Eits! Sebelum baca ada baiknya jika Kakak TAP LOVE DI SAMPING EPISODE dulu yaa. Satu Love kalian sangat berarti buat penulis/akuu :) ..
Halaman 8
.
.
.
Tangisan Teresa sangat susah Sofia dapatkan. Sudah hampir beberapa kali dia sengaja melukai gadis kecil itu, tapi bahkan untuk sekedar menunjukkan sedikit air mata saja, Teresa hampir tidak pernah! Teresa justru menahan semuanya, dan mencoba tersenyum saat berhadapan dengan Sofia.
Tidak hanya itu, mengetahui bahwa Teresa hanya mau menangis di depan Bibi Amari saja membuat sebuah ide licik terlintas dalam pikiran Sofia. Jika dia tidak bisa membuat Teresa menangis, mungkin Bibi Amari bisa membantu.
Memikirkan satu hal itu, Sofia langsung memanggil Bibinya setelah seminggu berpikir ulang. Melihat gerak-gerik Teresa yang tidak menunjukkan hasil sama sekali. Sofia pasrah.
Malam itu, tepatnya pukul sebelas. Duduk santai di sofa empuk sembari menyesap teh chamomile kesukaannya, manik Sofia menatap sosok paruh baya yang masih berdiri di sampingnya. Hanya ada mereka berdua di dalam ruang tamu.
“Duduklah, Bibi.” ucap Sofia singkat, Bibi Amari mengangguk tipis, “Iya, Nyonya.” Duduk tepat berhadapan dengan wanita itu, wajah Bibi masih setengah menunduk, entah kenapa perasaannya tidak enak. Apa lagi yang mau dilakukan Sofia, dengan memanggilnya ke sini malam-malam. Berdua saja tanpa ada pengganggu.
“Nyonya, mau bicara apa malam-malam seperti ini?” Saat ada jeda diantara mereka, Bibi Amari memulai percakapan. Setengah ragu menengadah, menatap bagaimana wanita di depan sana masih nampak santai menyesap minumannya. Sosok angkuh dengan penampilan gaun malam yang seksi.
Menyelesaikan kegiatannya, menempatkan kembali cangkir teh itu di atas meja, pandangan tajam itu menatap sang Bibi. “Baiklah, aku jelaskan saja secara singkat. Ini permintaanku satu-satunya, mungkin terdengar berat tapi ini demi kita semua.”
Salah satu alis Bibi terangkat bingung, “Apa maksudnya, Nyonya?” Masih tidak mengerti, Sofia mendengus sekilas, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Tubuh ramping itu perlahan bangkit dan berjalan mendekat, kali ini duduk tepat di sampingnya.
Berbisik, menggenggam kedua tangan sang Bibi dengan sengaja, “Bantu aku, Bibi. Kau tidak mau kan melihatku setiap hari melukai, Teresa?” Satu pertanyaan itu sudah cukup membuat tubuh Bibi menegang. Wajahnya mengeras, bergerak hendak menjauhkan kedua tangan itu dari genggaman Sofia tapi tidak bisa. Sofia mencengkramnya kuat.
“Ja-jadi memang benar, Nyonya sengaja melukai Non Teresa selama ini?!” Sedikit kaget bertanya, wanita di sampingnya hanya tersenyum tanpa rasa bersalah.
“Aku melakukan ini juga karena terpaksa, Bibi.” Memasang wajah pedih, menghapus air mata di pelupuknya. Sofia pura-pura menangis, “Hidup kami berada di tangan Teresa sekarang, hanya dia satu-satunya penolong keluarga ini.”
Penolong? Ingin sekali Bibi Amari tertawa, bagaimana mungkin wanita yang selalu melukai, mencaci maki ataupun melupakan keberadaan putrinya sendiri tiba-tiba saja mengatakan gadis itu adalah penolong bagi mereka? Sangat tidak masuk akal!
Menggelengkan kepala pelan, “Tolong jangan menyakiti, Non Teresa lagi, Nyonya. Non Teresa, sudah cukup tersiksa karena Nyonya dan Tuan Besar selalu melupakan keberadaannya.” Melepaskan salah satu tangannya, Bibi Amari menepuk d**a kencang.
“Dia sudah cukup menderita!” teriak wanita itu, memberanikan diri menaikkan suara di depan Sofia.
Seolah melupakan bahwa tempramen yang dimiliki oleh Sofia tergolong sangat cepat meluap, sosok yang tadinya menatap sang Bibi dengan wajah memelas perlahan berubah datar. Melepaskan genggamannya. Menyender pada sofa, masih tetap fokus menatap wanita paruh itu.
“Sejak kapan Bibi punya hak untuk menolak di rumah ini?” Suara Sofia berubah berat, tanpa ekspresi dan nada sangat dingin.
“Sa-saya hanya tidak suka-hmphh!” Sebelum menyelesaikan kalimat, Bibi Amari merasakan tangan jenjang itu mencengkram kedua pipinya keras. Tanpa ampun, tidak melihat bahwa umur mereka sangat jauh berbeda. Sikap sopan santun sudah lama Sofia buang jika berhadapan orang yang lebih rendah status dibandingkan dirinya.Terlebih lagi jika orang itu berani membantah!
Maniknya menatap nyalang, tajam dan dingin, “Sudah kubilang kan? Kau tidak punya hak untuk menolak di sini, Bibi Amari! Padahal aku berniat meminta tolong dengan halus padamu, tapi ternyata tidak berguna! Kau sudah cukup melewati batasmu!” teriak Sofia tanpa pandang bulu, tepat di hadapan sang Bibi.
Tubuh rapuh itu masih bungkam, berusaha melawan dengan kedua matanya, seolah bertarung melawan seorang medusa. Mata itu sanggup membuatnya beku dalam sekejap.
“Anak sialan itu sama sekali tidak mau menangis di depanku! Sejak kapan dia bisa bertahan melawan semua tindakanku selama ini?! Padahal dulu dia begitu cengeng!” Mengeluarkan semua kekesalannya.
Tubuh Bibi Amari gemetar, merasakan sakit akibat cengkraman paksa di kedua pipinya. Kuku-kuku lentik itu menusuk kulit, membuat sedikit ruam kemerahan di sana. Saat manik Sofia menatap nyalang.
“Kau hanya perlu membantuku. Buat anak itu menangis, apapun caranya! Aku harus bisa mendapatkan wajah menderita Teresa!! Paham?!”
Semakin kaget saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir ibu kandung Teresa sendiri. Saat putri kecilnya bermimpi bisa tidur bersama dan memeluk tubuh sang ibu, di sini Sofia malah ingin membuat Teresa menderita.
Tidak bisa menahan tangisannya, Bibi Amari memberontak. Menepis tangan lentik itu dari wajahnya, dengan air mata yang membasahi di pipinya. “Jangan pernah sekalipun anda membuat Non Teresa menangis!”
Wajah Sofia berubah kaget, mendapati pembantu rumah tangga yang selama ini selalu berbakti padanya, menaikkan suara bahkan melawannya! Hanya untuk membela satu gadis pincang saja?!
“Kau berani membentakku?!” tukasnya tak percaya.
“Aku mengatakan ini karena lelah dengan semua tindakan Nyonya! Non Teresa, sudah cukup menderita karena kalian, jangan buat dia lebih menderita lagi!” Tanpa aba-aba beranjak dari posisinya, berniat pergi dari sana. Sebelum sebuah tangan mencengkram kembali pergelangan sang Bibi.
“AKU HANYA INGIN KAU MEMBUATNYA MENANGIS! ITU SAJA!!”
Bibi Amari menggeleng kencang, menepis tangan Sofia cepat. Tidak tahu bahwa perkataan yang Ia keluarkan selanjutnya mampu memutar balik poros kehidupannya begitu saja. Tepat di hadapan Sofia mengatakan kalimat terakhirnya dengan gamblang.
“Asal Nyonya tahu, kalau selama ini Non Teresa tidak pernah menangis ataupun terlihat lemah di depan kalian semua.” Menarik napas dalam, menepuk dadanya sekali lagi. “Saya yang mengajarinya! Mana mungkin saya membiarkan Non Teresa menangis terus menerus karena tingkah kalian! Tolong jangan menyakiti Non Teresa lagi!”
Tidak mendengar jawaban dari Sofia, Bibi Amari menarik napas pelan. Mengakhiri kalimat tadi dengan desahan panjang. Tubuh paruh baya itu berbalik, berjalan meninggalkan ruang tamu.
“Maaf Nyonya, saya tidak bisa menuruti permintaan anda tadi.” ujarnya singkat. Sementara Sofia, masih meresapi tiap kata yang diucapkan Bibinya tadi.
Jadi selama ini-
“Ternyata Bibi yang selama ini mengajari hal tidak berguna itu pada, Teresa?” Mendesis pelan. Memandang ke arah pintu masuk ruang tamu. Saat tubuh Bi Amari sudah tak terlihat lagi di sana. Sofia mengambil cangkir di atas meja, tidak bisa menahan kemarahannya. Tanpa basa-basi melempar benda itu tepat ke arah dinding.
Meluapkan emosinya, “Sialan!! Kenapa dia tidak mau mendengarkanku?! Kalau saja wanita itu mengikuti kemauanku, aku tidak perlu melakukan hal ini!!” teriak Sofia.
.
.
.
Berjalan pelan menuju kamarnya, wanita cantik itu membuka pintu kamar cepat. Mendapati sosok sang suami duduk dengan santai di dekat balkon ruangan. Membaca koran sesaat, seolah mengetahui kedatangan istrinya.
“Bagaimana? Sudah kau temukan?” tanya Mark dengan nada singkat. Sementara Sofia mengangguk kecil, berjalan mendekati Mark. Tanpa aba-aba langsung duduk di pangkuan suaminya. Memeluk leher laki-laki itu.
“Ternyata Bibi Amari yang mengajari Teresa selama ini,” balasnya parau. Ada sedikit keraguan di sana, tapi langsung terhapus saat merasakan tangan besar itu mengelus pundaknya. Perlahan tapi pasti membuka satu kancing bra yang digunakan Sofia. Seringai tipis Mark kembali terpampang tipis.
“Hm, lalu? Apa dia mau mengikuti perkataan kita?” Menarik benda yang masih menutupi dua buah d**a sang istri. Melemparkannya entah kemana, menjauhkan tubuh Sofia singkat. Menatap wanita yang masih memasang wajah ragu.
“Dia menolaknya.”
Satu dengusan keluar, seperti perkiraannya selama ini. Tidak mungkin Teresa mendapatkan pelajaran dari orang di luar rumah ini selain Bibi Amari yang selalu setia menemani gadis mungil itu.
Bergerak menggigit salah satu gundukan milik Sofia, meninggalkan ruam kemerahan di sana, membiarkan istrinya mendesah bahkan meringis kesakitan saat merasakan gigi-gigi Mark dengan sengaja melumat paksa miliknya.
“Ahh-hati-hati, Mark!” Tidak bisa melawan, manik Sofia menyipit, melihat darah menetes dari salah satu dadanya, akibat gigitan Mark yang terlalu dalam.
Laki-laki itu malah menyeringai puas, menjilat tetesan darah itu sampai menghilang sepenuhnya, “Kau tahu kan apa artinya kalau wanita itu menolak permintaan kita?” Kedua tangannya mengurung pinggang ramping istrinya cepat. Memeluk dengan sangat kencang, sampai napas Sofia sesak karenanya.
“A-apa harus kita lakukan?” ucap Sofia menahan sesak napasnya, kembali merasakan sesuatu menggigit sebelah dadanya. Ia meringis perih, “Ma-Mark,” Hampir menjerit saat laki-laki itu menggendong tubuhnya, berjalan menuju tempat tidur. Membaringkan Sofia cukup keras,
“Kau sudah lama kan tidak mendapat service full dariku?” Membuka pakaiannya, menatap bagaimana wajah Sofia memerah, tidak bisa menahan diri dan mengangguk kecil. Karena stress memikirkan perusahaan mereka, Mark memang tidak bisa memenuhi kebutuhan batin mereka dengan baik selama beberapa bulan ini.
Saat tubuh tegap itu bergerak mendekat, memberikan beberapa ciuman, meninggalkan kissmark di sana, menghentikan bibirnya tepat di samping sang istri. “Aku membutuhkan uang itu secepat mungkin, apa menurutmu akan sempurna jika kita melakukannya malam ini?”
Sebelum menerima jawaban dari Sofia, Mark langsung menyerang tubuh istrinya, tidak memberikan kesempatan untuk berbicara atau menolak.
Malam ini, diiringi desahan wanita itu, Mark bertekad untuk mengakhiri kerja keras mereka selama beberapa bulan ini dengan satu peristiwa penting.
.
.
.
.
Pukul setengah dua belas malam- sebelum kejadian-
Sesosok wanita paruh baya perlahan masuk ke dalam kamar Teresa, ruangan yang kebetulan tidak terkunci. Teresa hanya akan mengunci pintu itu jika kedua orangtuanya meminta atau gadis mungilnya tengah meringkuk di sudut kamar dan menangis. Satu kebiasaan yang tidak bisa Bibi Amari hilangkan.
Dengan hati-hati membuka pintu, mengingat Teresa tidak suka dengan gelap jika kondisi hatinya sedang baik-baik saja. Hanya lampu tidur berwarna orange yang berpendar di sebelah tempat tidur gadis itu. Berjalan mendekat, duduk tepat di samping tidur Teresa.
Wajah tidur Teresa nampak damai, seolah tidak mengingat bagaimana beban hidup yang selama ini Ia tanggung di pundaknya selama beberapa saat. Kenapa gadis sekecil ini harus menanggung semua masalah yang tidak bisa Ia atasi, karena ulah orangtuanya sendiri.
Bibi Amari mengingat sendiri, bagaimana tingkah Sofia yang suka mabuk-mabukan saat dalam kondisi hamil besar, hanya karena stress dengan keuangan suaminya yang sedikit menurun. Beberapa kali mengingatkan wanita itu agar tidak membahayakan janin dalam tubuhnya, tapi apa daya Bibi Amari tidak punya kekuasaan apapun untuk melarang.
Hasil dari kesalahan Sofia, lemahnya Mark dalam menghadapi sang istri. Membuat Teresa harus lahir dengan kondisi seperti ini. Tersenyum teduh, mengelus lembut rambut kecoklatan itu sesaat, “Bibi, janji akan selalu ada bersama, Non Teresa. Anda harus tetap kuat apapun yang terjadi, tetaplah tersenyum Nona. Hadapi mereka dengan tawa, jangan biarkan dendam menguasai Nona,” ucap Bibi pelan.
Perlahan mendekatkan wajahnya, menundukkan tubuh, dan mengecup puncak kepala Teresa beberapa kali. Tanpa Ia sadari, wanita paruh baya itu meneteskan air matanya. Entah karena apa, Bibi Amari tersenyum tipis.
“Bibi sangat menyayangi, Nona Teresa.” Satu bisikan terakhirnya malam itu, menjadi pertanda sesuatu akan terjadi. Teresa meringsek dalam tidurnya. Merasa tidak nyaman, tapi saat ciuman lembut sang Bibi mengecup keningnya. Senyuman tipis mengembang di wajah manis gadis itu.
“Mimpi indah, Nona kecil Bibi.”
.
.
.
.
Pukul empat pagi-
Teresa tidak menyangka bahwa hari ini akan menjadi sejarah paling terburuk yang pernah Ia alami. Saat traumanya akan hujan perlahan datang, pagi itu Teresa meringsek dari tempat tidurnya. Bangun dalam keadaan baju basah oleh keringat dan wajah pucat. Telinganya mendengar suara rintik hujan dari arah balkon.
‘Mimpi buruk,’ batin gadis itu sembari terengah, merasakan sesak pada napasnya. Teresa reflek memegang jantungnya. Sekilas dapat Ia rasakan tadi sang Bibi mengecup kening Teresa lembut, mengucapkan selamat tidur. Apa hanya mimpi saja?
Menyibak selimut yang sejak tadi menutup tubuhnya, Teresa turun dari tempat tidurnya. Perasaannya tidak enak, jantung berdetak cepat, wajah pucat, sekilas bayangan Bibi Amari terngiang dalam pikirannya. Pertama kali Teresa bangun lebih cepat, kalau biasanya dia selalu bangun pukul lima atau enam.
Berjalan membuka pintu kamarnya, mengabaikan beberapa lampu telah padam karena sudah dipastikan Rasi ataupun kedua orangtua Teresa masih tertidur lelap. Dia hanya ingin menemui Bibi Amari, saat tidak bisa tidur biasanya Teresa pasti meringsek masuk ke tempat tidur wanita paruh baya itu.
Mengucek salah satu matanya, tubuh Teresa menegang saat mendengar suara petir menggelegar di pagi hari. Jemarinya memegang teralis besi, berjalan perlahan menuruni tangga.
“Bibi, pasti masih tidur,” gumam gadis itu yakin, setengah menguap. Merasakan semilir angin hujan masuk dari celah-celah jendela, dengan niat menuju kamar sang Bibi, saat kedua maniknya tak sengaja melihat pintu kolam berenang terbuka. Alis Teresa tertekuk bingung, merasa ada yang tidak beres.
Gadis itu mengurungkan niat dan lebih memilih untuk mengecek pintu di sana. Pintu yang menghubungkan ruang tamu dengan kolam berenang, melangkahkan kaki perlahan. Sinar rembulan malam ini menyembunyikan diri dibalik awan gelap. Hanya kilat petir yang memberikan sedikit cahaya bagi Teresa untuk terus mendekat.
Sedikit takut, maniknya mengerjap, menggigit bibir bawah ragu. Satu kilat terdengar keras, “Hya!!” Reflek menutup kedua telinganya dan menundukkan tubuh. Maniknya tertutup sekilas, Teresa masih penasaran. Kenapa pintu itu terbuka? Apa ada orang masuk? Pencuri-kah atau ada Bibi Amari di luar sana? Hujan-hujan seperti ini?
Tidak mungkin, memberanikan diri lagi tubuh mungilnya berjalan pelan, semakin mendekat, berdiri tepat di depan pintu menuju kolam renang dengan empat kaca bening yang memperlihatkan suasana di luar sana. Gelap, petir memberontak, dan kilat menyambar.
Membiarkan angin pagi menusuk tubuhnya, Teresa menggigil, beberapa bias dan tetesan air hujan mengenai wajah, memeluk tubuhnya sendiri. Teresa berjalan keluar, dengan tetap berteduh, dan membiarkan sedikit rambutnya terkena bias hujan.
Tepat saat kilat menyambar sekali lagi, memberikan cahaya menerangi pagi yang gelap selama beberapa detik. Saat kedua maniknya tak sengaja melihat sesuatu mengambang di atas kolam renang. Sesuatu yang cukup besar, menarik perhatiannya.
“A-apa itu?” Bibirnya gemetar, alis Teresa tertekuk. Tidak peduli saat kaki palsunya menapak turun, basah terkena genangan air, berjalan dalam gelap, membiarkan air hujan perlahan membasahi tubuhnya.
Satu kilat terakhir, memperjelas semua penglihatan Teresa kembali. Tubuhnya membeku, seolah lemas begitu saja, kedua manik itu membulat, berjalan semakin mendekat, saat perlahan semua otot-otot tubuhnya luruh dan hancur.
Bibirnya terbuka, mengucapkan satu nama yang terbayang saat melihat sosok di depan sana. Mengambang, tak bergerak sama sekali, masih setia menggunakan pakaian daster kesukaannya. Daster bermotif bunga, rambut hitam tergerai berantakan, menyatu dengan air kolam. Walaupun tidak bisa melihat wajahnya.
Teresa tahu, siapa yang kini berada di depannya. Mengambang tanpa nyawa di dalam kolam renang. Napas Teresa mendadak sesak, tubuh gadis itu terjatuh, kepalanya sakit, dingin menusuk, nyeri pada kaki palsu saat merasakan otot-otot kakinya menegang.
“A-aa-aa,” Hampir tidak bisa bicara, perlahan air mata yang selama ini Ia tahan keluar begitu saja, menyatu dengan air hujan.
Hei, Bibi. Kau pernah berjanji bahwa akan selalu ada di samping Tere, kan? Kau mencium kening Tere malam itu, mengucapkan banyak sekali doa untuk kebahagiaan Tere. Hanya Bibi tempat Tere menangis selama ini.
Kalau sekarang Tere ingin memeluk Bibi, merasakan hangat tubuh Bibi sekali lagi, menangis bersama, menyenderkan pundak dan mengadu sepuas hati Tere. Kekuatan Teresa satu-satunya. Kapan Tere bisa memeluk Bibi lagi?
Malam ini, wanita yang Ia sayangi, menyatu dan kembali pada Yang Maha Kuasa.
Pandangan Teresa kosong, air matanya keluar tanpa kendali, diiringi petir dan kilat yang menyambar. “AAAAAAA!!! BIBI!!!” Tangisan dan teriakan Teresa menggelegar. Mengalahkan suasana gertak guntur, teriakan pertamanya pagi itu, tetesan darah dari kaki menjadi jejak pertamanya sebagai saksi, melihat kematian orang yang sangat Ia sayangi secara langsung.
Trauma yang begitu besar menghancurkan hati Teresa. Bibinya telah pergi hari ini. Tepat saat usianya menginjak delapan tahun.
“HUAAAAAA!!! BIBI!!!!"
.
.
Tidak menyadari seseorang berdiri di dalam ruang tamu. Menggenggam sebuah kamera di tangannya. Seringai tipis nampak di wajah, setelah menantikan kesempatan ini begitu lama, satu foto sempurna berhasil Ia tangkap. Teresa menderita.
"Akhirnya aku berhasil mendapatkan tangisanmu, Teresa."