Chapter 5

1036 Kata
Satria berlari ke toilet setelah meminta izin terlebih dahulu pada guru yang sedang mengajar. Kandung kemihnya sudah tak bisa membendung lagi. Menghela napas lega, ia keluar melangkah nyaman. Pandangan Satria tak sengaja jatuh pada sesosok gadis yang tengah berjalan sendirian di koridor yang sepi. Sedikit berlari, ia mencoba mensejajarkan langkahnya. “Morning,” ucapnya manis menimbulkan lesung di pipi kirinya. “Dari toilet?” Gladys tak acuh sambil terus berjalan. “Aku juga dari toilet, lho. Kayaknya, kita jodoh deh.” keduannya menaiki tangga berbelok satu menuju lantai atas. “Gladys, weekend ini aku sama temen sekelas ngadain camping. Kalo gak keberatan, kamu ikut ya?” Gladys berhenti tak jauh dari pintu kelasnya. Memutar badan menghadap Satria, Gladys bersedekap culas. “Menurut lo?” “Hm... pasti keberatan sih. Tapi tapi, gue janji akan nurutin deh apa yang lo minta, yang penting lo mau ikut. Gimana?” Satria menatap penuh harap. “Sorry, gak minat.” putusnya dan menyeret kembali langkah masuk ke dalam kelas. Tok Tok Tok “Assalamu'alaikum bu...” semua mata di kelas itu tertuju pada pelaku pengetuk pintu. “Wa'alaikumsalam. Ada apa?” Bu Herni membalas mengerutkan dahi. Masih diambang pintu, Satria mengungkapkan tujuannya. “Cuma mau bilang, Gladys, gak papa kamu nolak yang tadi. Tapi sebagai gantinya, kita makan bareng di kantin.” sorakan menggoda riuh ditujukan pada objek yang dimaksud dari fokus tatapan matanya. Gadis yang duduk di meja kedua baris kedua dari kiri itu abai situasi. Bu Herni sontak menyuruh seluruh murid untuk diam. Wanita paruh baya bertubuh tambun itu menggeleng-gelengkan kepala. Remaja memang mode-nya rasa malu sering tertinggal. “Ada lagi Satria?” cowok itu cukup terkenal di kalangan guru karena rekor pelanggarannya di buku BK saat kelas sepuluh. Dan untuk ekspresi Bu Herni sekarang, tentu saja malas-malas jutek. Dan lihatlah muridnya itu, Satria menelengkan kepala mencoba berpikir. “Untung ibu ingetin. Saya hampir lupa. Gladys, aku tunggu ya, Sayang. Assalamu'alaikum.” secepat kilat Satria bertolak, sebelum benda keramat seperti sepatu berhak terombang ambing diwajahnya. Gadis bernama lengkap Savelly Putri itu berjalan ke parkiran dengan mata awas, takut jika tiba-tiba sosok Gladys menghampirinya. Tidak-tidak. Lebih tepatnya menerkamnya. Tapi syukurlah. Dari menstater hingga motornya melaju bergabung dengan pengendara lain, tidak ada tanda-tanda mobil Nadia ataupun Gladys yang mengikutinya. Beberapa hari ini ia memang bebas dari bully. Tak dipungkiri rasa takutnya semakin bertambah bila bertemu Gladys. Saat pembulian di gudang itu, Gladys memberinya rasa sakit yang terparah. Dibalik itu, Velly merasa punya penolong mulai sekarang. Kedatangan Gisatria Pahamkana, adalah perlindungan untuknya. Sejak dulu, Satria adalah pelerai terampuh saat Gladys membullynya. Bahkan saat dulu, Gladys tidak berkutik di sekolah. Ia hanya menyerang Velly ketika jam sekolah selesai. Dan membawanya pergi seperti terakhir kali. Dulu Eva dan Lita tidak sama sekali mengenal Gladys. Nadia yang sekelas dengannya pun terlihat tidak terlalu akrab. Gladys kurang suka bergaul. Meski begitu, Gladys dari dulu memang terkenal karena wajahnya yang cantik. Ia akan terlihat makan bersama kelompok senior yang di dalamnya terdapat Sandra. Si senior galak. Entah bagaimana keduanya bisa sangat akrab. Yang Velly tahu, Sandralah yang membantu Gladys membullynya di berbagai kesempatan. Tetapi mereka selalu cari aman. Acap kali beraksi, mereka menunggu waktu yang hebatnya tidak diketahui pihak sekolah maupun murid lainnya. Ralat. Mungkin tahu, namun murid lainnya memilih abai. Ketika mereka masih menginjak kelas sepuluh, Gladys hanya pernah menyentuhnya tiga kali. Tetapi bukan berarti pembullyan itu selesai. Ada Sandra yang menggantikannya. Dan tiga kali itupun, Gladys hentikan tiba-tiba saat Satria datang. Aneh menurut Velly dan untuk beberapa orang yang tahu kala itu. Jika dilihat dari apa yang Satria lakukan, bukan seperti orang yang mencoba membujuk. Melainkan sesuatu yang berbau, m***m? Kurang lebih begitu. Dari pandangan Velly sendiri, Satria memang terkenal badboy dan ada juga yang bilang playboy. Entahlah. Mungkin saja Gladys anti atau lebih parahnya jijik tipe cowok seperti Satria. Mungkin juga, itu penyebabnya ia enggan berurusan dengan cowok itu. Velly tak berani menanyakan kebeneran. Jika disimpulkan, Satria juga baik padanya. Beat hitamnya berhenti di pekarangan sebuah rumah kecil dengan cat pink yang sudah memudar. Mematikan mesin motor, Velly turun dan masuk ke dalam rumah yang hanya di huni olehnya itu. Tanpa mandi Velly mengganti pakaiannya dengan kaos pendek dan celana jeans selutut. Kepangannya sudah ia urai hingga rambutnya terlihat agak bergelombang. Berjalan memasuki dapur, ia mulai mengerjakan pekerjaan rumah. Dari mengepel, mencuci piring, serta mencuci pakaian. Ia melakukan ini setiap hari. Semenjak ditinggal ibunya meninggal, mau tidak mau ia harus hidup mandiri. Selesai mengerjakan semuanya, Velly membersihkan diri dengan mandi. Setelah sudah siap, Velly mengunci rumah dari luar dan pergi melaju lagi dengan motornya. Angel Club Memarkirkan motor di depan Club, Velly masuk. “Eh, Velly. Udah dateng.” wanita lebih tua lima tahun darinya menyapa Velly. “Iya mbak. Bajunya?” “Seragam kamu ada di ruang ganti. Cari aja ukuran yang pas di kamu.” Velly mengangguk dan berjalan masuk ke ruang ganti. Membuka sebuah pintu putih, terpampang banyak pakaian layaknya di sebuah toko pakaian. “Vel, nih punya lo.” Karin. Salah satu teman sepekerjaanya memberinya baju kombinasi putih dengan kotak-kotak orange pada kerahnya. Baju dengan belahan pendek itu begitu miris, terlihat seperti ukuran anak TK. Sebagai bawahan, rok setengah paha berwarna sama seperti kerah bajunya. Yah, tentu saja itu adalah seragam. Cukup lama Velly melihat wajah dan penampilannya yang berbeda 180 derajat itu. Full make-up, seakan membuang Velly yang nerd. “Vel, lo di suruh masuk ruang 17.” seseorang yang juga memakai seragam sama memberitahu dari pintu. Velly mengangguk sebagai jawaban. Inilah hidup yang di jalani Velly. Jalan yang Velly sendiri sangat malu mengakuinya. Satria yang baru tiba di rumah langsung bertanya ketika melihat bi Juni, asisten rumah tangga lewat. “Bi, Papa hari ini pulang jam berapa?” “Den Satria, Pak Dito bilang bapak gak pulang malam ini. Ada me-ting sama klien di Bandung. Iya.” “Meeting, Bi...” Satria terkikik membenarkan. Wanita setengah abad itu tersenyum kikuk. “Eh, iya itu maksud bi Jun.” “Ya udah Bi, Satria mau ke atas.” pamitnya menaiki tangga menuju kamarnya. Kamar bergaya compact monokrom dengan bed cover berwarna senada berukuran king menyambutnya. Terdapat meja sedang yang menempel pada dinding bagian Timur. Sedangkan di seberang ranjang, terdapat TV LED 40 Inch yang hanya digunakanya untuk memainkan Playstation 4 yang jarang dipakai itu. Melempar tas ke atas kasur, dengan seragam yang masih melekat Satria merebahkan diri lega. Mengambil ponsel di saku celana, Satria mulai menjelajahi aplikasi yang dipenuhi foto dan video. Apalagi foto yang pertama ia lihat itu foto Gladys. Beuh, seger! Saat sibuk meng-kepoi i********: milik Gladys, sebuah nama tampak tertulis di layar i-phoneX gold nya. Tanpa tunggu lama ibu jarinya menyentuh tombol berlogo gagang telepon lalu menggesernya. Menempelkan ke telinga, senyumnya mereka. “Halo, Sayang...”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN