Hal. 7 Teresa Oriel (Begin)

2109 Kata
Eits! Sebelum baca ada baiknya jika Kakak TAP LOVE DI SAMPING EPISODE dulu yaa. Satu Love kalian sangat berarti buat penulis/akuu :) . . Halaman 7  . . . Malam itu, Teresa bersembunyi di kamarnya, tidak ingin makan atau sekedar keluar dari sana. Sebuah kebiasaan yang sering Ia lakukan selama beberapa tahun ini. Menekuk kedua lututnya dan duduk menyendiri di sudut ruangan. Membiarkan lampu kamar mati, gelap, persis saat ulang tahunnya dulu. Tapi kali ini dengan keadaan yang berbeda, jika saat usianya menginjak lima tahun. Teresa menangis karena hal kecil. Hanya satu ulang tahun tertunda, dan tidak bisa merayakannya dengan kedua orangtua dan Rasi. Sekarang tangisan yang Ia keluarkan bukan karena itu, jauh lebih berat dan menyesakkan. Setelah perlahan mengerti, dan mampu memahami tiap kata yang ditujukan padanya. Teresa menangis terisak, menyembunyikan wajahnya, membiarkan air mata itu membasahi lutut. “Tere, anak yang cacat? Ayah dan ibu tidak menyukai, Tere?” Tak henti-hentinya Teresa menyalahkan diri sendiri. Bahkan dengan kasar, memukul kaki palsu yang sampai saat ini masih menopang tubuhnya. Merasakan sakit luar biasa saat merasakan kulitnya tertarik karena memukul benda itu keras. Teresa tidak peduli!! Apa gunanya kaki ini, kalau sampai sekarang kedua orang itu masih menganggap Teresa cacat? Dia hanya seorang gadis dengan sebelah kaki, tidak sempurna, memalukan!! Hal yang Ia perjuangkan, ternyata tidak ada gunanya di mata ayah dan sang ibu. Mereka menangis, menyalahkan kelahiran Teresa. Berkali-kali Teresa berusaha menanggung, dan menahan caci maki, saat dia tidak mengerti sama sekali sampai perlahan paham. Kedua orang itu tidak benar-benar menganggapnya berharga. “Kenapa mereka menyebut Tere cacat? Sementara ayah dan ibu sudah memberikan Tere ini? Kaki Tere sakit-hiks-” Teresa takut, tangisannya ini justru sampai ke bawah. Terdengar oleh Bibi Amari. Teresa bingung, dia harus apa setelah mendengar kalimat tadi. Menangis saat tidak siapapun yang siap mendengar semua ketakutannya. Apa mungkin setelah ayah dan ibunya bertengkar nanti, mereka akan membuang Teresa jauh-jauh? “Tere, takut.” Dia tidak pernah meminta pada Tuhan untuk lahir seperti ini, layaknya anak-anak lain. Teresa ingin hidup dengan tubuh yang layak, berlari bebas, tanpa menanggung beban di kakinya. Siapa dan kemana Teresa harus mengadu. Sinar rembulan kali ini tidak mendukung gadis itu, seolah menyembunyikan tubuhnya dalam kegelapan, tidak ada sinar sama sekali. Ruangan Teresa nampak gelap. Tenggelam dan menangis sendirian. “Non Tere, ada di dalam?” Suara ketukan itu terdengar tiba-tiba, Teresa sudah terbiasa. Bibi Amari pasti baru datang dari berbelanja, kali ini tidak seperti hari ulang tahunnya. Teresa tidak menjawab, masih terisak, diam di sudut ruangan. Gadis kecil itu enggan untuk bergerak. Untuk apa dia bergerak lagi? Semua hal, mengatur olah tubuh, membiasakan diri dengan kaki palsu ini, rasa sakit, perih menusuk, panas besi di siang hari, bahkan menyembunyikan kaki palsunya, menganggap bahwa benda ini adalah aib yang harus Teresa bawa sampai mati. “Non Tere. tolong buka pintunya,” ujar Bibi Amari terdengar khawatir, wanita paruh baya itu mengetuk berkali-kali. “Bibi buatkan makanan kesukaan Nona, ayo dimakan dulu, ini sudah malam.” Teresa masih enggan menjawab, memeluk lututnya makin erat, membiarkan air mata itu menetes dari pelupuknya, ketukan kembali terdengar dengan nada yang keras. “Non! Non, tidak apa-apa kan? Non Teresa!” Bibi Amari panik, Teresa rasa dia sudah sedikit keterlaluan. Mengangkat setengah wajahnya, bibirnya berujar tipis dan pelan. “Tere, tidak mau makan,” balas gadis kecil itu singkat. Wanita di seberang sana terdiam sesaat, masih berusaha membujuk Teresa. Dia sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba Teresa mengurung diri di kamar. Pasti ada yang terjadi, mengingat kalau Teresa ikut dengan ibunya dan Rasi ke pesta tadi. Merasa ada yang tidak beres, kembali mengetuk pintu, “Non, keluar dulu ‘yuk? Bibi buatkan minuman hangat, ceritakan sama Bibi, ya?” “Tidak perlu, Bibi. Tere mau sendiri saja,” ujar Teresa cepat. Bibirnya merengut, walau apa yang Teresa harapkan adalah pelukan dari wanita paruh baya itu, tapi Teresa tidak mau membuat Bibinya khawatir. Mendesah panjang, Bibi Amari tidak ada pilihan lain lagi. “Maaf, Non.” Bergerak mengambil kunci cadangan yang selalu siap di kantung celemeknya, wanita itu membuka pintu kamar Teresa yang terkunci. Apa yang Ia tangkap saat pintu terbuka, ruangan Teresa nampak gelap, tanpa cahaya sedikit pun, pintu jendela balkon terbuka lebar, angin malam hari ini terasa sangat kencang, beberapa daun berguguran masuk mengotori lantai. Bukan itu yang Ia cari sekarang, pandangan Bibi menelisik mencari sosok mungil di atas tempat tidur tapi tidak ada. “Non Teresa,” Berjalan masuk ke dalam kamar, sedikit memeluk tubuhnya yang dingin karena angin malam, menuju pintu balkon dan menutup jendela tersebut, Bibi Amari mencari tombol lampu. Menghidupkannya sekilas. “Non Tere,” Suara wanita itu tercekat saat mendapati tubuh mungil Teresa nampak meringkuk di sudut ruangan. Memeluk lutut dan tidak berbicara sama sekali. “Astaga, Nona!” Melangkahkan kakinya cepat, bergerak hendak menggendong tubuh Teresa, tapi gadis kecil justru menepis tangan Bibi Amari. “Jangan! Tere, mau diam di sini saja!” tukasnya ketus. Sedikit kaget melihat tingkah aneh Teresa, Bibi mengerjap bingung, kali ini ikut duduk di depan gadis itu. “Non Teresa, kenapa? Cerita sama Bibi, bisa?” Menatap bagaimana pipi Teresa basah oleh air mata. Meskipun Ia sudah bisa menebak siapa yang membuat gadis kecilnya menangis. Bibi Amari perlu tahu apa yang terjadi. Teresa menggeleng cepat, keukeuh dengan pendiriannya, bahkan saat tangan Bibi mau menghapus air mata di pipi itu, Teresa menjauhkan wajah. Menolak, mendorong tangan hangat Bibi-nya. Masih tidak mau menyerah, Bibi Amari meringsek perlahan dan duduk di samping Teresa. Tidak ada niat untuk menyentuh atau mendekati gadis kecil itu, dalam ruangan yang sudah disinari cahaya lampu, menengadahkan wajah. “Umur Non Teresa sekarang sudah delapan tahun ya?” tanya Bibi tiba-tiba, Teresa tidak menjawab. Masih terlarut dalam pikirannya sendiri. “Anak kecil yang Bibi lihat kemarin sudah besar sekarang, tapi bukannya Bibi pernah bilang dengan Non Teresa?” Kedua manik wanita itu menatap teduh, beriringan dengan salah satu tangan mencoba mengelus puncak kepala Teresa. Tidak ada niatan untuk menepis lagi, Teresa justru menikmati sentuhan lembut sang Bibi, menggigit bibir bawah kuat, menarik napasnya berkali-kali agar tidak menangis. “Jika di depan Bibi, Non Teresa tidak perlu menyembunyikan apapun. Non, boleh menangis sepuasnya, setelah itu kita berdua bangkit bersama lagi, Bibi akan selalu mendorong dan mendukung segala keputusan Non Teresa, ingat?” Satu hal yang membuat Teresa sangat-sangat menyayangi Bibi Amari. Suara dan pandangannya yang teduh, membuat Ia nyaman dalam sekejap, melupakan sesaat pikiran buruk tadi. Tetesan air mata kembali meluncur, mengalihkan pandangannya, bibir itu berusaha untuk bicara. “Tadi Tere dengar sendiri, kalau ibu dan ayah bertengkar gara-gara Tere cacat,”  Menatap kaki palsunya, rasa kesalnya kembali datang. “Gara-gara Tere cacat, ibu dan ayah menangis. Padahal Tere sudah pakai kaki besi seperti ini,” ujarnya diiringi isakan. “Kakinya berat, bau besi, panas, sakit sekali, Tere kira ibu dan ayah akan senang kalau Tere pakai ini. Mereka malah bilang Tere cacat,” Mengucapkan semua kalimat itu dengan gamblang, Tere tidak bisa melihat bagaimana tekukan wajah wanita di sampingnya nampak menahan tangis. Masih menepuk lembut Teresa, tangan rapuh Bibi Amari perlahan menarik puncak kepala itu agar menyender pada pundaknya.  “Non Tere, akan selalu terlihat cantik, seperti apapun di mata Bibi. Untuk apa Non memikirkan kalimat mereka,” Merengut, “Tapi mereka ayah dan ibu, Tere.” bisik Teresa pelan. Satu kalimat yang tidak pernah Teresa lupakan dari Bibinya, wanita itu tidak henti-henti menyalurkan semangat untuknya. Pundak yang menjadi tempat Teresa bersandar, menikmati setiap moment bersama sang Bibi. “Bibi akan selalu ada di samping Tere kan?” Tiba-tiba menanyakan itu, tidak perlu menunggu lama Bibi mengangguk kecil. Wanita paruh baya itu terkekeh “Tentu saja, Bibi akan selalu ada di samping Non Teresa sampai nanti Non tidak membutuhkan Bibi lagi.” jawabnya, Bibi Amari tertawa saat melihat rengutan di wajah Teresa. Kedua tangan mungil itu bergerak memeluk tubuh sang Bibi, “Tere, mau sama Bibi sampai tua, jangan tinggalin Tere ya?” Dengan kedua manik yang bulat menatap Bibi, sang empunya langsung tak tega. Memeluk balik tubuh Teresa. Mengecup puncak kepala gadis mungil itu. “Baiklah, kalau memang Non sendiri yang minta, apa boleh buat,” ujarnya penuh nada bercanda. Satu tarikan senyum di wajah Teresa kembali muncul, kalau memang di rumah ini semua keluarganya justru menjadi senjata bagi Teresa, setidaknya dia punya tameng pelindung yang selalu siap menjaga dan menghiburnya. Gadis itu tertawa lagi. . . . Di tempat lain- Sofia menjauhkan tubuhnya perlahan, merasa ragu saat mendengar perkataan laki-laki yang masih memeluknya erat. Tidak membiarkannya untuk pergi, bahkan menarik tubuh wanita itu kembali. “Ma-Mark, apa maksudmu?” tanya Sofia sedikit takut, menumpukkan tubuhnya pada d**a bidang sang suami. Tidak melihat bagaimana wajah laki-laki itu nampak menyeringai tipis. “Kau bilang kalau laki-laki menginginkan tangisan Teresa ‘kan?” tanya Mark balik, Sofia mengangguk kecil. “Di-dia memang mengatakan itu, tapi apa harus sampai membunuh?” Meneguk ludah tanpa sadar. Mark terdiam sesaat, menatap keluar sekali lagi, “Jika Teresa masih bersikeras dan tidak menangis, kau pikir gara-gara siapa dia jadi bisa menahan siksaan dari kita?” Sofia menggeleng tak tahu, “Aku tidak pernah memperhatikan anak itu,” ujarnya tipis. “Karena itu kita perlu mencoba beberapa tahap, jika Teresa bisa menangis tanpa kita harus melukai orang yang membuatnya seperti sekarang ini, kita anggap saja pembunuhan itu sebagai ide terakhir. Bagaimana?” Tidak mengerti lagi, kali ini Sofia mendorong tubuh sang suami sekuat tenaga, berdiri menengadah, masih dengan wajah ragu, “Kenapa kau mudah sekali mengatakan kalimat itu, Mark?” Sosok tegap dengan wajahnya yang dingin, berdiri menatap ke luar, mendesah panjang sekilas. “Kita membutuhkan uang yang banyak, Sofia,” jawab Mark singkat. “Aku tidak mau menggunakan Rasi dulu, jika yang kita perlukan hanya Teresa. Bukannya bagus. Lagipula laki-laki gila itu juga menyukai Teresa, bukan?” Masih setengah ragu, Sofia menundukkan wajahnya. “Ta-tapi sampai membunuh, aku tidak mau,” Walaupun takut berhadapan dengan Mark sekarang, tepat saat kedua tangan besar itu mencengkram pundaknya. Menegangkan tubuh Sofia. “Kau mau kita hidup di kolong jembatan? Kau ingin melihatku masuk penjara? Bisa apa kau tanpa uang dariku?” Secara sarkas menyindir istrinya, memang selama ini Sofia tidak bekerja dan hanya bergantung dari uang Mark saja. Wanita itu justru membuang-buang uang dengan kegiatan sosialita yang sering diadakan di beberapa tempat berbeda. Tidak bisa menjawab, Sofia bungkam. Merasakan tubuh tegap itu perlahan menunduk dan berbisik singkat, “Lakukan saja apa yang kukatakan, kita tidak perlu sampai membunuh kalau kau bisa membuat Teresa menangis,” Menjauh sekilas, melangkahkan kaki keluar dari kamar mereka. “Ah, satu lagi,” Mengangkat salah satu tangannya, menatap dan tersenyum lembut pada istrinya, “Buat gadis itu menderita, sayang.” Meninggalkan Sofia di dalam ruangan, wanita yang masih membeku. Apa yang ada di bayangannya saat itu hanya berusaha membuat Teresa menangis dengan cara yang simple. Menampar atau mencaci makinya. Jika sampai membunuh? Teringat kembali perkataan Mark, kedua manik yang awalnya ragu itu perlahan berubah kembali, menggelap, dengan seringai tipis di wajah. Tidak ada cara lain lagi. . . .      Teresa tidak menyangka kalau semua tindakan sang ibu justru semakin hari makin menjadi, bahkan lebih parah lagi. Wanita yang awalnya tidak peduli pada Teresa, berbalik arah dan fokus pada gadis kecil itu. Fokus bukan dalam artian yang baik, melainkan memperburuk keadaan. “Ahh!!” Satu teriakan Teresa menggema di pagi hari, merasakan panas luar biasa di tangan kanannya, gadis kecil itu meringkuk di lantai, memeluk tangannya yang memerah. Panas sekali, air yang baru saja panas dari panci, saat Teresa hendak membantu Bibinya. Tiba-tiba saja Sofia datang, membawa satu gelas air panas, melihat sosok mungil yang nampak sibuk mencuci piring, berdiri di dekat kompor. Dengan sengaja menumpahkan air panas itu, mengenai lengan Teresa. Piring yang Ia pegang jatuh begitu saja, denting pecahan terdengar, Bibi Amari yang baru saja datang dari pasar mendengar teriakan Teresa. Berlari cepat menuju dapur, “Astaga!!” jerit wanita itu panik, menjatuhkan tas belanjaan yang Ia bawa, bergerak mencari air dingin di kulkas dan handuk kecil. “Apa yang Nyonya lakukan?!” Tanpa sadar membentak Sofia di sampingnya, dia hanya diam, berdiri angkuh dan menatap raut wajah Teresa. Berdecak kesal karena tidak melihat tangisan Teresa, gadis kecil itu hanya meringis, menggigit bibir bawah, membiarkan sang Bibi mengompres lengannya dengan air dingin. “Aku tidak sengaja,” jawab Sofia singkat. Tidak menyangka bahwa wanita di bawah sana berani menengadahkan wajahnya, dengan raut tertekuk. “Tumben sekali Nyonya sudah bangun pagi-pagi seperti ini? Bukannya Nyonya tidak suka masuk ke dapur terlalu sering?” tanya Bi Amari curiga. Melengos sekilas, tubuh ramping itu berjalan pergi tanpa menjawab pertanyaan sang Bibi. Menaruh gelas yang Ia genggam di atas meja. Membiarkan tatapan tajam wanita itu menelisik gerak-geriknya. Tepat saat Sofia berjalan keluar, Bibi Amari langsung mengoleskan salep di lengan Teresa, “Pasti perih ya, tahan Non,” Teresa menggeleng kecil, meringis sakit, “Hh, sakit, Bibi.” Mengernyitkan kedua matanya, Teresa tidak paham kenapa sang ibu tiba-tiba saja menumpahkan gelas berisikan air panas seperti tadi. Untung saja tidak mengenai kulitnya terlalu banyak. “Ssh, sebentar lagi pasti hilang, Non Teresa sekarang duduk saja ya, Bibi buatkan makanan enak,” Meniup lengan itu pelan, perlahan menghapus sudut air mata di pelupuk Teresa. Tidak perlu waktu lama, saat ibunya pergi dari dapur. Teresa merengut, menangis sekali lagi dan membiarkan Bibi Amari memeluknya, menepuk punggung menenangkan, “Ssh, jangan menangis,” Isakan demi isakan keluar, sejak hari itu, Teresa hanya bisa menangis di depan Bibinya saja. . . . . Sofia melihatnya sendiri, alisnya tertekuk tak suka. Saat dia pergi dan tangisan Teresa baru merembak, ‘Apa-apaan itu?!’ decaknya kesal. Mengepalkan kedua tangan, maniknya menyipit. Kenapa Teresa hanya menangis di depan Bibi Amari saja? Satu pertanyaan muncul.   “Apa aku harus meminta bantuan, Bibi?”    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN