Rhea 16

2343 Kata
Drian disambut oleh tangis Rhea dan Ale begitu ia membuka pintu. Ale menangis di dalam pangkuan Kakeknya sedangkan Rhea, bocah itu menangis sambil menangkup wajah Bapak. Rhea Davina menoleh pada Om Drian yang baru pulang. “O-” Rhea tersedak ludahnya sendiri kemudian kembali berujar disela isaknya, “Om, kenapa Bapak tua banget?” tanya nya masih sambil menangkup wajah mertuanya Adrian Russel. “Sayang, kamu ga hamil lagi, ‘kan? Melow banget padahal baru beberapa minggu ga ketemu Bapak.” Setelah mengatakan kalimatnya, Drian menggiring Rhea ke dalam kamar. Ya, menggiring. Akan lebih mudah jika Rhea Davina adalah benda bulat yang selalu berada di lapangan hijau karena Drian ingin sekali menggiringnya dengan kedua kakinya. Bisa-bisanya dia memanggil Drian dengan kata “Om” di depan satu-satunya mertua pria itu. Mana Bapak belum budeg-budeg amat. “Aku mau pulang!” Drian memejamkan kedua matanya kemudian menarik napas melalui hidung sehingga lubang hidung pria itu mengembang. “Aku mau pulang, Om. Ini bukan zamanku. Di sini Bapak udah tua dan Ibuk udah ga ada. Aku ga mau mereka tua. Pokoknya ga boleh! Aku mau terus sama Bapak sama Ibuk sama Tante.” “..” “Aku ga mau terus-terusan disini Om. Ga mau punya anak! Mana nikahnya sama Om pula.” “Rhea!” pekik Drian yang sudah kehilangan kesabaran. Membuat remaja itu langsung menutup rapat mulutnya. Meski berhasil membuat Rhea bungkam, nyatanya Drian tetap menyesali tindakannya itu karena Bapak di luar sana pasti bisa mendengar bagaimana anak kesayangannya dihardik oleh menantu yang sejak awal tidak benar-benar ia sukai. Bukan karena Drian punya catatan hitam atau cacat di mata Bapak. Tapi lebih ke bagaimana Rhea mengejar-ngejar Drian. Membuat seolah-olah Drian adalah pria paling sempurna padahal sebenarnya tidak. Rhea saja yang keterlaluan. “Kamu harus pura-pura jadi istriku. Jangan panggil Om. Panggil Drian, Dri atau Sayang. Kamu mau buat Bapak stroke waktu tau anak perempuannya balik jadi remaja?” Tapi Rhea tidak setuju. Kenapa ia harus berbohong pada Bapaknya sendiri. Apa belum cukup Rhea yang pura-pura jadi istrinya Om Drian di depan tetangga mereka? Kalau Om Zaki yang bukan siapa-siapa boleh mengetahui apa yang telah terjadi, kenapa Bapak tidak? “Karena Bapak bisa kena serangan jantung-” “-Tadi stroke,” ucap Rhea yang hanya membuat Drian semakin ingin meletakkan remaja itu di atas kuku jempol kirinya kemudian ditindih dengan kuku jempol kanan. Tepat seperti kutu rambut manusia. “Oke, bilang aja. Bilang sama semua orang. Biar nanti kamu di tangkap sama pemerintah dan dijadiin bahan eksperimen ilmuan-ilmuan giila negeri ini.” Akhirnya Rhea diam sediam-diamnya. Disuntik saja dia enggan apalagi jadi bahan percobaan ilmuan-ilmuan gila seperti yang Om Drian katakan. Di luar sana, Alesha sudah berhenti menangis. Bocah itu menangis karena menyimak orang yang selama ini sering menjaganya. Melihat Rhea menangis sejadi-jadinya, bocah itu mulai mengeritingkan bibirnya kemudian lama-kelamaan ikutan menangis. Tapi sekarang, karena yang ia tiru atau contoh sudah tidak ada bersamanya, bayi itu kembali tenang meski matanya masih basah karena air mata. “Kita lihat apa yang Papa sama Mama kamu lakukan,” ucap sang Kakek pada Alesha. Pria itu tau bahwa Rhea dan menantunya sedang berada di dalam kamar mereka. Tempat paling pribadi bagi keduanya. “Kalian sudah selesai?” tanya Dito. Meski pria itu menggunakan kata ‘kalian’, tapi semua orang terlebih Drian tau pada siapa kalimat tanya itu dilontarkan. “Maaf, Pak,” ucap Drian. Kemudian disinilah keduanya berada. Duduk dengan di atas lantai, di depan Bapak yang duduk di sofa. “Hanya karena Bapak minta kamu untuk berjanji ga pernah menyakiti fisik Rhea, bukan berarti kamu boleh meneriaki anak bapak Adrian Russel!” Dito melirik pada menantunya yang menunduk sama seperti yang sedang dilakukan Rhea. “Terlepas dari kemungkinan Rhea bertingkah aneh karena sedang mengandung!” “Aku mengandung? Hamil maksud Bapak-Akh?” Rhea langsung meringis begitu ruas-ruas jari Drian memukul lututnya. Kamu paham, ‘kan? Ruas-ruas jari yang ditekuk tapi tidak sampai membentuk kepalan tangan. “Bapak ga budeg Rhea. Bapak dengar kalimat suami kamu tadi.” Nah, ini maksud Drian. Bapak Mertuanya belum budeg. Tapi malang bagi Drian karena Bapak tidak terlalu mendengarkan kata sapaan yang Rhea gunakan padanya. Karena saat itu Bapak terlalu sibuk dengan tangisan Rhea dan juga cucunya. Rhea yang sudah tidak menunduk kembali mendapati wajah Bapak yang ia sesalkan kenapa jadi setua itu. Remaja itu bangkit untuk kemudian mendudukkan dirinya di samping Bapak dan langsung memeluk pria itu. Dan Drian melihat dengan matanya sendiri bagaimana Bapak mengelus kepala Rhea dengan tangan yang tidak digunakan untuk memegang Ale. Bagaimana Bapak bisa tidak menyadari ada yang aneh pada putrinya? Drian masih bertanya-tanya ketika Bapak mengeluarkan senjata mematikannya. “Kamu mau pulang sama Bapak?” “Pak!” “Sekarang kamu neriakin Bapak, Dri?” Drian kembali gelagapan. Kali ini Drian ikutan berdiri dan duduk di samping Bapak di sisi kanan. Meski terbata-bata akhirnya Drian bisa memberikan alasan bahwa ia tidak bisa membiarkan Rhea dibawa oleh Bapak karena Ale masih butuh Rhea. Memangnya Bapak rela cucu satu-satunya kelaparan mengingat Ale masih mendapatkan ASI ekslusif? “Siapa bilang Bapak cuma mau bawa Rhea seorang? Ale tentu harus ikut Mamanya. Ale bisa hidup tanpa kamu tapi engga dengan Rhea.” Rhea yang berada di sisi kiri langsung membungkukkan badannya seolah hal tersebut bisa menyembunyikan dadanya. Secara tidak langsung Om Drian dan Bapak sedang membahas barang pribadi miliknya. Di depan batang hidungnya langsung. “Sayang,” panggil Drian pada remaja yang hanya berjarak tiga perempat meter darinya itu. Sedangkan Rhea, dipanggil demikian tepat di depan Bapaknya membuat remaja itu merasa tidak nyaman. Saat Om Drian memanggilnya dengan cara yang sama untuk yang kedua kalinya, Rhea menyerngitkan hidungnya sampai gigi depannya kelihatan. “Apaan si, Om?” mungkin itu kira-kira arti kernyitan hidung Rhea Davina. “Rhe, kamu bantu jelasin dong sama Bapak,” ucap Drian. Segagah-gagahnya dia, kalau di depan Bapak mertua ciut juga. Mana minta bantuan pada Rhea yang jelas enggan membantu. “Rhe, aku ga kaya ilmuan-ilmuan gi-” “-Tadi itu Drian ga marah beneran kok, Pak,” ucap Rhea cepat-cepat setelah mendengar kata ilmuan yang Om Drian sebut. Mengingatkannya pada ketakutannya untuk menjadi kelinci percobaan. Bapak mendengus. Rhea memang selalu membela suaminya apa pun yang terjadi. Sedangkan Alesha yang berada di pangkuan Kakeknya sedang memasukkan jempol ke dalam mulut dan menghisapnya. Rhea kembali melanjutkan kalimatnya. Bahwa ia menangis dan Drian hanya mencoba menenangkannya. Karena Rhea tidak bisa berhenti makanya Drian agak mengeraskan suaranya. Dan yang menjadi alasan kenapa Rhea sedih adalah kesadarannya bahwa orang tuanya sudah tua. Rhea mengaku semakin sadar akan hal ini ketika Bapak minta ditemani untuk membuat kaca mata baru karena milik beliau sudah patah dan sudah tidak bisa membantunya melihat seperti beberapa tahun yang lalu. Disanalah Drian tau apa alasan sebenarnya Bapak datang ke apartemen hari ini. Ternyata Bapak tidak menyadari keanehan pada Rhea karena beliau tidak memakai kacamatanya. “Ale ga bisa kalo ga tidur sama Papanya, Pak,” aku Rhea yang sama sekali tidak berbohong. Dito menggenggam tangan putrinya. “Kamu selalu punya Bapak sebagai tempat pulang kalau suami kamu tidak memperlakukan kamu dengan baik, Rhea.” “Bapak harus berumur panjang biar aku selalu punya tempat pulang,” ucap Rhea dan hanya Tuhan saja yang tau bagaimana hati sepasang anak dan Bapak itu pedih dengan kalimat barusan. “Bapak pasti panjang umur karena Bapak ga percaya sama suami kamu.” “Aku dengar Pak.” “Bagus kamu dengar,” celetuk Rhea mendahului Bapak yang berniat mengatakan tiga kata tersebut dengan urutan persis. Dan hari itu Drian mengetahui bahwa selama satu setengah tahun terakhir Bapak menyembunyikan atau lebih tepatnya ia dan Rhea tidak tau bahwa penglihatan Bapak semakin parah. Terbukti dari resep kaca mata baru beliau. Drian rasa, ia tau dari mana Rhea mendapatkan salah satu sifatnya yang tidak pria itu sukai. Sifatnya yang cenderung menyimpan semuanya sendiri. Kini Drian berjalan di belakang Bapak dan Rhea. sedang di bahu kanannya, kepala Ale sudah terkulai. Bayi itu tidur sambil menunggu kacamata Kakeknya jadi. “Gimana kaca mata baru Bapak?” tanya Rhea yang mengalungkan tangannya di sekeliling lengan Bapak. “Terang banget. Sampai bikin kamu yang udah punya anak ini kaya anak Bapak yang baru mau lulus SMP.” Tidak sepenuhnya berbohong karena bagi Bapak, Rhea tetap akan menjadi bayi kecilnya sampai kapanpun. Rhea malu mendengarnya karena kenyataannya dia adalah siswi SMA. Siapa yang tidak girang saat disebut seperti bocah SMP, bukan? “Bapak bisa aja,” ucapnya dengan sebelah tangan menyentuh pipi yang sudah pasti merona. >>> “Ini apa?” tanya Rhea pada Drian yang mengulurkan delapan lembar pecahan seratus ribu. “Ambil aja. Buat elo. Bukan dari hasil jual cincin, kok.. tenang aja.” Drian mengingat bagaimana ia datang ke kampus tempat Papanya mengajar kemudian mengantri bersama lima orang mahasiswa yang ada janji temu dengan Papa untuk kemudian meminta uang. Hal yang harusnya tidak pernah ia lakukan. Aslan Russel tentu kaget melihat putranya. Kenapa Drian tidak menelfon saja. Pertama karena bagi Drian saling telfon itu hanya untuk dua orang yang akrab. Yang mana hal itu juga sangat kontradiktif dengan apa yang sedang ia lakukan, yaitu meminta uang pada orang yang tidak dekat dengannya. Dan kedua mau dikirim kemana uang tersebut karena Drian sudah kehilangan ATM miliknya. “Aku kan udah boleh tinggal di rumah kamu. Itu aja cukup kok,” ucap Rhea yang semakin tidak nyaman karena uang tersebut semakin diulurkan padanya. “Buat beli keperluan lo. Beli baju biar ga pake baju gue melulu. Beli persediaan datang bulan lo,” ucap Drian yang enggan jika kata ‘pembalut’ meluncur dari mulutnya. Rhea memejamkan matanya mendengar sepasang remaja yang juga sepasang kekasih bertengkar karena dirinya. Satu-satunya yang Rhea pikirkan sekarang adalah kenapa ia tidak pakai KB yang lain selain pil yang biasa ia telan. Salahkan Rhea yang terlalu takut dengan jarum suntik sehingga pilihannya mentok pada obat telan satu itu. Sejak Drian pulang, terlambat seperti biasa tentu saja, Rhea sudah minta tolong pada bocah itu untuk membelikannya pembalut. Padahal Rhea tidak banyak maunya. Hanya minta Drian membelikan pembalut apa pun yang bisa ia dapatkan. Tidak menyebutkan merek favoritnya, tidak meminta panjang tertentu. Tidak menyulikan Drian lah pokoknya permintaan tolongnya itu. “Lo bisa suruh gue apa aja tapi engga yang satu itu.” Itu adalah jawaban yang Rhea dapatkan dari pria yang telah membuatnya melahirkan seorang anak manusia. Tapi Rhea tidak bisa bertahan tanpa pembalut. Dia bisa membuat rumah ini seperti medan perang kalau tidak pakai pembalut. Makanya saat Drian mandi, Rhea mencuri ponselnya dan menelfon ‘calon adik iparnya’. Meminta Manda untuk datang dan membawakan pembalut juga minyak angin. Rhea selalu masuk angin saat tamu bulanannya datang. Tidak pernah terlalu memikirkannya apalagi memeriksakan diri ke dokter. Yang ada wanita itu bisa pingsan duluan sebelum mendengar diagnosis dokter. Dan seperti ‘calon adik ipar’ kebanyakan, Manda langsung datang membawakan semua yang Rhea butuhkan. Sayang sekali hal itu membuat Drian marah besar. Karena katanya, jika Drian saja tidak melakukan hal yang Manda lakukan untuk Rhea, kenapa Manda harus melakukannya? Mudahnya gini, Drian aja ogah kok, kenapa Manda sampe repot-repot? Mana rumah Manda lumayan jauh dari rumahnya Drian. “Karena aku mau pacarku juga melakukan hal yang sama saat aku sakit!” pekik Manda kesal. Drian terlihat jijik pada apa yang sedang mereka bahas. Seolah datang bulan adalah masalah sepele dan perempuan harus menanganinya sendirian. “Kalo kamu segitu jijiknya sama datang bulannya kaum aku, kenapa kamu ga pacaran sama b*****g aja Dri?!” “Kita beneran berantem gara-gara Rhea, Mand? Kamu lebay banget tau ga? Rhea udah gede dan harusnya dia tau gimana cara ngurus diri sendiri!” Ingatan Drian berhenti pada kalimatnya tentang Rhea yang bisa mengurus diri sendiri. Sebenarnya sejak beberapa bulan terakhir Rhea bahkan mengurus Drian. Membangunkan untuk sekolah, mengingatkan membuat PR, memasak, mengurus rumah, mencuci. Semuanya Rhea yang lakukan. Meskipun Drian enggan mengakui ini. Dia hanya terlalu kesal karena masalah sepele jadi dibesar-besarkan. Saat berdua saja dengan Manda, Drian bahkan tidak ingin membahas hal-hal seperti datang bulan. Dan keduanya malah membahas datang bulannya Rhea yang bukan orang penting. Baru setelah dua hari berlalu, Drian sadar bahwa Rhea bukannya tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Wanita itu tidak punya uang untuk membeli keperluannya sendiri. Sejak hari itu, sejak Manda mendiamkannya, Drian pun ikutan mendiamkan Rhea. Ia juga enggan duduk di sofa karena ada darahnya Rhea yang menempel disana. Rasa bersalah Drian muncul saat mendapati Sofa tersebut di dorong keluar rumah oleh Rhea. Lalu wanita itu mencuci sofa almarhum Mama layaknya Drian yang mencuci motornya di depan rumah. Semalam Drian sudah duduk di atas sofa yang Rhea cuci. Tapi wanita itu tidak menangkap sinyal bahwa Drian ingin berbaikan dengannya. Drian sadar bahwa diamnya membuat Rhea merasa serba salah. Padahal Drian lah yang mengizinkan wanita itu untuk tinggal di rumahnya. Drian juga mulai merasa tidak nyaman karena Rhea yang ia kenal, meski belum terlalu lama, adalah wanita sok tau dan banyak bacot. Bukan yang menutup mulutnya dua puluh empat jam. Drian juga khawatir dengan keadaan mulut wanita itu yang tidak digunakan begitu lama mengingat hanya Drian saja orang yang Rhea ajak bicara. “Ini dapat dari mana? Uang celengan?” tanya Rhea yang merasa seperti botol plastik air mineral yang terombang ambing di lautan. Kadang Drian baik, kadang engga. Belum lagi pikirannya sendiri yang tidak stabil dan masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Tidak ada tanda-tanda bahwa semuanya akan kembali seperti semula. Rhea sudah menghabiskan beberapa bulan di rumah ini. “Pembagian uang kas kelas.” “Sebanyak ini?” “Kan.. mulai bacot lo, ‘kan.” Padahal Drian masih bicara dengan nada ketus tapi Rhea menarik bibirnya membentuk senyuman tipis. “Apa-apa minta tolongnya ke gue aja. Kalo gue nolak kaya kemaren cukup ancam gue dengan elo yang bakal ngadu ke Manda. Gue pasti langsung gercep,” ucapnya yang tersenyum samar karena Rhea menerima uang tersebut. Anggap aja Rhea adalah kucing peliharaan gue yang keperluannya banyak. pelet, mainan, pasir buat BAB, vaksin. Dan dengan pemikiran barusan, senyum Drian semakin tegas. Meski kucingnya ini butuh banyak uang, Drian janji akan mencari cara selain meminta uang pada Aslan Russel. Si Dosen bandot yang imannya tidak cukup kuat sampai jatuh cinta dengan mahasiswanya sendiri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN