Chapter 8

1329 Kata
Hari kedua sekaligus menjadi terakhir bagi remaja-remaja itu menghabiskan waktu di gunung Putri Lembang. Mencuri waktu di akhir pekan memang kurang tepat dijadikan liburan, karena waktu yang terbatas. Untung saja ada selingan libur nasional. Jadi satu harinya dapat dimanfaatkan untuk beristirahat menghilangkan penat. Langit sudah menggelap dengan bulan menggantikan tugas temannya menerangi bumi. Gerombolan muda-mudi sudah melingkar dengan kobaran api hangat di tengah-tengah. Api unggun. Sesuatu kebiasan yang menjadi wajib saat kegiatan alam ini. Rasanya akan ada yang hilang saja kalau tidak melakukannya. Awalnya semua baik-baik saja. Bermula Leo berucap bahwa ada pertunjukan drama yang akan dilakoni oleh orang yang telah ia tunjuk. Dan firasat buruk itu muncul pada Satria, ketika seseorang yang tak lain Nadia keluar mengenakan kacamata lengkap dengan kepangan rambutnya. Matanya langsung mencari keberadaan Gladys. Benar saja, auranya sudah berubah. Satria memilih diam tapi dalam kewaspadaan. Selama gadis itu tidak beranjak, ia juga tidak akan bertindak. Tapi wajib baginya memberi siaga satu. Kembali pada pertunjukan. Di samping api unggun sebagai penerang, tokoh-tokoh di depan mulai berakting. Mereka mengenakan seragam sekolah, Nadia terlihat berjalan dengan wajah tertunduk. Kemudian dari belakang, seorang perempuan yang tidak Satria tahu namanya datang menepuk bahu Nadia. “Nad,” kata cewek itu. “Lo kenapa sih, Nad ketakutan mulu kalo liat gue? Emang gue serem ya?” masih menunduk Nadia menggeleng cepat. “Lah terus, kenapa lo masih antipati sama gue?” Nadia kembali menggeleng. Cewek itu merangkul bahunya. “Gue udah pernah bilang, lo itu jangan pernah merasa kecil. Lo itu sama kayak gue dan yang lainnya. Dan satu lagi—” cewek itu menatap Nadia serius. “lo jangan pernah ragu kalo mau berbagi sesuatu sama gue. Ok?” cewek itu tersenyum. Satria melirik lagi pada Gladys. Mata hazel itu menajam. Ok. Siaga dua. Masih melakoni peran, Nadia perlahan mengangkat pandangannya dan tersenyum hangat pada lawan mainnya. Akting Nadia patut diacungi jempol. Satria tidak tahu kalau gadis blasteran India itu bisa akting. Tetapi bukan itu yang patut dipertanyakan. Petakanya, dia mendapat peran danger kali ini. “Maksudnya, aku boleh curhat sama kamu?” tanya Nadia lugu. Cewek itu mengagguk pasti. “Jadi, kita teman sekarang?” cukup lama saling pandang, Nadia mengangguk. Tiga detik kemudian. “AW!” Semua mata yang melihat langsung terbelalak. Gladys sudah mencengkeram rambut Nadia hingga temannya itu mendongak terpaksa. Satria lantas maju mendekati perkara. “Manusia kaya lo gak pantas punya temen!” ucapnya tajam. “Sayang~” Satria mencoba menarik Gladys yang langsung di tepis oleh gadis itu. “Lo gak berhak bahagia. Punya mulut tapi gak dipake, buat apa? Cuma buat pajangan bukti polos b**o lo itu?!” “Gladys,” Gladys menghindari jangkauan Satria lagi dan mendorong tubuh Nadia yang terlihat bingung. Mata nyalang hazelnya memburu melihat Nadia yang terduduk di tanah. Dan ketika Gladys membabi buta mencekik, memukuli, mencakar bahkan tega menginjak tubuh Nadia, jeritan histeris keluar dari beberapa cewek yang menyaksikan ke bar-barannya. Para lelaki hendak melerai yang ditahan isyarat Satria. Cowok itu menatap dingin gadis yang saat ini sudah seperti kehilangan akal. Membawa langkah mendekati Gladys, ia sepertinya harus melakukan sesuatu. Satria mengangkat tangan yang kemudian memeluk pinggang Gladys. Tubuh itu masih memberontak. Setelahnya Satria melesakkan tanganya ke bagian depan baju rajut milik Gladys. Dan perbuatannya itu membuat Gladys langsung berbalik dan bunyi tamparan keras mendengungkam telinganya. “Jangan.pernah.sentuh.gue!” tekannya tajam. Dengan apatis Satria membawa Gladys pergi meninggalkan keramaian. “LEPAS!” Gladys menghentak cengkeraman di lengannnya. Hembusan napasnya tak beraturan. “Udah puas? Lo sadar siapa yang lo pukul tadi? Dia Nadia, Dys. Temen lo sendiri. Lo harusnya bisa tahan emosi.” tertahan. Satria bergeleng tak habis pikir. Air wajahnya menyirat kekecewaan. “You are childish.” mata hazel itu mendelik. “Childish? Lo bilang gue childish?” “Dengan apa yang lo tau, lo nilai gue gitu?” sebulir bening jatuh dari pelupuk matanya. “Asal lo tau, gue juga gak mau kaya gini. Mukul temen sendiri. Dianggap jahatlah, dianggap setan, iblis, gak punya perasan. Lo pikir gue mau?” sesuatu terasa menghimpit tiba kilasan masa lalu itu terbayang. Jatuh sudah pertahanannya. “Itu bukan salah gue! Kalo aja bukan karena dia, hidup gue gak akan segila sekarang. Dan lo tau itu. Apa harus gue sakit kedua kalinya? Gue gak mau. Gue akan bertindak apapun sesuai apa yang gue mau. Gak perduli siapapun itu. Egois. Yah. Gue mau egois kalo itu yang bikin gue tenang. Lepas dari anggapan kalian ke gue itu apa. Gue gak peduli! Mereka selalu bilang, gue itu cewek yang gak punya hati. Heh! Hati? Bagian itu udah hancur tiga tahun lalu. Buktinya, cewek itu ninggalin gue sendiri sama orang-orang itu. Dia bahkan gak ada niat bantuin gue.” tatapannya berubah sendu. Siratan itu begitu jelas ada rasa sakit, kecewa, marah memupuk mendalam sejak lama. “Gue dulu selalu mikir, sebenernya salah gue tuh apa sama dia? Kenapa dia ninggalin gue gitu aja. Kenapa dia tega sama gue. Kenapa... hiks-hiks-hiks...” Satria hendak merengkuhnya ke dalam pelukan, namun Gladys sontak mundur. “Dan satu lagi, gue minta banget sama lo, jangan pernah nyapa apa lagi sok deket sama gue. Karna tiap liat lo, wajah-wajah itu selalu muncul.” “Maksud gue bukan gitu, Dys. Dan maafin untuk yang tadi. Sumpah, gue gak ada maksud ngelakuin itu sama lo. Gue lakuin itu karna terpaksa. Gue gak mau nanti lo nyesel karna udah mukul orang-orang yang gak bersalah. Cuma itu. Sekali lagi, maaf ya?” sesalnya sungguh. “Maaf, maaf, maaf. Apa gak ada yang lain? Lo emang sama persis kaya temen-temen kebanggaan lo.” Gladys berdesis. “Nggak, Dys. Gue—” “Lo tau, dengan lo lakuin hal tadi ke gue, semakin memperjelas kalo gue ini emang sampah. Puas lo?” usai mengatakan itu Gladys berlari pergi. “Gladys! Dys! Akghh...” cowok itu mengacak rambut frustasi. “Maksud gue bukan gitu,” mencebik bibir, kesalnya pada diri sendiri. •Flashback on• “Alin! Al?” gadis dengan rok biru terus menyeru. Di dalam ruangan temaram, langkahnya semakin menyeretnya masuk. “Aku disini!” sebuah suara menyahuti. Cewek itu sontak berjalan ke asal suara. Menghela napas lega setelah mendapati gadis berkepang dua dengan kaca mata bundar yang tengah berdiri di tengah ruangan. “Alin. Tumben banget ngajak ketemuan di tempat kaya gini?” Alin memilin jari menengadah ragu. “A-a-aku—” meski remang, gadis itu tahu Alin terlihat gugup. “Lo kenapa sih?” Alin baru membuka mulut, sebelum seseorang memotong dari belakang temannya. “Kali ini bukan dia yang mau curhat. Tapi gue.” orang itu menyeringai. “Ngapain lo di sini?” sinisnya. “Belum ngerti yang gue bilang? Jangan ganggu Alin lagi. Susah sih ngomong sama orang bego.” tatapan cowok itu menajam sebentar yang kemudian berganti dengusan sarkastis. “Kok sama senior galak banget, sih? Mau dijinakin dulu mulutnya sini,” cewek itu menghindar sesaat ketika cowok itu hendak meraihnya. “Al, mending kita pergi deh, dari sini. Males gue kalo ada dia.” ia menarik tangan Alin yang terasa dingin. “Pergi.” desis cowok di belakang mereka. “Emang kita mau per—aw!” Alin melepas genggamannya lalu mendorongnya. “M-maaf.” ditempatnya gadis itu menyorot Alin bingung. “Al! Alin!” “Jangan di kejar. Mending kita seneng-seneng dulu.” ia tak acuh hingga pekikannya terdengar kala cowok itu membopongnya dan melemparnya ke sebuah kasur single. Ia berusaha bangkit namun cekalan cowok itu begitu kuat. Dengan posisi menduduki perutnya, jelas mempersulitnya. “Kita lihat, lo bakal seenak keliatannya atau bahkan lebih. Let's play to me, baby...” gadis itu semakin memberontak mendapati perlakuan asing. Dan saat sebuah tarikan keras hingga seragamnya sobek, tangisnya pecah menyelimuti kegelapan. “Sekarang!” setelah aba-aba itu, empat orang muncul. Menggantikan cengkeraman tunggal di masing-masing tangan. Pun dua lainnya menahan kedua kakinya. Cowok yang masih di atas tubuh gadis itu tersenyum licik. Ia membuka resleting celana abu miliknya kemudian melepaskannya. “Jangan, jangan! G-gue mohon.” mohonnya parau tercekat. Namun bukan jawaban yang ia dapati. Melainkan sebuah kenyataan pahit yang akan mengikutinya ke depan. Menyeretnya pada sebuah kehidupan mengenai takdir. Ya takdir, takdir buruk perampas warna lain meninggalkan pekat hitam dalam goresan di hatinya. “Giliran kalian.” gadis yang sudah jatuh dalam kubangan pahit, perlu memohon, memekik lagi untuk menolak. Namun apa daya tak sampai. Hingga hentakan, tawa, jeritan, eranganpun bergema. Hina. Ia sudah hina. Buliran bening terasa turun bagai pasir kasar menyakitkan. Memejamkan mata. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Sekiranya ada satu bagian yang akan jadi miliknya seorang. Menolongnya dari kejamnya manusia-manusia yang memperlakukannya seperti gelas bergilir. Ditengah penyiksaan dengan tubuh yang sudah mati rasa, telinganya dapat menangkap bunyi bogeman keras dilanjuti benturan sesuatu dengan lantai. “GLADYS!!!” matanya terbuka. Di ujung kegelapan, ia melihat seseorang yang ia yakin saat ini wajahnya sudah penuh lebam. Itu tidak membantu. Bahkan sudah terlambat. Saat sosok itu di seret paksa keluar, samar suaranya ikut menghilang. Satu yang ia yakini dari sekarang. Hancur. •Flashback off•
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN