Hal. 6 Teresa Oriel ( Trauma )

2337 Kata
Halaman 6 . . . Orang yang aneh, Teresa pertama kali bertemu dengannya. Sosok laki-laki yang tidak bisa Ia lihat dengan jelas wajah itu, dia masih belum mengerti arti pertemuan mereka. Teresa hanya melemparkan senyum sopan yang sering Bibinya ajarkan, menundukkan tubuh. Teresa harus menjaga kesopanannya di depan semua teman-teman sang ibu. Ini pertama kalinya wanita itu mengajaknya pergi berdua saja, tanpa Rasi. Apa acara ini special untuk Teresa saja. Berpikir positif, tapi begitu mereka bertiga duduk saling berhadapan, saat pandangan laki-laki itu menelisik gerak-gerik Teresa. Satu pertanyaan aneh muncul, “Kenapa dia tidak menangis?” tanya sosok di depannya. Sofia mengerutkan kening bingung. “Maksudmu kau ingin melihat dia menangis? Jangan bercanda.” tukas wanita itu cepat. Sang laki-laki masih nampak santai, sekilas terkekeh, menyenderkan tubuh pada punggung sofa. “Wajahnya terlihat ingin menangis, tapi dia memaksakan diri untuk terus tertawa. Aku tidak suka itu.” Kali giliran Teresa yang mengerutkan kening bingung, walau umurnya baru menginjak delapan tahun. Pikiran Teresa sudah terbiasa mendengar kalimat penuh arti seperti itu, maksudnya dia ingin melihat Teresa menangis? Memberanikan diri untuk menjawab, sedikit gugup, “A-aku memang tidak ingin menangis, Tuan.” Ucap Teresa dengan nada pelan. Sofia mendengus senang, “Kau dengar perkataannya tadi? Jangan mengada-ada, selama ini dia hidup dengan baik bersamaku. Tidak ada yang kurang sama sekali, benar bukan Teresa?” Satu pertanyaan muncul, wajah ibunya berbalik menatap Teresa, dengan senyuman yang lembut, Teresa mengangguk semangat. “Iya!” Merasakan salah satu tangan sang ibu menarik pundaknya, memeluk tubuh Teresa begitu saja. Gadis itu makin senang, tanpa sadar menyenderkan diri pada d**a sang empunya, mencium aroma parfum milik Sofia. “Jadi bagaimana kesepakatan kita? Kau bisa mengatasinya kan?” tanya ibunya pada laki-laki itu, entah apa artinya Teresa tidak tahu. Sosok di hadapan mereka hanya mendengus, kedua manik yang tertutupi oleh topi dan rambut lebat itu menatap tajam. “Aku tidak tertarik, bukan wajah itu yang kuinginkan. Beberapa tahun lalu dia tidak seperti sekarang ini. Emosinya justru teratur, aku ingin melihatnya lebih kacau lagi,” Sofia mengerutkan keningnya aneh, “Ka-kau tidak normal?! Bagaimana mungin kau menginginkan wajah gadis yang menangis dibandingkan tersenyum seperti sekarang ini?!” Mengerang geram, mempererat pelukan pada Teresa. Seolah tidak ingin melepaskan gadis itu secara cuma-cuma, “Ibu?” Sedikit merasa sesak saat pelukan sang ibu sangat erat. Seolah tengah memeluk barang bukan manusia, Teresa berusaha keras menjauhkan tubuhnya, tapi tidak bisa alhasil dia hanya menahan napas selama beberapa saat. “Kau bisa membuatnya pingsan, Nyonya Sofia.” ucap laki-laki itu menyadarkan Sofia kembali, melepaskan pelukannya dan menjauhi Teresa. Pandangan Sofia masih menatap tajam laki-laki di depan sana. “Jangan memberikan persyaratan yang aneh. Cepat serahkan saja uangnya,” tukasnya dengan nada angkuh. Tawa menggema, wajah Sofia hampir memerah, menahan malunya di depan beberapa tamu tak jauh dari posisi mereka. Bisa Teresa lihat bagaimana kedua tangan sang ibu mengepal kuat, saat Teresa berusaha menenangkan wanita itu. “I-Ibu, jangan marah,” “Diamlah!!” Teresa justru mendapat bentak keras, tanpa menatapnya dan terfokus pada satu arah. Tubuh Teresa menegang, wajahnya berubah cemberut hanya sekilas, saat wajah itu menengadah, tak sengaja saling bertatapan dengan laki-laki di depannya. Sosok yang hanya memperlihatkan seulas senyum tipis. Wajah gusar Teresa berubah cepat menjadi senyuman lagi dan lagi. Menyembunyikan semua kesedihannya tadi dengan satu topeng senyum. “Hm, aku tetap tidak akan menerimanya, Nyonya.” Tidak ingin melanjutkan perkataannya lebih jauh, tubuh tegap itu beranjak dari sofa. Hendak berbalik meninggalkan Sofia. Sang ibu justru ikut berdiri, menghampiri sang empunya. Teresa menatap cemas, saat melihat wajah wanita itu nampak ketakutan dan tak terima. Bergerak memegang pakaian laki-laki itu, tidak membiarkannya pergi lebih jauh. “Jangan pergi!! Kumohon, berikan uangnya!! Ambil saja dia!! Kau bisa membuatnya menangis nanti!!” beberapa tetes air mata keluar dari pelupuk Sofia, wanita itu pasrah luar biasa. Bahkan tidak memperdulikan semua tatapan yang memandang sang empunya sebagai wanita sosialita tinggi harga diri. Sekarang lihatlah, tubuh angkuh dan ramping itu terjatuh, tangannya masih berpegang pada pakaian sang laki-laki. “AMBIL SAJA DIA!! TOLONG BANTU KAMI!!” Teresa ketakutan, kedua mata Ibunya nampak aneh, entah kenapa kalimat yang dikeluarkan wanita itu membuatnya tidak tenang. Apa maksudnya? Mengambil siapa? Apa yang mau diberikan ibunya pada laki-laki itu? Tetap duduk di sofa, tubuh Teresa menegang saat melihat Sofia berbalik menatapnya kembali. Kali ini dengan pandangan yang berbeda. Ia berdiri, menghampiri Teresa. Tanpa basa-basi menarik lengan putrinya kencang, “IKUT AKU!” Teriakan itu membuat Teresa takut, “I-Ibu, tanganku sakit,” Berusaha sekuat mungkin agar tidak merengut, dan menangis. Gadis kecil itu memasang topengnya sekali lagi, tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Apa yang diajarkan Bibi Amari selama ini padanya. Sofia melihatnya, mengerti apa yang dimaksud oleh laki-laki tadi. Menolehkan wajah tiba-tiba, ekspresi putrinya sangat berbeda dengan tiga tahun lalu. Teresa yang cengeng, selalu menangis dan merengek saat tidak mendapatkan keinginannya sekarang justru diam, mempertahankan satu senyuman dan suara kesakitannya. Teresa tidak menangis. Kedua manik Sofia menatap nyalang, berkilat penuh amarah, sifatnya berubah gila. “Kenapa kau tidak menangis?!!” teriak wanita itu kencang, genggamannya tadi dengan sengaja menyeret Teresa dan mendorong gadis kecil di dekatnya menjauh. Membuat Teresa jatuh ke lantai, berada tepat di samping sosok tegap yang masih berdiri menatapnya. ‘Tidak boleh menangis, tidak boleh menangis, jangan tunjukan air matamu,’ Kalimat itu terus terngiang di pikiran Teresa, menggelengkan kepala singkat. Teresa kembali tersenyum, mencoba berdiri dengan kekuatannya yang tersisa. Sofia geram, wanita itu kembali mendekat, bergerak menjambak rambut Teresa cepat. “Ah!! I-Ibu, sakit, rambut Tere jangan ditarik!” Merasakan sakit yang amat sangat, tangan lentik dengan kuku panjang itu seolah menyambet bagian kulit kepalanya. Teresa hampir menangis, “Ibu sakit, kuku-mu melukai kulit, Tere,” Sekilas merengek, senyuman mengembang muncul di wajah Sofia. “Lihat?!! Dia sudah menangis! Jadi berikan uangmu padaku!” teriak Sofia senang, Teresa sama sekali tidak mengerti maksudnya. Gadis itu hanya mencoba menahan tangisannya berulang kali. Sakit sekali, pesta yang Ia harapkan berakhir bahagia. Bergandengan tangan ibu dan Rasi, tertawa bersama. Menikmati santapan yang nikmat dan manis, dengan alunan lagu menenangkan. Teresa mengira semua hal itu bisa Ia rasakan hari ini. Tapi apa yang Ia dapatkan? Banyak sekali cobaan, Teresa hampir tidak kuat. Air matanya menggenang di pelupuk, kedua tangan mungilnya mencoba melepaskan tangan besar itu dari kepala dan rambutnya. Satu-satu hal yang Teresa banggakan, rambut berwarna kecoklatan, mirip dengan kedua orangtuanya. Satu hal yang memberikan bukti bahwa dia adalah salah satu bagian dari keluarga Mataniel. Sakit sekali, ibu. “Ibu, sakit, rambut Tere.” rengutnya menahan perih, Sofia masih tidak peduli. Pandangan wanita itu hanya tertuju pada satu orang. Laki-laki yang tegap berdiri di depan sana. Seulas tipis senyum tadi menghilang di wajahnya, aura yang dingin keluar. Mengucapkan satu kalimat yang sanggup membuat Sofia lemas, “Aku masih tidak menginginkannya, Nyonya. Berikan lagi foto yang lebih sempurna dibandingkan hari ini, dan kuanggap semua hutang perusahaan suamimu lunas.” Berbalik dan meninggalkan ruangan, mengakhiri kalimatnya begitu saja. Cengkraman sang ibu pada rambutnya terlepas, tubuh wanita itu langsung lemas. Teresa tidak suka, maniknya menatap khawatir, menghampiri ibunya. “I-Ibu, tidak apa-apa?” tanya Teresa sedikit takut. Wanita itu masih diam, pandangannya nampak kosong, tepat saat kedua tangan Teresa menyentuh pundak, menggerakkan tubuh Sofia. Mendapatkan kembali nyawanya, manik nyalang sang empunya langsung bergerak, menatap putri sulung di dekat Sofia. “I-Ibu,” Menangis, mengeluarkan semua air mata yang tersisa di pelupuknya. Pesta impian Teresa hancur, dibarengi dengan sebuah tamparan kuat yang menyerang salah satu pipinya. Kuku lentik sang ibu meninggalkan luka, segaris tipis yang perlahan mengeluarkan darah dan ruam merah di sana. Suara tamparan bergema kencang, mengagetkan beberapa orang di dekat mereka. Teresa membeku, maniknya membulat, menatap sosok wanita yang perlahan bangkit kembali. Mata yang nampak nyalang dan tajam, “Anak tidak berguna!! Kau benar-benar pembawa sial!!” Umpatan itu terdengar nyaring. Wajah Teresa menengadah, menahan rengutan wajah dan tangisannya. Saat tetesan darah itu menggantikan air matanya, salah satu tangan mungil Teresa bergerak menyentuh pipi yang terluka, perih dan sakit. Aroma anyir darah seolah sudah menjadi temannya selama ini. Tubuh ramping itu berbalik meninggalkannya tanpa kata-kata, keluar dari ruangan. Sementara di sini, Teresa masih duduk dan diam, mencerna setiap kalimat yang diucapkan ibunya. Anak tidak berguna dan pembawa sial? Pelan tapi pasti Teresa mengerti artinya. Beberapa orang menghampiri Teresa, menanyakan kondisi gadis itu, tapi saat mereka melihat celana panjang Teresa tersingkap, memperlihatkan kaki palsunya yang nampak jelas. Pandangan khawatir itu berubah jijik dan aneh. Satu pikirannya kembali terulang, ‘Ah, mereka juga sama saja.’ Semua orang yang Ia temui hanya melihat Teresa dari luarnya saja, tanpa mengetahui seperti apa kondisi Teresa yang sebenarnya. Sudah berapa tahun semenjak tetesan air matanya mengering, berhasil melawan semua emosi yang Ia punya, dari semua kejadiannya ini Ia belajar lagi dan lagi. Mengerti bahwa tidak ada yang bisa Teresa percaya di sini. Bahkan saat harapannya kembali muncul saat sang ibu mengajaknya ke tempat ini. Ekspresi gadis itu berubah dingin sekilas, tanpa senyuman, membiarkan darah itu menetes dari pipi. Berdiri tidak peduli saat semua orang bergerak menjauh dan menatapnya jijik. Teresa lelah. . . . Teresa tidak tahu bahwa hari itu juga, dia sudah kehilangan semua ketenangan yang selama ini Ia dapatkan. Mendapati sang ibu meninggalkannya di dalam pesta dan pulang bersama Rasi. Teresa hanya bergantung pada seseorang yang menawarkan diri untuk mengajaknya pulang. Itu pun mereka tidak tahu kalau dibalik celana panjang dan sepatu yang Ia gunakan, tersembunyi kaki palsu yang begitu menyedihkan. “Terimakasih, sudah mengantarkan saya pulang, Tuan.” ucapnya tersenyum sopan. Di depan kedua orang yang masih diam di dalam mobil, mereka mengangguk kecil. “Tentu saja, Nona manis. Sampaikan salam kami pada Nyonya Sofia dan Tuan Mark, oke?” “Baik,” Tubuh Teresa berbalik, berharap kalau mobil mewah itu segera pergi dari sana. Tapi tidak, Ia justru mendengar kalimat yang keluar dari bibir mereka tanpa sengaja. Dua orang yang berbisik dengan suara keras, membicarakan Teresa, “Setahuku keluarga Mataniel hanya punya satu putri saja ‘kan? Rasiel Ainsley, lagipula pakaiannya juga tidak mewah dan nampak biasa.” “Mungkin dia hanya anak pembantu yang mengikuti Nyonya Sofia ke pesta dan berakhir ditinggal di sana sendiri, kasihan.” Teresa mendesah panjang, masih memasang senyumannya. Gadis itu membalikkan kembali tubuhnya, menatap kedua orang itu dan menunduk sekilas. Mereka terkejut, langsung saja menutup kaca, tanpa basa-basi meninggalkan Teresa sendiri. Di bawah langit gelap yang menyembunyikan sinar matahari siang ini. Teresa reflek memeluk tubuhnya sendiri, merasakan udara dingin perlahan merayap masuk menusuk tulang. Dia harus segera masuk ke dalam kamar. . . . Tidak ada yang menyambutnya saat itu, Teresa mencari keberadaan Bibi Amari di dapur tapi wanita paruh baya itu tidak ada juga. Menghela napas sekali lagi, Ia hanya berjalan menuju kamar, Teresa ingin berbaring dan tidur. Tepat saat kaki itu hendak melangkah naik ke lantai atas, suara teriakan sang ibu terdengar melengking. Beberapa pecahan kaca terdengar kencang membentur lantai. “Kenapa kau mengurus satu hal itu saja tidak bisa?!!” Kali ini dibarengi teriakan ayahnya. Teresa takut, “Kau sekarang menyalahkanku?!! Setelah apa yang terjadi sekarang ini karena tindakanmu, Mark!!” Mereka saling melempar teriakan, Teresa ingin pergi dari sana. Masuk ke dalam kamarnya, tapi entah dari mana dia mendapatkan keberanian untuk melangkahkan kaki berjalan menuju kamar ayah dan ibunya. Jantungnya berdetak kencang, apa benar ini ide yang bagus? “Kau tidak tahu kalau aku sampai berlutut di depan laki-laki itu!! Hanya untuk menutupi kesalahanmu, Mark!! Harga diri yang kujunjung sejak dulu harus hancur!! Aku harus memohon berkali-kali!!” teriak Sofia menggema, Teresa makin penasaran. Berjalan mendekat, tubuh mungil itu menyembulkan wajahnya, melihat apa yang terjadi. “Kau mengatakan ini salahku?!! Kalau memang ini salahku, lebih baik aku mati saja!!” Manik Teresa membulat, melihat kamar orangtuanya nampak kacau berantakan, penuh pecahan beling bahkan kaki ibunya pun terluka. Teresa khawatir, apa ibunya baik-baik saja? Satu pertengkaran yang hebat, begitu mendengar kalimat mati dari istrinya. Mark perlahan luluh, wajah mengerasnya berubah lunak, bergerak memeluk tubuh Sofia, membiarkan wanita itu menangis kencang. Tangisan yang diikuti dengan umpatan, menyebut Teresa berulang kali, “Kenapa dia bisa terlahir seperti itu?!! Apa ini salahku?! Hidup kita hancur semenjak gadis itu lahir ke dunia ini!! Hidup kita yang sempurna!” Mark memeluk erat istrinya, menggeleng kecil, “Ini bukan salahmu, takdir anak itu yang membuatnya seperti itu!!” serunya membela Sofia. “Sekarang kita harus memikirkan cara lain agar laki-laki itu mau mengambilnya, setidaknya untuk kali ini kita harus membuat Teresa berguna.” Apa yang harus Teresa lakukan, saat usianya delapan tahun, tidak sengaja mendengar semua percakapan Ibu dan Ayahnya. Mengerti dengan jelas maksud wanita itu. Tangisan Ibunya yang seolah menyesal telah melahirkannya. “Tapi gara-gara dia, semua teman-teman di pesta mengejekku ibu yang cacat!! Gara-gara dia, semua orang menertawakanku di belakang!! Kenapa dia tidak seperti Rasi!! Cantik dan sempurna!!” Menangis dan menyesal, memeluk tubuh suaminya. “Apa salahku sampai Tuhan memberi kita anak cacat seperti itu!!” Bukannya memarahi perkataan istrinya, sosok tegap itu justru menenangkan. “Jangan menyalahkan dirimu seperti itu. Dosa Teresa mungkin dulunya terlalu besar sampai-sampai Tuhan melahirkannya cacat.” Tubuh Teresa menegang, dia lahir karena dosa? “Tapi tetap saja, dia mempermalukan nama keluarga kita!! Kalau tidak ada Rasi entah bagaimana kehidupan kita,” ucap Sofia merutukinya berkali-kali. Tidak ada yang membela atau sekedar berbelas kasihan melihat kondisinya. Mereka justru menyalahkan kelahiran bayi polos yang tidak tahu apa-apa. Melemparkan kesalahan yang mereka buat. . . Hei, ayah-ibu. Aku merelakan diriku ditusuk ribuan besi berkali-kali saat usiaku satu tahun. Aku rela menahan rasa sakit meskipun kalian tidak ada di sampingku. Kali ini pun, aku kembali merelakan. Aku mulai mengerti semua tingkah laku kalian padaku jauh berbeda pada Rasi. Berbicara, merutuki, menghujat- Air mata Teresa jatuh saat itu juga, mengerti dengan baik maksud perkataan orangtuanya. Tangisan yang Ia tahan selama ini, hancur karena perkataan kedua orang itu. Hatinya hancur. . . “Kita harus membuat anak itu tersiksa apapun caranya!” Satu hal yang mampu membuat Teresa tersiksa adalah perkataan ayah dan ibunya. Tapi mereka tidak tahu. Saat tubuh Teresa berbalik meninggalkan tempat itu, pembicaraan yang tidak bisa Ia dengar lagi. Satu poros hidupnya kembali menghilang. Perasaannya hancur berkali-kali. Pedih menahan tangisan, “Dia benar-benar menginginkan tangisan Teresa, hanya itu saja?” Sofia mengangguk kecil, menggigit bibirnya ragu, “Anehnya aku baru sadar kalau selama beberapa tahun ini, kita tidak pernah mendengar tangisan Teresa. Kira-kira dimana letak permasalahannya? Aku ingin tahu siapa yang mengajarinya hal tidak berguna seperti itu,” tukas wanita itu ketus. Tangisan Teresa yang sebenarnya, kalimat itu terngiang terus menerus di otak Sofia. Bagaimana caranya mengembalikan tangisan itu dan mendapatkan wajah menangis Teresa yang sempurna? Mark kembali berpikir, sembari memeluk tubuh istrinya, memandang ke arah jendela kaca yang memperlihatkan langit gelap hari ini. Suasana hatinya berubah kelam, manik itu menyiratkan satu keinginan yang harus dipenuhi secepat mungkin. Satu keserakahan perlahan muncul dalam dirinya. “Kita harus menemukannya,” Tepat saat suara baritone itu mengatakan keinginannya, Sofia menengadah. Beriringan dengan gemertak guntur yang menghiasi langit, tidak ada cahaya dalam ruangan mereka. “A-apa maksudmu?” “Temukan orang yang mengajari Teresa dan bunuh orang itu.”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN