“Loh, Kakek mau kemana? Kita kesini mau sarapan bareng loh sama Kakek.” Rima mengerutkan keningnya tidak terima.
“Kakek mau beli bubur diluar sekalian jenguk Rama sama Rebecca yang mau ke Jepang nanti sore.” Ketika Kakek Ismail hendak lewat, Rima menghalanginya. Kakek ke kanan, Rima ikut ke kanan. “Surya! Istri kamu berulah lagi!”
“Dia mau ngomongin tentang liburan itu, Kakek. Katanya gak setuju memaksakan mereka akur sedangkan keduanya sama-sama gak nyaman.”
“Toh nyatanya Rebecca keliatan nyaman banget di pernikahan ini. Kalian ini kenapa sih?” Kakek Ismail tetap dihalangi oleh menantunya. “Minggir, Rima.”
“Kek, aku gak tahan lihat Rama menderita. Dia udah dipaksa nikah disaat hidupnya didedikasikan buat kerjaan. Jadi seenggaknya ini yang bisa aku lakuin sebagai Ibu, gak terlalu memaksa.”
“Menderita kayak apa?” Kakek Ismail frustasi sendiri. “Rama itu udah enak, dia punya istri yang sholehah plus cantik. Rama bisa dapet dunia akhirat kalau sama Becca.”
“Dia gak Bahagia, Kakek.”
“Tahu darimana dia gak Bahagia?”
“Dia gak akan minum alcohol,” ucap Rima keceplosan, dia langsung menutup mulutnya. “Bukan gitu, Kakek. Aku salah ngomong. Tunggu, kakek… Tunggu!” DUK! “Kakek!” Rima sampai berguling dari dua anak tangga Ketika sang mertua menabrak tubuhnya dan bergegas naik mobil.
Surya membantu sang istri yang masih memanggil-manggil mertuanya. “Udah, Ayah gak bisa dihentikan kalau udah kayak gitu.”
“Duhhhh, aku keceplosan. Ini gara-gara mampir ke kantornya dan liat banyak botol di ruangan Rama. Tapi kalau gak kayak gitu kita gak akan tahu anak kita menderita, Mas,” rengeknya berharap Kakek Ismail tidak memarahi sang anak.
Amarahnya sudah siap meledak. Sedikit tertahan Ketika yang membuka pintu adalah Rebecca. “Eh, kenapa Kakek gak bilang mau kesini?”
“Kejutan buat kamu. Kakek bawa beberapa hadiah buat kamu di perjalanan. Kakek juga gak tahu apa isinya, pelayan Kakek yang pilihin. Katanya Kakek juga gak boleh lihat soalnya ini hal pribadi.”
Rebecca menaikan alisnya dan tertawa. “Makasih, Kakek.” Menerima koper yang begitu berat, mempersilahkan Kakek masuk untuk dibuatkan minuman. “Sarapannya belum siap, Kakek makan disini kan? Gak papa nunggu sebentar?”
“Gak papa, Kakek pengen makan masakan kamu.” Mengedarkan pandangannya. “Rama kemana?”
“Dia masih tidur, Kakek, semalam pulangnya larut. Becca malah tidur lagi abis subuh, jadi kesiangan bikin sarapan.” Menyimpan teh hangat di meja. “becca masak dulu ya.”
“Duduk aja, Kakek mau ngomong.”
“Kenapa, Kek?”
“Semalam…. Rama mabuk?”
Rebecca mengangguk pelan dan menceritakan apa yang terjadi.
“Maaf Kakek gak ngomongin ini sama kamu. Agama keluarga Kusumadiningrat memang agak kurang, termasuk Kakek yang baru memperdalam saat hari tua. Mungkin Rama masih sholat, tapi tidak pernah lebih dari itu. Mengaji saja mungkin sudah lupa, terakhir kali dia sekolah agama waktu kecil.” Itu sebabnya Kakek memaksa Rama menikah dengan perempuan pilihannya. Karena jika Rama berubah, maka anggota keluarga yang lain kemungkinan ikut. “Kakek udah lama menormalisasi mabuk gitu, sekarang Kakek gak mau. Tolong jangan tinggalin Rama.”
“Nggak mungkin, Kakek.” Rebecca tertawa. “Becca gak akan ninggalin Mas Rama. Kalau itu tujuan Kakek, jangan khawatir dan percayakan sama Becca. Bakalan Becca bikin dia jauhin hal yang gak disukai sama Allah.”
Senyuman Kakek ismail tidak bisa ditahan. “Terima kasih banyak. Tolong bantu dia Kembali pada jalan yang benar. Sholatnya mungkin bolong-bolong juga, tolong kamu bantu ya. Kalau bisa… Kakek pengen cicit dari kalian sebelum Kakek meningga.”
“Jangan ngomong gitu, kami pasti jadi keluarga SaMaWa. Kakek doain aja,” ucap Rebecca malu-malu.
“Janji ya jangan ninggalin Rama.”
“Iya, Kakek, becca janji.” Karena begitu besar perasaannya untuk sang suami.
***
Rama inget terakhir kali dia tidur di mobil, dan sekarang sudah di Kasur? Saat pintu terbuka, Rama sudah menduga siapa yang masuk.
“Mas, heheheh. Aku mau packing baju kamu.”
“Gak usah, saya sendiri aja.”
“Gak papa sama aku juga. Sekalian mau beresin kamar. Mas mandi aja, nanti kita sarapan bareng ya.”
Sudah tidak mau berdebat, Rama masuk kamar mandi melewati sang istri yang terus saja tersenyum. Saat sudah masuk, Rebecca tersenyum senang karena dia bisa memilih baju yang seksi untuk Rama. Apalagi disana sedang musim gugur, rasa dingin mungkin akan membuat Rama memeluknya.
Rebecca yang terus saja bertingkah berusaha mendekatinya itu diabaikan oleh Rama, dia makan dengan tenang sambil memeriksa laporan. Selama dua minggu dia akan berada di Jepang, jadi tidak akan memegang pekerjaan.
“Mas ih denger apa yang aku bilang nggak sih?” rengek Rebecca. “Aku mau ke tempat-tempat ini loh… Kan kakek sediain tempat tidurnya aja dan beberapa tempat yang harus didatangi. Sisanya masih bis akita pilih.”
“Lihat nanti aja.”
“Mau ke hotel dulu atau ke villa? Enaknya sih menyepi dulu gak sih, Mas? Yuk kita ke villa dulu.”
“Di kota aja dulu.”
“Jadi di hotel? Okedeh aku milih tempat yang sekitaran kota.”
Rama tidak mendengarkan dan focus saja pada ipad. Tidak membuat Rebecca berhenti mengganggu dengan menyuapi sang suami dengan paksaan. “Enak kan? Itu buatan istrimu loh, Mas. Beuhhh mantap banget ‘kan? Kakek aja tadi suka.”
“Kakek tadi kesini?”
“Iya ngasih aku koper gak tau isinya apa, katanya buat disana.”
“Ngapain aja dia kesini?”
“Minta aku buat terus mencintai Mas selamanya, hehehehe.”
“Saya kenyang, kamu yang makan.” Karena sedari tadi Rebecca tidak makan camilan itu sama sekali.
Melihat Rama yang pendiam, Rebecca terus saja menempel pada sang suami Ketika di bandara juga. Disana mereka bertemu dengan keluarga Rama yang sama akan pergi ke Luar Negara karena ada urusan. “Dia gak bisa tahan sama dingin, perhatiin dia baik-baik ya, jangan sampai dia kenapa-napa.”
“Ya ampun, Mama. Jangan khawatir, nanti Rebecca peluk kalau dia kedinginan, hehehe. Iya ‘kan, Mas?”
Rima menghela napas melihat Rama yang tidak menanggapi dan tetap menatap datar pada ponselnya. Sampai Rima berbisik pada sang anak, “Mama dulu hampir dijodohin sama orang yang gak Mama cintai, jadi tahu betul rasanya menderita. Bertahan aja ya, Mama nanti cari jalan keluar.”
Rama mengerutkan kening mendengar itu. “Ayok berangkat.”
Kakek menyedikan kelas satu di pesawat. Padahal dulu Rebecca sering naik pesawat, tapi setelah tiga tahun dia merasa asing lagi. Mual-mual dan tidak bisa duduk tegak hingga terus saja menjadikan paha Rama sebagai bantalan.
“Mas…,” rengeknya.
“Lihat kemana wajah kamu, Becca.”
“Wangi, aku suka. Bikin aku gak pusing tahu.” Sambil menguburkan wajahnya di sellangkangan Rama.
Pria itu tidak tahan dan memaksa Rebecca untuk duduk tegak. “Lihat ke jendela, kamu gak akan pusing.”
“Hoekkk!” Seketika Rebecca langsung muntah, berulang kali sampai wajahnya pucat. Air hangat dan obat dari pramugari tidak membantu banyak. “Kayaknya Allah rindu aku sampe mau dibawa pulang ini.”
Rama menghela napasnya dalam sebelum menarik lagi bahu sang istri untuk berbaring di pangkuannya. “Jangan melewati batas.”
“Gak ada batas antara istri dan suami,” ucapnya malah mengubur wajah semakin dalam.
Rama menggigit pipi bagian dalamnya untuk beberapa saat. Ditambah lagi Rebecca terus mendessah beberapa kali Ketika terjadi turbulensi. “Anghh… anghhh…. Mas.”
Membuat otak Rama terasa ingin copot.
***
Kali ini giliran Rebecca yang tidak inga tapa-apa. Begitu membuka mata, dia langsung melihat langit-langit kamar hotel yang begitu mewah. “Mas?” panggilnya.
Pria yang sedang menelpon dibalkon itu menoleh. “Udah bangun?”
“Mual.”
“Ada air hangat di nakas, sama obat juga. Saya mau ketemu teman dulu, sekalian beresin urusan. Nanti kamu makan malam diantar kesini.”
“Mau ikut sama kamu, Mas.”
“Kamu juga masih lemes kan?”
“Udah enggak sekarang,” ucapnya langsung bangun dan meraih air hangat untuk minum obat. “Tuh langsung enak banget ini tubuh. Aku ikut ya, Mas. Masa ditinggal sendirian disini.”
“Yaudah siap-siap dulu.”
“Yeayyy!” Rebecca bertepuk tangan riang. Dia segera mandi bergantian dengan Rama. Saat pria itu keluar kamar mandi, Rebecca sudah siap dengan gamis pink dan cadar menutupi wajahnya. “Kenapa liatin aku kayak gitu?”
“Gak mau dibuka itu cadar? Kayaknya itu bukan kewajiban kan?”
“Menurut sebagian ulama mazhab Syafi'i memakai cadar hukumnya sunnah, bahkan sebagian ulama menghukuminya wajib.”
“Kamu ikut aliran mana?”
“Aliran yang bikin aku terjaga buat suami. Emang Mas mau wajah cantik aku dilihat sama banyak orang? Nih dulu aja aku ditembak 10 orang sehari.”
“Untung gak mati.”
Rebecca tertawa mendengarnya dan langsung merentangkan tangan memeluk sang suami. Rama yang sedang memakai jam tangan itu tidak bisa berbuat apapun. “Lepas ayo, kan kita mau berangkat.”
“Okee dehh ayok.”
Mereka berada di Tokyo untuk minggu pertama, dengan hiruk piruk kota. Mobil bahkan sudah disiapkan oleh Kakek ismail dengan Rama yang menyetirnya sendiri. Mereka masuk ke sebuah restaurant pinggir jalan dengan antrian sampai luar. “Loh? Kita antri juga, Mas?”
“Enggak, kita udah pesan khusus,” ucapnya keluar lebih dulu.
Rebecca malah menginjak permen karet, dia merengek dan membersihkannya dulu. Membuat Rama yang sebelumnya sudah melangkah itu Kembali mendekati istrinya. “Ayok.”
“Udah bersih. Ayok lanjut lagi.” Rebecca melingkarkan tangannya di lengan sang suami, Rama yang sudah Lelah bicara itu mengabaikannya saja. “Lucuuu banget interiornya, serasa lagi dizaman penjajahan.” Sambil menggesekan pipinya manja ke lengan Rama.
Focus pria itu pada seseorang yang sudah menunggu di tempat. Begitu mata mereka beradu, sang Wanita memekik dan langsung berlari memeluk Rama tanpa menyadari seorang perempuan disampingnya. “Aku rinduuu banget sama kamu, Ramaaa….”
Yang mana membuat Rebecca menahan napasnya disana. “Mas! Ihh kamu kok dipeluk sama perempuan lain sih?”
“Mel, lepasin dulu.”
“Kamu gak rindu gitu sama aku?”
“Iam, tapi lepasin.” Mendorong pelan tubuh Wanita itu. “Aku gak datang sendiri kesini.”
“Dia siapa? Adek kamu? Arimbi sekarang jadi Muslimah?”
“Heloooooo, Mbak. Saya istrinya Mas Rama,” ucap Rebecca kesal. “Yang Mbak peluk itu suami saya.”
Melani terlihat kaget, dia tertawa hambar dan menatap Rama. “Kamu udah nikah, Ram? Serius? Dia bohong ‘kan?”
“No, dia memang istri aku. Namanya Rebecca. Dan Rebecca, ini Melani. Kami dulu teman satu kampus.”