Sisi Lain

1988 Kata
Efek kemarin salah jalan, Rama menjadi agak demam. Dia tidak keluar dari kamar di pagi hari, dan itu membuat Rebecca khawatir. Pikirnya, tangan Rama yang terkena air panas Kembali terasa sakit. “Mas? Aku masuk ya?” Karena ini sudah hampir siang, awalnya Rebecca memberikan waktu dulu. “Mas?” suaranya panik melihat Rama yang masih di atas ranjang, segera menyentuh dahi sang suami. “Ih kamu demam, Mas. Bangun ayok, kamu harus makan terus minum obat.” “Saya Cuma butuh istirahat.” Rama terbangun karena berisiknya sang istri. “Jangan ganggu saya.” “Lusa kita ke Jepang loh, Om. Kalau sakit nanti gak bisa berangkat. Ayok bangun.” “Nanti juga sembuh. Keluar dulu dari kamar saya. Tolong,” ucap Rama dengan suaranya yang parau, dia bahkan sudah membelakangi tubuh sang istri. “Kayaknya gak bakalan sembuh cepet, aku bilang ke Kakek aja kalau gak jadi ke Jepang ya.” Begitu Rebecca hendak berdiri, Rama menahan tangannya. “Saya bakalan sembuh besok juga.” “Aku baru bisa tenang kalau Mas udah makan sama minum obat. Ayok bangun dulu.” “Habis itu jangan ganggu saya. Saya mau istirahat.” “Iya! Aku ambilin dulu makanannya!” Rebecca senang karena dia bisa menyuapi Rama walaupun memaksa pria itu. Rama tidak bisa lagi mengancamnya dengan surat tanah karena semua itu sudah didapatkan oleh Ayahnya. Rebecca hanya ingin dekat dengan sang suami dan mencari celah untuk menyenangkannya. “Satu suap lagi, Mas. Ayok makan.” Rama menurut, begitu pula saat disuapi obat. Setelahnya Rebecca tidak pergi, dia malah naik ke atas ranjang. “Mas jangan dulu tiduran, sandaran biar aku bisa pijet kakinya.” “Kamu bilang mau kasih saya waktu istirahat.” “Ya kan ini juga istirahat, mana sambil dipijat juga.” “Maksud saya kamu keluar kamar.” Rama memicingkan mata melihat Rebecca yang tetap memijat kakinya. “Kamu gak ada kuliah gitu?” “Ada, tapi aku mau berbakti sama suami.” “Saya rasa udah ngasih kamu kode buat biarin saya sendirian.” “Tapi aku takut Mas butuh sesuatu, makannya stand by disini. Mas gak bisa ancam aku lagi, soalnya semua tanah udah didapetin sama keluarga aku. Jadi izinin aku jadi istri yang baik.” Rama menghela napasnya dalam. “Pernikahan ini karena ada kesepakatan, kamu gak perlu merasa terbebani harus melayani saya, Rebecca. Main aja sama temen-temen kamu, jalan-jalan atau belanja. Saya akan tetep kasih uang buat kamu, gak akan biarin kamu kekurangan.” “Tuh… Mas udah kasih aku segala hal, kenapa masih dorong aku buat menjauh? Kenapa kita gak bangun aja rumah tangga?” tatapan matanya yang membuat Rama berpaling. “Kamu bakalan terluka sendiri, saya gak tertarik sama pernikahan.” “Kenapa? Kan nikah itu ibadah, Mas. Ibadah yang paling nikmat loh, makannya Mas nyicip dulu biar nanti bisa jadi pertimbangan.” “Saya ragu sama yang Namanya cinta.” “Gak usah bangun pernikahan karena cinta, tapi karena Allah, Mas.” Rebecca ingin mengatakan betapa dia mencintai Rama, tapi dia masih punya harga diri. Jadi tujuannya adalah membuat Rama jatuh cinta dulu padanya. “Kita udah dalam ikatan rumah tangga, udah seharusnya kita jalaninya dengan baik ‘kan?” “Ini cara saya jalani dengan baik. Saya penuhi kebutuhan materi kamu dan keluarga kamu, tapi tidak bisa melewati batas.” “Yaudah…” Rebecca mengehela napasnya. “Gak bisa maksa, aku juga gak bisa maksain terus bertahan di suhu ruangan yang panas ini,” ucapnya sambil membuka pakaian. “Kamu mau ngapain?!” “Gerah, Mas.” “Keluar sana. Terima kasih pijitannya, saya mau istirahat sekarang.” “Gak mau ah, aku mau tetep disini jalani kewajiban sebagai seorang istri.” Setidaknya Rebecca tidak hanya meminta uang saja. “Aku telanjang di depan Mas mah gak papa loh, kan udah sah.” “Tapi saya gak nyaman, becca.” “Mas harus memaklumi aku juga dong yang gerah. Lagian kalau tubuh aku bikin Mas tergoda, akumah silahkan aja. Udah siap ngangkang.” Kepala Rama langsung diserang rasa sakit, dia memalingkan wajah dan menghela napas dalam. Tidak peduli baru saja selesai makan, Rama langsung berbaring untuk menghindari pemandangan di depannya. “Loh Mas kok malah balik badan sih? Aku belum selesai mijitin nih.” Daripada terus mendorongnya, rama lebih baik mengabaikannya saja. *** Saat hari mulai siang, Rama merasa lebih baik. dia mandi untuk menghilangkan rasa kantuk dan keluar kamar mencari air dingin. Hal mengejutkan yang Rama lihat di dapur adalah Rebecca yang masih memakai pakaiian dalam, dan sekarang dia sedang menurunkan salah satu brranya karena gatal. “Duhh panasnya.” “Becca, kenapa kamu gak pakai baju?” “Mas udah mendingan?” perempuan itu berlari, membuat Rama melihat milik Rebecca yang naik turun. “Ihh iya udah dingin. Tuh kan kata aku juga harus minum obat, untung nurut.” “Pakai baju.” “Gak papa toh didepan suami sendiri. Lagian AC disini mati, aku gerah, Mas. Mana lagi bikin jamu buat kamu nih.” Berbalik ke arah kompor, Rama jadi sakit kepala lagi. “Duduk dulu, aku bikinin makan siang sekaligus jamu buat Mas.” “Pakai bajunya, saya gak nyaman lihat kamu kayak gitu.” “Ya gak usah dilihat atuh, Mas. Aku berani gini depan kamu doang loh, yang bisa gimanain aku kapanpun juga.” Rama menarik napasnya dalam. Memilih untuk mengabaikan Rebecca dan berjalan ke kulkas mengambil air dingin. Kulkas yang ada di dekat Rebecca membuat sang istri mengambil kesempatan menatap sang suami diam-diam, senyumanya mengembang sampai Rebecca tidak focus dengan goreng ayam yang sedang dia masak. Akibatnya, minyak meledak hingga Rebecca menjerit dan melangkah mundur yang langsung mengenai Rama yang juga kehilangan keseimbangannya. BRUK! “Aaaa! Dinginnn!” Rebecca langsung membuka pakaian bagian atasnya. “Aduhhh, daada aku lecet. Aduhh perihhh! Itu air apa?” “Itu air lemon.” Rama ikut panik melihat buah daada Rebecca memerah. Dia bantu sang istri bangun kemudian mengambil tissue untuk mengeringkannya, juga dengan tissue yang dibasahi air keran. “Masih perih?” Rebecca yang duduk di kursi itu sampai menahan napas melihat Rama menunduk dan sejajar dengan daadanya, dia gugup juga walaupun sering menggoda. “Di deket puttingnya itu ada luka, masih perih.” “Disini?” “Iya… anghhh.” Rama langsung diam, sadar dengan apa yang dilakukannya. “Lanjutin aja lagi, Mas. Kan udah gak dosa walaupun lihat seluruh tubuh aku. Tuh masih merah.” Rama tetap merasa bersalah meskipun ini ulah Rebecca juga, dia tetap mengeringkan daada sang istri. Sambil menahan sesuatu karena Rebecca terus saja mendesah. “Loh Mas? Rambut kamu gak rapih.” Tiba-tiba saja Rebecca mengelus rambut bagian belakang Rama. Tatapan Rama naik, pandangan mereka beradu dan sama-sama diam. Rebecca gugup ditatap layaknya mangsa, dia menciut dan bingung harus bagaimana sekarang. Namun saat wajah Rama mendekat, Rebecca tidak membuang kesempatan dan menarik tengkuk sang suami hingga bibir mereka beradu. TING TONG! Sedetik kemudian bel berbunyi, bersamaan dengan Rama yang menjauhkan diri. “Pake bajunya, itu mungkin tamu saya.” Seolah tidak terjadi apa-apa meninggalkan Rebecca yang sudah hampir telanjjang. Rebecca kesal dengan tamu yang datang, itu sepasang suami istri yang hendak meminta bantuan Rama sebagai pengacara. Untungnya, perempuan Bernama Mikha itu mengajari Rebecca cara menggoda suami Ketika mereka berdua di kamar; tamunya meminjam baju Rebecca karena terkena air. Jadilah perbincangan yang dalam, Rebecca mendapat ilmu baru untuk mengambil hati Rama lewat tubuhnya. “Manfaatin tubuh seksi kamu. Walaupun pakai baju gamis dan berkerudung, gak jadi penghalang kalau dirumah sama suami bisa jadi kucing garong.” *** Setelah tamu pergi, Rama juga hendak pergi. “Saya ada urusan di kantor.” Kemudian pergi begitu saja. Rebecca yang hendak mempraktekan hal-hal yang diajarkan Mikhaila itu jadi tertahan. Sendirian di apartemen sambil melamun. “Hmmm… beresin aja apartemen deh biar si Mas Bahagia.” Sampai memanggil tukang AC untuk memperbaikinya. Sampai malam tiba, Rama belum pulang juga. Rebecca tetap khawatir meskipun pria itu menjawab sedang bekerja. Tapi kerja apa yang sampai larut malam begini? Sampai menuju larut malam, Rebecca tidak tenang dan memilih untuk menyusul sang suami ke kantor dengan supir yang memang disediakan Rama untuknya. Lampu kantor advokat masih menyala, satpam yang berjaga 24 jam mendekat. “Ibu Rebecca?” takut salah mengenal karena bercadar. “Iya, Bapaknya didalam?” “Ada, Bu. Mereka sedang perayaan karena memenangkan sidang. Silahkan masuk.” Semakin Rebecca melangkah, telinganya mendengar riuh sekumpulan orang. TING sampai terdengar suara botol beradu. Dari jauh, Rebecca melihat ada botol alcohol disana. “Mas?” refleks langsung menaikan nada bicara. “Mas minum? Jangan ih, itu haram. Gak boleh.” Yang membuat semua orang terdiam dan menatap Rama serta Rebecca bergantian. “Mas minum? Udah berapa teguk?” “Saya pulang dulu, kalian lanjut pestanya.” Langsung mengambil jas dan kunci mobil, kemudian menggenggam tangan Rebecca untuk keluar dari sana. Bukan tarikan yang kasar, Rama tidak akan pernah berbuat seperti itu. “Kenapa kamu kesini? Saya udah bilang tetep diapartemen kan?” “Aku khawatir makannya nyusul Mas kesini, takut sakit disini.” Rama tidak berucap apapun lagi. “Mas minum?” “Iya.” “Mas, itu dosa loh. Gak baik juga buat Kesehatan. Mas baru aja sembuh. Haram kalau di islam, Mas.” “Kamu dulu lebih dari itu, Becca,” ucap Rama begitu saja. Lima detik kemudian Rebecca tetap diam, dan Rama langsung merasa bersalah. “Maaf.” Dia langsung menyesalinya. “Saya gak ada niatan buat nyakitin kamu. Hanya inilah saya, Rebecca.” “Tapi Mas bisa perbaiki dengan jauhin itu, nanti aku temenin biar jauh dari hal begituan ya.” Karena Rama tidak tahu lagi harus berkata apa, dia mengambil botol minum saat lampu merah. “Uhuk!” sampai dia sadar apa yang diminumnya. Itu alcohol dengan kadar tinggi. “Mas juga nyimpen alcohol di mobil?” Mobilnya dipinjam sang asisten tadi, pasti tertinggal disini. Rama tidak banyak bicara, dia langsung mampir ke minimarket untuk membeli minum. Rebecca yang melihatnya saja sudah tahu kalau Rama mabuk, apalagi kadar alkoholnya tinggi. “Aku aja yang bawa mobil,” ucapnya saat sang suami Kembali. “Mobil saya tadi dipinjem sama asisten saya.” Langsung memberikan kuncinya pada Rebecca. Rama langsung memejamkan mata saat mobil mulai bergerak, pusing melandanya. Alcohol itu kuat sekali sampai dia tidak sadar sudah sampai. Rebecca dengan susah payah membopong tubuh sang suami. “Aduh, Mas yang tegak napa. Mudah teler aja masih berani minum alcohol. Kesel ih.” Pundak Rebecca sampai pegal Ketika dia sampai di kamar menidurkan sang suami. “Asli kamu langsung tidur, Mas?” “Eunghhh?” “Dihhh mabuk dia!” Rebecca menahan napasnya untuk tidak ceramah. “Lain kali jangan deketin alcohol, Mas. Kamu mah gak ahli, dan itu juga haram. Gak boleh nanti gak disayang sama Allah.” Rama malah tertawa. “Sayang? Itu Cuma omongan aja. Gak ada yang Namanya cinta kayak gitu.” “Mulai meracau nih,” ucap Rebecca sambil membuka kancing sang suami. Melihat daada yang liat, Rebecca tidak tahan mengelusnya. Membuat Rama membuka mata dan mencengkram tangan Rebecca seketika. “Aduh sakit, Sayangku.” Kening Rama berkerut. “Rebecca?” “Dalem, Mas. Kenapa? Aku cantik ya? Eh, bentar belum buka cadar.” Kemudian tersenyum lebar pada sang suami. “Mau cium?” Dengan tatapan kabur, Rama berucap, “Bukan kamu yang saya inginkan.” Kemudian tidak sadarkan diri lagi. Rebecca diam sesaat. Mendegus sambil melipat tangannya di daada. “Halahh liat aja bakalan aku bikin Mas gak bisa tidur sebelum mainin putting aku nanti. Lihat aja ya, gak bisa yang nolak pesona aku lama-lama. Enak banget ngomong bukan aku yang kamu inginkan. Udah ah, gak mau ganti baju kamu.” Berbalik hendak keluar. Sebelum mencapai pintu, Rama batuk dan membuat Langkah Rebecca terhenti. “Jangan gitu, Becca. Nanti gak disayang Allah kalau gak jadi orang baik. Yuk balik lagi, kita cium aja bibirnya biar marah kita hilang.” Kembali lagi pada Rama dan mengelus rambutnya. “Aku ganti bajunya biar nyaman ya, Mas Sayangku yang seksi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN