
"Mama nggak mau basa-basi sama kamu. Mulai sekarang jauhi Dirgantara, jangan ganggu dia karena Dirgantara mau saya jodohkan dengan Kalina. Ngerti kamu!"
Seketika gerakan tanganku terhenti, apa yang aku dengar barusan sudah aku perkirakan jauh hari sebelum ini terjadi, senyuman sama sekali tidak aku cegah saat aku meletakkan sendok dan juga garpuku untuk menatap beliau lekat.
"Bibi ingin saya menjauhi Bang Dirga?"
"Ya! Mulai sekarang, biar Azhar yang antar jemput kamu menggantikan Dirga."
"Baiklah jika itu mau Bibi. Saya akan menjauhi Bang Dirga mulai hari ini. Tenang saja, Bi. Sedari kecil Alle sudah di ajarkan Bunda untuk memberi pada pengemis. Dulu Bibi mengemis pada Bunda agar merelakan Ayah untuk Bibi, tidak mengejutkan untuk Alle mendengar Bibi melakukan hal yang sama untuk putri Bibi, sepupu sekaligus adik tiri Alle tersayang ini."
".........."
"Ibu dan anak sama-sama doyan merusuh hubungan orang. Upssss!"