Dua bus sudah stand by di depan warung Lang Togar yang tak jauh dari SMA Pradana.
“Lang, jadi semua berapa?” Leo. Cowok terkenal tajir seantero Pradana.
Pria kurus memakai peci hitam dari dalam warung mulai menyebutkan apa saja yang sudah di makan oleh para anak muda berjumlah kurang lebih seratus itu.
“Semuanya jadi empat ratus lima puluh tiga.”
Leo membuka dompet kulitnya dan mengambil lima lembar uang pecahan seratus.
“Mantep nih punya bos!”
“Yoi. Sering-sering Yo traktik gini. Kan seneng gue,” cowok beralis tebal dengan balutan jaket jeans itu hanya tersenyum remeh menanggapi perkataan teman-temannya.
Mereka berkumpul sesudah Asar di hari kamis ini. Sesuai rencana, camping yang telah mereka susun khusus kelas duabelas, dengan bus yang juga sudah dikondisikan dari tiga hari lalu.
Awalnya camping ini dicetuskan oleh IPA 2. Dari mulut ke mulut memberitahu rencana kelasnya, membuat anak kelas lainpun turut tertarik dan mengajukkan hal yang sama hingga mereka berunding. Karena tidak terlalu banyak yang berminat, merekapun memutuskan untuk pergi rombongan saja. Dan akhirnya, ini menjadi agenda tak wajib.
Setiap kelas yang terdiri dari bidang IPS, IPA dan Bahasa yang setiap jurusanya di pecah menjadi empat keseluruhannya itu mencapai 430 orang. Dan yang saat ini hanya sebagian kecil dari mereka yang mungkin tak punya hiburan weekend di tambah satu hari berikutnya tertanggal merah di kalender.
Setelah semua orang yang terdaftar sudah hadir, mereka segera masuk ke dalam bus mengambil tempat duduk. Tak lama dari itu, ketiga bus pun melaju menyisiri jalanan sore.
“Selamat sore, semua!” Julian setengah berdiri memutar badan kebelakang.
“Saking lama kita gak ketemu, lo-lo udah pada gede, ya. Pangling gue.”
“Si b**o, hampir semua kita di sini sekelas kalo lo lupa.” cibir salah seorang perempuan duduk di kursi ketiga dari tempat Julian.
“Becanda kali Dar. Sensi aja. Makin cantik, gue cipok emang boleh?” ruang di bus menjadi penuh kekehan geli ketika Dara melempar bengkuang mendarat tepat di jidat putih yang kini pemiliknya meringis kesakitan.
“Marah gue sama lo, ah!” Julian merengut pada Dara yang membuang muka. Berdehem sebentar, Julian berbicara kembali.
“Oke. Teruntuk teman-temanku yang tamvan dan syantik, gue saranin dari pada kita diem-diem anget t*i ayam gini, mending kita nyanyi. Atau untuk cewek-cewek mau private kelon? Mumpung lagi free, nih.”
'Huuuh'
Seru mereka riuh. Julian memang kamus penyebar racun. Bahasanya itu lho. Ngawur.
“Ya sudah, ya sudah. Gue tau gue ganteng, tapi jangan segitunya guys. Selow aja, selow.” ucapnya dengan wajah minta di tikam.
“Jadi, ready to singing?”
'Ready....'
“Syuuuut,” isyarat Julian menimbulkan tanya geli pada setiap wajah.
Puk-Puk-Puk
Tangan Julian menepuk tiga kali perut milik lelaki yang duduk di belakangnya. Keadaan yang hening dengan intruksinya, menjadikan suara yang tidak terlalu keras itu terdengar oleh yang lain.
“Sebagai pemula, harus diresmiin dulu pake goong berjalan.” tawa semuanya mengumpul menjadi satu. Sedangkan si objek, yaitu cowok berbobot besar tadi terbangun akibat keributan mereka.
“Kenapa? Ada apa?” cowok itu gelagapan sendiri.
“Gak ada apa-apa. Mending Dilanku sayang, lo ikut kita nyanyi aja.” kata Julian yang disetujui begitu saja oleh Dilan.
Lalu mereka mulai bernyanyi dari satu lagu ke lagu lain. Dari lagu yang lagi ngetren, hingga lagu kanak-kanak. Merasa tugasnya selesai, Julian kembali ke posisi duduknya semula. Menoleh ke samping, Satria sibuk memainkan ponsel.
“Mau tau breaking news gak?”
“Apaan?” jawab Satria tak minat tanpa melepas fokusnya pada handphone.
“Lihat ke bangku paling belakang gih.” kali ini cowok dengan balutan bomber hitam itu menengok. Dahinya mengerut.
“Ada apa emang? Penampakan?” Julian mengangkat bahu.
“Lihat aja ndiri.”
Masih di tempat ia agak bangkit dan menoleh ke belakang. Matanya memincing ke bagian kanan penumpang. Lalu lekas ia duduk.
“Itu beneran Gladys?”
“Menurut lo?”
“Kok bisa?”
“Ada anak kelas kagak bisa ikut. Plus, kursi disini kosong satu. Jadinya Gladys sama Nadia pindah dari bis sebelah. Elaaah, bilang aja seneng. Susah amat lo.” sekarang gantian Julian yang tak acuh. Bahkan cowok itu memejamkan mata dengan kedua tangan dibelakang kepala.
Situasi di dalam bus sudah sepi. Kebanyakan mereka sudah tertidur pulas menyelam mimpi.
“Kalo penampakannya dia sih, gue ikhlas digentayangin.” celetuk Satria asal menimbulkan senyuman kecil Julian.
Empat jam lebih seperempat kemudian bis mereka telah sampai. Membangunkan mereka yang terlelap, satu persatu orang lantas ke luar.
Perjalanan mereka belum sampai. Harus menaiki gunung Putri Lembang, salah satu wisata alam populer di Bandung. Sebenarnya mereka bisa saja menyewa motor trail untuk lebih cepat sampai di puncak. Tetapi itu terasa kurang ng-alam sesuai tujuan mereka yang ingin rehat dari hiruk-piruknya Jakarta.
Jadi, dengan tas di punggung dan para cowok yang membawa keperluan tenda, mereka mulai berjalan menapaki gunung. Disaat yang lain sibuk mengatur diri untuk mulai jalan, Satria malah celingak-celinguk mencari sesuatu.
“Nyari apaan?” dari belakang Evan bersuara.
“Siapa lagi, kalo bukan sumber omes bang Sat.” repet Julian. Sedangkan Fahri di samping cowok berdarah Chinese itu berdengus. Sekali lagi, ia tidak pernah suka dengan topik yang berhubungan dengan cewek bernama GLADYS!
Empat pasang kaki itu mulai ikut menapaki tanah bersama yang lain.
“Dia udah di depan, kalo mau tau.” tunjuk Julian berikutnya.
Sekitar satu jam lebih, akhirnya mereka tiba di puncak. Mengambil spot yang jauh dari rombongan lain, di situlah mereka mulai mendirikan tenda.
“Gue gak sanggup! Gue mau stuck dulu.”
“Capek banget, gila.”
Lita, Eva dan Nadia terengah menyelonjor di atas rumput liar. Gladys datang dari belakang dan ikut duduk. Tak lama kemudian, Gladys berdiri lagi.
“Kemana, Dys?” melihat ke arah teman-temannya lalu menggerakan kepala ke arah depan.
“Pasang tenda.” gadis dengan sweater pink pastel itu melangkah mendekati Leo, sekaligus koordinator kegiatan ini.
“Minta set tenda.” ucapnya to the poin. Leo yang sebelumnya tengah berbicara dengan temannya refleks menoleh.
“Eh, Gladys. Kenapa?” Gladys merotasi bola mata. Walau malas, dengan berat hati ia mengulai ucapannya.
“Lo mau pasang tenda sendiri? Gue bantuin, ya?” Leo menawarinya penuh binar. Kapan lagi bisa modus cecan satu ini.
“Gak perlu.” Gladys meraih lipatan tenda di tangan Leo. Melayangkan tatapan datar, Gladys menjelingkan mata.
“Punya sendiri aja orang lain yang pasang. Sok-sokan nawarin bantuan.” cibirnya sampai di telinga Leo. Membalikkan badan, dengan gayanya ia berlalu pergi.
“Untung cantik.”
Semua terlihat sibuk membangun tenda untuk kelompok masing-masing. Kemungkinan Gladys akan tidur bersama tiga perempuan yang masih mengipasi diri dengan kipas genggam mini itu.
Tentu saja. Memang ada yang mau bergabung dengan mereka?
Tangan lentik dihiasi kuku beningnya mulai mengaitkan komponen tiang lalu memasukan tiang rangka ke selubung luar tenda.
“Pantes aja malem ini adem banget rasanya. Ternyata bidadarinya ada disini.” Gladys tidak perlu melihat siapa orang itu. Melanjutkan kegiatannya, mengabaikan seseorang yang kini mengambil bagian tiang lainnya untuk di ikat pada pasak. Beberapa saat keduanya sama-sama diam, sibuk memasang tenda. Menghela napas puas, akhirnya tenda merahnya telah selesai.
“Aku seneng banget lho, kamu ikut. Bisa approuch terus dong kita.” Satria berdiri di samping Gladys yang tengah memperhatikan tenda apakah sudah terpasang kuat.
Gladys mendengar itu. Tetapi enggan saja untuk meladeni.
By the way, awalnya dia menolak ikut camping ketika Eva menawarinya. Namun cara ketiga temannya itu lebih dari menawari. Gencar memintanya ikut hingga mengusik tidurnya dua hari. Pada akhirnya ia pun menganggukan kepala setuju.
Dan gilanya lagi, tiga orang itu terlihat menyedihkan sekarang.
Sebelum pergi semangat perang. Udah di sarang malah tepar.
“Dys...? Masih nyawa kan?” Huh. Jika tidak di usir, cowok tidak tahu diri itu pasti terus-terusan mengganggunya.
“Bisa diem?” tanyannya bernada sarkasme.
Bukannya tersinggung Satria justru tersenyum lebar. “Bisa dong,”
“Kal—”
“Di kaki lo ada kodok, Dys!” pekik seseorang membuat Gladys terperanjat refleks berlari. Akibat terburu-buru, bukanya menjauh, tubuhnya malah menabrak Satria.
Gladys mengusapi dahinya yang sepertinya terbentur dengan dagu Satria. Lain hal dengan Gladys yang meringis, di bawah tubuhnya ada sepasang mata coklat menatapnya tanpa berkedip.
Dan ketika kedua mata itu bersibobok, bibirnya pun diam.
Gladys menangkap jelas raut tegang cowok itu. Terlihat dari beratnya ia menelan saliva.
“Kamu gak papa?” tatapan itu bergerak dan berhenti pada bibir soft pink milik Gladys. Saat menyadari sesuatu, Gladys langsung bangkit memisahkan diri.
Matanya mencari pelaku yang mengagetkannya. Menemui Julian yang mesem-mesem sendiri, Gladys mendekatinya dan tanpa babibu melayangkan satu kakinya di antara dua kaki cowok itu.
Duk!
Sesudahnya gadis itu melangkah meninggalkan jerit kesakitan Julian berusaha meredam sakit di bawah sana.
Saat sakitnya mulai reda, ia memandang Satria sebal. Dia dapet enak, giliran getah gue yang dapet! Keluhnya membatin.
“Bangun lo!” suruhnya emosi. Masih dalam posisi berbaring, Satria meliriknya sebentar.
“Kenapa sih, Yan?” tanganya ia lipat sebagai bantal. Julian semakin kesal melihat Satria yang senyum-senyum sendiri.
“Gue bilang bangun!”
“Iya-iya.” turutnya sambil lalu bangkit. “Btw, makasih ya. Tadi itu view terindah. Ah, kan! Gagal fokus gue.”
“Enak ya?” desisnya yang diabaikan. Orang yang harus ia akui temannya itu pasti masih membayangkan yang indah-indah.
DUK!
“ANJING! Kenapa lo main tendang-tendang, sih?!” wajah manisnya berubah kesakitan.
“Sakit kan adek lo. Mampus!” Jika miliknya saja sakit hanya karena kaki Gladys. Apa kabar tenaga man kayak Julian?
Ini baru impas.