Chapter 9

1352 Kata
Sekepergian Satria yang membawa serta Gladys, Lita dan Eva segera membantu Nadia. Memapah dengan sabar, dibawanya ke dalam tenda untuk diobati. Sudut bibirnya sedikit sobek akibat tamparan, pun dengan beberapa bagian di wajahnya lebam. Tanda merah masih membekas di leher putihnya. Saat diserang, Nadia sama sekali tidak melawan karena keterkejutannya hingga tidak mencerna situasi. Akibatnya perutnya pun ikut sakit saat kaki berbalut sepatu putih menginjaknya dibagian tersebut. “Udah tau Gladys benci sama valak gara-gara nerd. Lo ngapain ngedrama yang ngundang setannya keluar, sih?” omel Lita mengolesi gel di bagian yang lebam. Mereka tidak menutup tenda. Di luar, Leo, Evan, Julian, Fahri dan Eva memperhatikan Nadia. “Gue lagi butuh duit, Lit. Terus Leo dateng nawarin gue gitu. Yaudah gue terima aja. Gue kira Gladys gak akan gitu kalo itu gue.” belanya sesekali meringis merasakan sentuhan di wajahnya. “Hm... alamat Leo sekarang.” ujar Julian melihat Satria yang mendekati tempat mereka. Bugh! Bogeman keras tepat mengenai pipi Leo. Satria menatapnya marah. “Lo b**o atau t***l, sih?! Maksud lo apa bikin drama-drama gitu? Lo sengaja?!” Evan dan Julian kontan menahan Satria tatkala cowok itu hendak menyerang Leo kembali. “Niat gue baik, Sat. Gue cuma mau ngeliatin ke dia, kalo kita itu bisa temenan sama siapa aja. Gak pandang muluk apalagi cuma karna penampilan. Tujuan gue cuma itu. Gue pake Nadia, karna gue pikir Nadia temen Gladys. Gue juga gak ngira bakal kaya gini.” “Tapi lo liat 'kan sekarang? Lo liat apa yang terjadi karna ulah lo itu?” “Sorry, iya gue ngaku salah.” “Lo juga Nad. Harusnya lo ngomong dulu sama yang lain sebelum terima tawaran dari Leo. Lo itu temennya Gladys. Lo pahamkan dia itu orangnya gimana. Apalagi yang beginian. Sensitifnya pasti langsung kambuh.” Nadia mengangguk pelan. Menghembuskan napas keras, Satria menatap Leo dan Nadia bergantian. “Pokoknya, mulai sekarang, kalo kalian mau lakuin sesuatu yang menyangkut Gladys, diskusiin dulu sama gue. Karna gue lebih tau apa yang dia gak suka dan yang iya. Ngerti?” ultimatumnya dijuruskan untuk mereka yang diangguki mengerti. “Kenapa harus?” intruksi Fahri tiba-tiba. Semua mata melihat kearahnya. “Emang lo siapanya?” mereka terdiam membenarkan pertanyaan Fahri. Ditempatnya Satria membasahi bibir, gugup. Mudah saja baginya memberitahu kalau sebenarnya, ia dan Gladys pernah sekelas saat SMP dulu. Tetapi jika ia jujur, kemungkinan mereka akan menggali masa lalu itu kembali membuatnya sungkan untuk itu. Disaat batinnya masih bergulat, yang lain malah ikut menyahuti mendesaknya untuk menjawab. “Apa lo deket sama dia?” “Atau, lo udah kenal Gladys lama.” “Tau nih bang Sat. Ada yang lo sembunyiin 'kan?” “Iya, Sat. Terus, maksud lo, yang lo lebih tau apa yang dia suka dan gak itu, apa ya?” Eva menyipitkan mata atas pertanyaanya. “Atau jangan-jangan—” “Kita pacaran.” intonasinya meninggi. Tertebak, ekspresi teman-temannya terkejut. “Wajar dong gue tau apapun soal cewek gue?” Hening. Satria harap-harap cemas menunggu. Dan anggukan samar dari Julian dan yang lainnya sedikit melegakan. “Iya sih... tapi, tunggu! Sejak kapan kalian pacaran?” “Gue juga gak tau. Gladys gak pernah cerita kalo dia punya cowok. Apalagi cowoknya lo.” “Gue emang kenapa?” harga dirinya tersentil oleh ungkapan Lita. “Ya, dari dulu kan dia keliatan risih banget kalo deket lo. Apalagi kalo lo main skinship.” “Itu yang kalian tau. Emang kalo gue lagi pacaran sama Gladys gue harus kasih tau ke kalian? Enggak kan?” “Terserah.” dengus Fahri yang sejak awal tak suka. “Yah... Gladys sold out.” gumam Leo lesuh. Oke. Setidaknya ini berhasil menutupi masa lalu itu. Namun, Satria hampir melupakan satu hal. Bagaimana cara mengkompromi Gladys tentang kebohongan ini? Simalakama. Sinar mentari memasuki cela-cala jendela kamar milik gadis yang masih berkutat di alam tidur itu. Lengkap dengan piama biru laut, matanya menyipit tatkala sinar itu menjerat seluruh tubuhnya. “Gladys, bangun Sayang.” Ana mencoba membangunkan putrinya. “Gladys masih ngantuk Ma...” rengeknya mengeratkan pelukan pada guling. “Mama tau. Tapi di depan udah ada temen kamu nungguin.” pejaman Gladys terbuka perlahan. “Siapa?” “Katanya, namanya Satria.” Gladys merotasi matanya. “Suruh pulang lagi aja, Ma. Bilangin Gladys lagi gak bisa diganggu.” “Ssttt.. gak boleh gitu, ah. Pokoknya kamu buruan mandi terus turun temuin Satria.” “Gak boleh nolak.” lanjut Ana yang terpaksa dituruti Gladys. Selesai mandi, dengan pakaian casual Gladys berjalan menuruni tangga ke ruang tamu. Dari belakang dilihatnya cowok berhodie hitam sedang berbincang sopan dengan mamanya, Ana. “Itu Gladys.” sontak Satria mengikuti arahan Ana. Wanita berusia 37 tahun itu lalu bangkit. “Karna Gladys udah dateng, tante tinggal ke atas ya.” Satria menganggukan kepala dan mengiyakan. Sesaat setelah Ana sudah tak terlihat, Gladys menyambung langkah lebih dekat ke arah Satria. Melipat tangan di depan d**a, ditatapnya dingin Satria. “Ngapain lo kesini?” “Soal kemarin—” “Lupain aja.” potong Gladys. Satria menggerakan tubuh tak nyaman. Mengetuk telunjuk diatas paha, cowok itu berpikir awal mula memulai obrolan selanjutnya. “Sebenarnya, ada yang gue mau omongin sama lo.” “Omongin aja.” “Tapi lo duduk dulu dong. Gak enak. Ma—” “Sekarang atau gak sama sekali.” skak matt. Menarik napas samar, Satria fokus kembali. “Jadi kemarin itu, mereka curiga gue sama lo itu ada hubungan apa. Karna mereka bilang, kita keliatan kaya udah kenal lama. Emang bener sih. Tapi kan lo pernah bilang, jangan sampe mereka tau tentang itu. Nah, karna kepepet dan bingung mau ngeles apa, mulut gue—tiba-tiba nyeplos aja kalo kita pacaran.” paparnya sembari melirik Gladys gamang. Dan mata hazel cantik itu terbuka lebar setelahnya. “Maksud lo? Pacaran? Lo gila, ya? Lo bener cari mati.” “Bentar, Dys.” Satria menjangkau lengan cewek itu yang hendak memukulnya. “Lo jangan marah dulu, dong. Ini juga gue lakuin demi lo. Gue cuma gak mau mereka tau yang sebenernya. Maaf.” Satria meringis diakhir. Yah. Kata maaf tak pernah lepas jika menyangkut Gladys. “Gue gak mau tau! Baru kemarin gue bilang, jauh-jauh dari hidup gue. Dan jangan pernah sok kenal sama gue. Tapi kenapa sekarang lo bilang gini?” “Oh... gue tau. Jangan-jangan lo sengaja lagi. Bener 'kan?” tuduhnya. “Ng-nggak. Suer. Murni itu demi lo.” “Tapi terserah lo sih. Kalo emang gak mau, gue tinggal bilang aja yang sebenernya sama mereka. Kalo kita itu temen sekelas waktu SMP.” “Ralat. Musuh.” Gladys meralat. “Apa aja deh. Jadi gimana?” menatap tajam Satria, setelahnya tanpa menjawab Gladys melangkah pergi. “Tunggu!” cowok beralis tebal itu menahan tangan Gladys. Menyadari kesalahannya, ia langsung menarik tangan kembali. “Kalo seandainya mereka tanya kebenaran hubungan kita—maksudnya, lo sama gue, lo anggukin aja yah?” bukannya menjawab Gladys hendak berbalik lagi. “Gladys!” helaan kasar keluar dari bibir kecil merah muda Gladys. Sebelum protes, perkataan cowok itu mencegahnya. “Jalan yuk!” Dua jam kemudian... “Eh bang Sat, lo kalo gila jangan disini dong. Dari tadi mesem-mesem bae. s***p lo emang.” “Lo kaya gak tau aja. Satria tuh lagi kasmaran mode on.” ketiga cowok itu memilih menghabiskan free day di rumah Evan. Penyerbuan itu Julian rasa patut dilakukan. Karena sedari datang setengah jam yang lalu, Satria terus tersenyum sambil fokus ke ponsel digenggamannya. “Oh... pantesan.” ucap Julian cukup keras, berhasil membuat Satria terperanjat karena Julian berucap tepat di samping telinganya. “Anjir!” meniup tangan yang terkepal, lalu diusapnya ke kuping. “Mentang-mentang udah publik. Mau pamer gitu sama jomlo?” “Siapa yang pamer? Ada juga lo yang ngintip. Bintitan tau rasa lo!” Saat mengajak Gladys jalan, awalnya cewek itu menolak keras. Tetapi Satria berhasil membujuknya dengan alasan sebagai bukti agar teman-temannya tidak curiga nantinya. Biar meyakinkan begitu. Dan tak terduga, Gladys menyetujuinya. Dan untuk bukti nyata, Satria menyarankan selfie yang kembali diiyakan Gladys meski dalam keterpaksaan. “Foto kapan tuh?” tak munafik, terbesit rasa penasaran dalam hati Julian. Dari pada dipendem entar malah bikin penyakit, gimana? Mending ceplos aja langsung. “Barusan.” “Barusan banget?” Satria mengangguk. “Sebelum lo kesini, nih?” Satria mengangguk lagi. “Gini yah, Jun. Punya cewek itu enaaaak banget. Apalagi pas meet-up. Beuh. Kalo kata iklan, ada manis-manisnya gitu.” “Cih! Kasian gue sama Gladys. Cantik-cantik dapet pacar segle. Mana omes pula.” “Kaya lo kaga aja.” “Ya bedalah.” belanya tak terima. “Bedanya apa?” “Bedanya, lo terikat, gue bebas. Enak juga jomlo. Bisa main mata sana sini.” “Kalo main mata sana sini gue juga bisa kali.” “Iya. Pasti karna Gladys pacaran sama lo terpaksakan? Udah curiga sih gue.” “Enak aje lu. Gampang kali main mata mah. Tapi ada bedanya. Kalo versi non-jomlo, lihat sana, tapi yang ada dia. Lihat sini, juga yang harus ada dia. See? Masih bisa sana sini 'kan?” tawa Evan yang mengikuti perdebatan kedua temannya menggema. “Ada-ada aja lo berdua.” “Btw, si Fahri kemana?” tanya Satria sadar mereka tak lengkap. “Gak tau tuh. Gue wa kaga dibales-bales.” sahut Julian. Mengabaikan soal Fahri, Satria tersenyum mengingat satu hal. Baru disadarinya, sikap Gladys satu hari ini, berbeda dari biasanya. Sama-sama judes sih. Hanya saja, gadis itu lebih ekspresif dan banyak bicara. Percis saat mereka SMP dulu. Tepatnya, sebelum kejadian itu yang kemudian membuatnya pindah. “Dasar galak.” gumamnya tersenyum kecil lalu memejamkan mata.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN