Chapter 7

1693 Kata
Kicauan burung menyambut pagi hari pertama mereka di lingkungan baru beralam asri. Belum ada niatan memulai susunan acara yang sudah dibuat. Berhubung kegiatan ini di adakan oleh mereka sendiri, dengan santai remaja-remaja itu mengantri untuk aktivitas pagi, yaitu mandi. Disaat yang lain sibuk mengantri dengan beberapa omelan karena menunggu terlalu lama, lain dengan Gladys yang sudah rapi. Dengan pakaian serba panjang, rambutnya di bagian depan ia jepit ke belakang. Ujung rambut sepunggungnya ombre Greenish Blue. “Lo kapan mandinya, Dys? Kok gue gak tau.” Nadia menyisir rambut di depan cermin berukuran kecil yang ia bawa. “Lo aja yang bangunnya lama.” beberapa saat kemudian Lita dan Eva masuk ke dalam tenda. “Kribo mandi kayak semedi. Dipikir punya sendiri kali!” “Apa sih lo Va, baru dateng udah sewot.” komentar Nadia. “Si Kribo Nad, gue lagi kesel banget sama tuh sarang tawon.” “Bener. Eva masing mending dari gue. Gue nih yang mandi sebelum dia, anjir! Gue belum selesai keramas pintunya mau di dobrak coba. Taik banget kan?” Nadia terbahak bahkan Gladys yang memperhatikan air muka kedua orang itu menarik sudut bibirnya tersenyum kecil. “Jadi di dobrak gak tuh?” “Ya kagak lah. Gila aja gue telanjang di liat banyak orang.” “Yah... kagak seru dong,” ucap Nadia cemberut. Mendengar itu ingin sekali Lita mencomot bibir temannya itu untuk di lempar ke pembuangan akhir. Kurang ajar memang. Setelah semua sudah rapi, keempatnya keluar tenda bergabung dengan yang lain. “Pagi...” Gladys lupa. Inilah kesialannya mengikuti camping. Mengabaikan Satria, gadis itu menuju tempat pembuatan minuman hangat. Gadis itu mengambil gelas dan kopi saset yang tersedia. Fyi, ia lebih suka rasa kopi ketimbang teh ataupun lainnya. “Aku juga mau dong,” Satria menumpukan satu tanganya di meja sambil memperhatikan gadis di depanya yang sedang mengaduk kopi. Dari samping begini, lagi-lagi Satria terpesona akan sosok Gladys. Apalagi ketika jari jemari putih itu meraih satu gelas lagi. Satria tersenyum senang. Tanpa kata Gladys menyodorkan gelas berisikan kopi yang kemudian diterima Satria. “Surga pagi dibuatin kopi sama bidadari. Makasih,” Gladys menyeruput kopi yang terlebih dahulu ia tiup menghiraukan Satria. “Ngomong-ngomong, kok bisa disini sih? Hm? Bukannya waktu aku ajak, kamu nolak?” ucapnya bernada menggoda. “Terpaksa.” Gemesin banget sih, anak orang. Menoleh kanan lalu ke kiri, Satria mengamati situasi. Orang-orang terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Memangkas jarak hingga bibirnya berada dekat samping telinga Gladys, Satria mengutarakan apa yang sedari tadi cowok itu ingin bilang. “Cantik.” bisiknya pelan. Menarik diri, senyumnya kembali terbit. “Boleh minta tolong?” “Hm...” “Singkirin tangan lo dari rambut gue.” gerakan tangan Satria yang memilin rambut halus itu terhenti seketika. Mengepal tangan lalu menggaruk tengkuknya kikuk. Ketahuan deh. Leo mengkoordinir yang lainnya berkumpul guna memulai permainan pertama. “Oke guys, sebelum kita mulai, gue minta kalian buat kelompok yang terdiri dari sepuluh orang.” “Inget, cewek sama cowok kalo masih tersedia, jumlahnya harus sama.” ingatnya. Semua mulai sibuk mencari teman. Gladys, Lita, Eva dan Nadia baru hendak melangkahkan kaki hingga kedatangan lima cowok mencegah mereka. “Ok. Gladys sayang, Leo, Nadia, Eva, Lita, Satria, Evan, Fahri and Juliantai.” sebut Leo sambil ikut dicatat ke buku note kecil di tangannya. “Ngegas aje lu kripik.” cibir Julian. Memastikan semua sudah mendapatkan kelompok, Leo berdiri di tengah-tengah memberitahukan susunan semacam lomba. Pertama diawali dengan mengirimkan lima perwakilan tiap grup untuk lomba meng-estafet kelereng. Dari orang pertama dengan orang kedua diberi jarak delapan meter, pun begitu hingga orang kelima. Mengapit ujung lancip sendok di antara kedua bibir, diletakkan benda bundar kecil di atas sendok cekung. “Yey!!!” ketiga teman Gladys bersorak kala permainan pertama dimenangkan oleh mereka. Beralih ke permainan kedua. Yaitu memasukan paku yang diikat dengan benang putih kemudian dililitkan dipinggang oleh perwakilan. Untuk yang ini hanya membutuhkan tiga orang. Dan Gladys yang bersidekap, lagi-lagi hanya menggelengkan kepala ketika pekikan ketiga temannya terdengar. Semuanya berlanjut ke permainan makan kerupuk, bola yang diapit diantara dua dahi, sampai lomba tarik tambangpun mereka lakoni. Ketiga teman Gladys sangat bersemangat mengikuti lomba. Selain merasa bebas, ketiganya terutama Lita sangat-sangat ingin memenangkan lomba ini. Leo bilang, bagi kelompok yang mendapatkan poin tertinggi, mereka akan mendapat reward, yaitu makan tanpa antri, bebas dari memasak, dan yang paling penting, diutamakan ketika hendak mandi. Garis bawahi reward terakhir. Karena itulah ketiga cewek itu sangat antusias dan berambisi ingin menang. “Sekarang kita main who is dare.” “Ini mainnya satu lawan satu. Caranya kayak ngobrol biasa tapi ada unsur saling menjatuhkan. Di permainan ini kalian bebas pakai kata apapun. Intinya kalo kalian udah merasa cukup dengan ucapan lawan yang menjurus ke rahasia yang menurut kalian pribadi banget, kalian bisa nyerah, and say stop. Dan otomatis lawan kalian itu menang. Paham?” Serentak mereka menyahuti mengerti. “Siapa nih yang maju?” tanya Leo pada kelompoknya. “Gue enggak ah.” undur Nadia yang diamini pula oleh Lita, Eva dan Julian. Jujur, mereka lelah karena sedari tadi, semua lomba didominasi oleh keempatnya. Gantian maksudnya. “Lah, terus siapa dong? Gue gitu? Yang ikut ini itu cocoknya cewek. Cewek kan tukang gosip. Pasti taulah aib mereka.” tidak mengelak perkataan Leo, mereka memikirkan kira-kira siapa yang harus dikorbankan disini. “Biar gue aja.” sontak atensi semuanya tertuju pada asal suara. “Lo yakin, Dys? Maksud gue—” ucap Lita terputus. “Ya udahlah. Tapi lo jangan terlalu maksain ya, Dys. Kalo mereka ampe manfaatin ini buat jelek-jelekin lo, kita maju saat itu juga.” Meskipun gue yakin lo bisa hajar mereka sendiri. Lanjutnya sendiri di dalam hati. “Iya, Dys, tenang aja. Lo punya kita.” angguk Eva. Rival pertama, Melisa. Tidak sekelas tidak juga sejurusan. Cewek dengan rambut nyetrik merahnya duduk dengan senyum meremehkan. Tentu saja ia senang mendapat lawan sejenis Gladys. Cewek dengan segudang pelanggaran di sekolah, pasti mudah menjatuhkan mentalnya. Kapan lagi punya kesempatan bagus mencaci maki ratu jahat itu? “Apa kabar Gladys?” Permainan di mulai. “Gue muak deh, liat muka lo. Mau tau gak gosip di kelas gue tentang lo?” “Parasit sekolah, ular berbisa, aibnya Pradana, lo juga sejenis b***h kesasar kalo di sekolah.” “Ngajak ribut tuh cewek.” Nadia mencegah Lita yang hendak beranjak. Cewek itu hendak protes dan dengan tegas Nadia menggeleng. “Sok jadi ratu pengusa, lo pikir lo siapa?” suara Melisa mengeras. Gladys hanya melipat tangan dengan kaki kanan diatas kaki kirinya. “Kenapa lo benci gue?” tanya Gladys santai. “Oh, lo mau gue kasih tau ke semua orang kalo selain sampah masyarakat, lo juga pelakor ulung?” Melisa mengedarkan pandangan. “Asal kalian tau yah, gue pernah putus sama cowok gue karna dengan mata kepala gue sendiri, gue liat dia ti—” “Dahlan Anwar. Bokap lo, kan?” Gladys menatap Melisa lurus. “Manager keuangan yang baru-baru ini tertangkap karna kasus korupsi. Am i right?” wajah Melisa berubah pias. Gladys menarik sudut bibirnya. Gadis di depannya ini tidak tahu caranya bermain. Hanya berbicara omong kosong. Memilih menghantamnya dengan fakta palsu. Dia pikir dengan dijelekan di depan umum seorang Gladys Ignacia akan ciut? Bodoh. “Stop.” Melisa berdiri. “Dasar tukang fitnah!” tunjuknya pada Gladys dan pergi. Semua bahkan Leo sempat tercenung, mencerna apa yang baru saja terjadi. “Ekhem, berarti yang stay, Gladys, ya. Kita lanjut, dari kelompok selanjutnya.” Kali ini yang maju adalah cowok. Dari luar sudah terlihat urakan dengan cengiran sok cool nya. Tatapan cowok itu tak terlepas dari Gladys sedetiktpun. Setelah sampai di samping kursi yang disediakan, gerakan hendak duduknya terhenti oleh ucapan Gladys. “Jam tangan lo, mahal ya.” cowok itu meneguk ludahnya kasar dan menyorot waspada pada Gladys. “Kenapa gebetan lo jadi tiba-tiba buta? Jam karet harga lima rebu dibilang mahal.” celetuk Julian di samping Satria. “Kebelet pipis tadi malem, gue liat ada orang di semak-semak lagi ngirup—” “Stop!” tergesah-gesah cowok itu langsung pergi. Semua orang kembali cengo. “Nad, si Gladys nyewa detektif?” bisik Lita. “Kenapa lo mikir gitu?” “Dia tau semuanya, njir.” melirik Lita yang terlihat serius, yang kemudian Nadia hanya mengangkat bahu sebagai balasan. Seperti sebelumnya, Leo kembali angkat bicara untuk melanjutkan game who is dare ini. Tetapi ketika mempersilahkan orang selanjutnya, semua hanya diam tak ada niatan beranjak memenuhi tantangan Leo. Berulang kali Leo membujuk. Namun mereka malah saling lempar tatapan yang kemudian berangsur pergi dari area game. Meski terlalu dini mengakhiri, karena sudah tidak ada lawan, otomatis game ini selesai dengan Gladys keluar sebagai pemenang. Leo sendiri bingung harus senang karena kelompoknya menang, atau justru tidak enak hati karena game yang ia usulkan ini malah membawa kecanggungan. Entahlah. Beralih ke permainan selanjutnya. Ini semacam mencari jejak pada pramuka. Tiap regu dibekali selembar kertas berisikan peta, yang apabila terdapat tanda seru pada sebuah tempat, itu menandakan ada benda yang harus mereka ambil. “Walau poin kita paling banyak, tapi tetap kalah kalo sampai kelompoknya Raihan menangin game ini.” tutur Leo. Mereka bersembilan berjalan menelusuri jejak yang ditunjuk peta. “Yaudah. Kalo gitu, kita harus menang dong.” dengan napas terengah Eva merepet. “Diem aje lo bang Sat. Kenapa?” Menjeling sebentar ke Julian, Satria lalu menggidikan dagu ke depan. “Doi bikin lumer.” “Suit-suit... cewek cantik kalo keringetan keliatan sesuatu banget ya bro?” Satria berdengus geli. Terdapat tujuh posko yang masing-masingnya terdapat benda clue berbeda-beda. Setelah satu jam lamanya mengitari hutan, akhirnya Gladys dan teman-temannya tiba di posko ke tujuh. Dilihat dari keadaan, sepertinya mereka adalah kelompok pertama yang tiba. Di bawah pohon rindang, mereka mendapati sebuah koper kecil. Sontak mereka mendekati koper berwarna hitam tersebut. Satria berjongkok mencoba membuka benda itu. “Gak bisa di buka. Pake kode kayaknya.” “Emang. Awalnya gue yang bikin. Tapi karna gue ikut main, pass-nya diubah sama yang gak ikut.” “Eh, ada clue-nya nih.” mereka refleks melihat petunjuk baru yang ditemukan Evan tak jauh dari koper. “A sama dengan N?” “Ada lagi noh. Kata kuncinya Win. Apa ini sandinya?” “Ye... ya kali passwordnya di kasih tau.” “Coba aja dulu. Eh, ono bukannya pake angka?” Nadia meralat. “Eh kripik, lo kasih jalan keluar kek. Gak ada gunanya lo!” cecar Julian yang diplototi ganas oleh Leo. Leo maju mencoba membuka koper. “Cariin huruf W, I sama N itu abjad keberapa?” “23914.” tanpa tahu siapa yang menjawab, Leo memasukan angka-angka itu. Ternyata nomor tidak valid. “Gimana dong ini? Masa kita gagal diakhir sih.” “Bentar,” Leo kembali memasukan lima angka berbeda dari yang tadi. Dan lagi-lagi nomor yang dimasukan salah. “Emang tadi nomor apa?” “Abjad nama gue.” dengan polos Leo menjawab. “Si gogok. Lo pikir lo siapa sampe mereka pake nama lo? b**o dipelihara. Kambing noh, bisa beranak!” rutuk Julian yang disetujui yang lainnya. “Makasih pujiannya. Tapi, btw kita tinggal punya satu kesempatan lagi, lho. Hehehe... maaf.” “See?! Bener gila!” Klek! Bunyi benda terbuka itu membungkam mereka. “A sama dengan N. Artinya 0 sama dengan 13. WIN sama dengan JVA. Karna setelah N gak ada huruf lagi, tinggal ditambah angka nol. 92100.” setelah mengatakan itu Gladys pergi meninggalkan mereka yang melongo ditempat. “Nad, kayaknya gue salah tentang Gladys nyewa detektif.” ucapnya masih dengan raut cengo. Mereka berdelapan yang bahkan Fahri pun terheran-heran dengan penjelasan cewek itu. “Terus...” “Gue sekarang malah curiga,” menoleh pada Nadia. “Jangan-jangan...Gladys itu detektifnya?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN