Chapter 10

1182 Kata
Aneh. Setibanya di parkiran sekolah, Gladys merasa semua pasang mata terasa mengintainya dimana-mana. Terlebih di koridor. Menjadi pusat perhatian untuk Gladys memang sudah biasa. Tetapi dari tatapan mereka kali ini, terasa berbeda. Entahlah. Menghiraukan puluhan manusia itu, sepatu putihnya menaiki tangga menuju kelasnya di lantai dua. Memasuki kelas yang sudah ramai, langkahnya terhenti mendapati Lita dan Eva berada di kelasnya. Kelas berubah sunyi. Lagi-lagi tatapan disertai bisikan aneh tertunju padanya. Di salah satu meja, kedua orang itu terlihat menyenggol bahu Nadia yang sedari tadi menunduk, takut. Kejadian saat camping masih terasa di tubuh maupun ingatannya. Gladys kalau marah memang menyeramkan. Tetapi baru sekali itu Nadia menjadi sasarannya. Dan ia benar-benar kapok. Disaat ketiganya sibuk saling mendorong, Gladys menghampiri mereka lalu bersidekap sembari mengangkat dagu. “Ngapain?” seperti mata petir, tubuh mereka tersentak. “Eh, Gladys.” Lita bangkit berdiri disamping Gladys. “Itu Dys, Nadia—mau ngomong katanya.” Lita berdesis menyegerakan Nadia dengan tatapan melotot satu sama lain. Tidak lama kemudian, Nadia mengikuti jejak Lita. Dengan pandangan tertunduk, Nadia membasahi bibir. Menelan ludah saja rasanya seperti minum racun. “D-Dys. G-gue minta maaf, ya. Cuma karna uang, gue mau lakuin itu. Sorry banget. Maafin gue, ya? Please...” Nadia kali ini berani menatap Gladys penuh mohon. “Silahkan aja ulangin, kalo lo mau kaya kemarin.” “Janji Dys, gue gak gitu lagi. Lagian gue juga gak mau jadi cupu kaya valak.” Gladys menggeram halus. “Udah bereskan? Nah, kalo gitu, kita berdua pergi dulu. Bye...” setelah Lita dan Eva mengilang dibalik pintu, Gladys lantas duduk di samping Nadia yang tak berapa lama kemudian guru pengajar masuk ke dalam kelas. Bagi mayoritas siswa-siswi, bertekur selama tiga jam di dalam kelas dalam bincangan materi itu terasa seperti dihipnotis menggunakan spiral lingkaran bergerak. Memabukkan. Bedanya telernya bukan seperti gila. Sederhana. Hanya bikin ngantuk. Bel tanda istirahat berbunyi nyaring seantero Pradana. Seperti biasa, Gladys cs duduk di meja pusat kantin. “Mau pesen apa?” “Gue siomay.” “Gue juga itu, Nad.” “Lo Dys?” “Samain aja. Minumnya mineral.” mengangguk sebentar, Nadia melenggang untuk memesan makanan yang disebut. Beberapa menit kemudian pesanan mereka datang bersama Nadia yang membawa dua piring berisi siomay, juga Mang Darjo membawa nampan plastik memuat lainnya. Disajikan di meja, segera mereka menyantap pesanan masing-masing. “Uhm... Dys,” seru Lita ragu. Sedangkan yang ditegur hanya diam. “Lo beneran jadian sama Satria?” suapan di depan mulut Gladys berhenti di udara. Napsu makannya tiba-tiba hilang begitu saja. “Kalo lo merasa aneh sama satu sekolah, itu efek dari berita lo ke sebar. Gak tau deh siapa yang nyebar. Namanya juga mulut.” “Tapi Dys, gue belum seratus persen percaya tentang itu kalo gak tau dari lo langsung. Secarakan kita tau Satria ke lo itu keliatan udah ngebet banget dari kelas satu.” meja mereka berubah hening disertai lirik-melirik satu sama lain. “Menurut lo?” timpal Gladys santai dengan menyuap siomay miliknya . “Maybe?” “Nothing is impossible.” Teriknya matahari di siang hari ini begitu menyengat membakar kulit. Dan decakan murampun mendominasi para kaum hawa di kelas XII Bahasa 3. Tentu bagi mereka ini adalah masalah besar. Normalnya, mereka akan mencari tempat teduh agar tidak terpapar matahari langsung begini. Membiarkan bedak dan seperangkat yang sudah melekat pada wajah luntur, itu sangat membebani. Aish! Makin dibayangkan ke was-wasan semakin melanda. Namun akibat tragedi pembagian jadwal Penjas yang mengenaskan, di jam terakhir adalah harga mutlak bagi semua. Pasrah. Mau dikata apa? Itu bagi kaum Hawa. Lain untuk para Adam. Untuk mereka sih, terima-terima saja. Toh, yang penting bisa main basket, voley, futsal dan lain-lain. Panas? Ya kan di outdoor. Dasar aja cewek yang rempong! Pak Anton, guru Penjas memberi aba-aba untuk memulai pemanasan terlebih dahulu. Setelahnya murid-muridnya diperkenankan berlari mengelilingi lapangan sebanyak tiga kali. Sebelum mengambil nilai, Pak Anton memberi arahan dan percobaan masing-masing siswa sebagai modal dasar. Menunggu mereka siap, pengambilan nilai pun dilakukan. Hanya memasukkan bola basket dari jarak yang sudah ditentukan. Bagi anak cowok sangat kecil melakukan ini. Dari tiga kesempatan, rata-rata mereka semua berhasil dengan tepat. Berbanding terbalik dengan yang cewek. Lagi-lagi masalah olahraga begini mereka menyerah. Contohnya saat ini. Salah satu siswi mendapat giliran. Berdiri dengan bola yang sudah dipegang diatas samping kepala, siap melempar. Menghitung satu sampai tiga, bola di lempar, ia pun terpekik dengan tubuh yang refleks mundur. Kalo kata cowok sih, “berisik!” “Baik anak-anak. Semua sudah bapak nilai perindividu. Jadi tugas bapak sampai disini. Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum bel pulang. Yang mau langsung ganti silahkan. Yang masih mau main dulu juga silahkan. Asalkan sehabis main, bolanya kalian simpan lagi ditempatnya. Mengerti?” “Baik, Pak...” Mendengar itu banyak yang memilih berganti pakaian dan menunggu bel pulang di kantin. Salah satu yang memilih tinggal adalah Gladys. Tadinya Nadia ingin menemaninya, tetapi Gladys tahu gadis itu hanya tidak enak meninggalkannya. Jadi setelah mendapat paksaan Gladys, Nadia pun menurut untuk duluan saja. Dengan bola oranye ditangan, Gladys memantulkan benda tersebut dan mendriblenya sesekali ke depan ring lalu men-shoot nya. Gadis itu hanya bermain sendiri. Mengabaikan siulan dan ajakan dari teman lelaki yang sedang bermain pula di bagian lain. Gladys membawa bola kembali dan bersiap untuk melompat ketika matanya menyipit oleh sosok yang menutupi kilau mentari yang menancap matanya tadi. “Mau tanding?” tawar Satria sang penghalang. Cukup lama bersitatap, Gladys melempar bola yang tangkas ditangkap Satria. Cowok itu tersenyum. “Tapi yang kalah harus ngabulin satu permintaan buat yang menang. Deal?” “Satu shoot berhasil, tiga poin. Tapi berlaku cuma untuk gue. Gimana?” Satria melempar balik bola ditangannya. “Anything for you baby,” Pertandingan dimulai. Bola yang awal di tangan Gladys begitu mudah direbut Satria dan menghasilkan poin pertama. Mengambil alih bola lagi, Satria kembali mendapat angka. Hingga empat gol berikutnya, masih diraih oleh orang yang sama. Gladys mulai kesal. Ia akan menggunakan taktiknya sekarang. Jika Satria butuh enam kali shoot, Gladys hanya perlu dua kali untuk menyetarakannya. Gladys mencoba mencegah di depan Satria yang tengah menggiring bola dengan sesekali memantulkan benda bundar tersebut. “Sayang,” ujar Gladys pelan. “Hm?” tersentak sesuatu, Satria berhenti di tempat. Memanfaatkan situasi, Gladys mengambil bolanya dan ber-yes ria ketika tembakannya berhasil. “Curang lho tadi.” “Lo gak bilang kalo kita pake aturan.” Satria menghela napas kasar. Cewek selalu benar. Posisi kembali seperti sebelumnya, dengan saling berhadapan di tengah bola, Gladys mendorong Satria hingga keduanya terjatuh dengan ia di atas lelaki itu. Simpul rambutnya yang jatuh membuat rambut sepunggungnya mengunci pandangan keduanya. Terpisah dalam jarak sangat dekat, bahkan harum vanila menyerebak ke indra penciupan Satria. Pipi gadis itu terdapat guratan merah akibat terpancar sinar matahari. Napas keduanya beradu dalam hembusan angin yang tak sengaja menyapu, mereflekskan Gladys menyugar rambutnya. Ya Tuhan... mimpi apa gue semalam? Satria tidak tahu kalau itu hanya akal-akalan Gladys saja. Mendapati Satria masuk perangkap, ia sengaja menggulirkan mata pada bibir Satria yang sedikit terbuka karena tersengal. Dan benar saja, cowok itu semakin terbuai. Sesaat Satria memejamkan mata, Gladys berdiri dan mengambil bola yang tergeletak kemudian memasukannya ke dalam ring. Berhasil. Satria yang baru membuka mata, merasa tertipu untuk kedua kalinya. Dengan begitu, poin menjadi seri. Karena waktu yang terbatas, hanya diperlukan satu gol lagi untuk mengetahui siapa yang akan menjadi pemenangnya. “Kali ini aku gak bisa ditipu, baby. Liat aja.” Gladys mengangkat bahu. Gladys masih mencoba memonopoli Satria. Tepat di tengah lapangan, Gladys melompat saat Satria hendak melakukan jump shoot. Namun terlebih dahulu berhasil dan pantulan bola yang sebelumnya melewati keranjang bola berbunyi. Tujuh-Enam. “Jam delapan aku jemput.” memasukan tangan ke dalam saku celana, Satria berlalu meninggalkan Gladys yang menyorot punggungnya sebal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN