Rhea 18

1501 Kata
“Kamu becanda!” tuduh Manda pada Drian yang bahkan belum menurunkan standar motornya juga belum membuka helm yang mantan pacarnya itu gunakan. Apa sih yang Adrian Russel bayangkan ketika Manda memutuskan hubungan mereka hari itu? “Apa gunanya kita putus kalau kamu masih ngelakuin hal-hal yang pacar aku biasanya lakukan?” tuntut Manda pada Drian yang mengabaikannya dan langsung berjongkok di dekat Abang-Abang yang sedang memperbaiki motor Manda. “Pacarnya, ya?” Tidak, pertanyaan ini bukan untuk Drian melainkan Manda. “Mantan, Abang ga dengar omongan saya barusan?” tanya Manda pada Abang-Abang yang membantunya mengatasi kebosanan selama tiga per empat jam terakhir. “Bisa selesai malam ini, Bang?” tanya Drian pada pria yang wajahnya sudah hitam. Mungkin karena wajahnya gatal dan beliau menggunakan tangannya yang kotor untuk menggaruknya. “Bisa. Kalian mau malam mingguan, ‘kan? Jemput lagi aja motornya setelah selesai pacaran,” kekeh Dandi. Pria yang mengetahui bahwa Manda, pemilik motor matic yang sedang ia perbaiki ini, pasti sangat kesal karena dia terus menganggap pria tampan yang sedang bicara dengannya ini adalah pacarnya. Dandi bicara cukup lama dengan Manda untuk mengetahui cara membuat gadis tersebut kesal. “Kami jemput besok sore aja, Bang. Kasian Abang belum mandi seharian. Mana udah malam.” “Iya kah? Boleh nih?” Dandi juga berceletuk bagaimana punggungnya sudah sangat merindukan ranjang. Pria itu sudah bekerja dari pagi sampai saat ini dengan motor-motor yang serempak rusaknya. Seolah-olah hari ini adalah hari motor mogok sedunia. Sedangkan Drian yang posisinya saat ini sedang membelakangi Manda langsung menyatukan kedua tangannya di depan d**a. “Please..” ucapnya tanpa suara. “Boleh aja, Bang. Tapi saya ga akan bayar sepeserpun,” ancam Manda. “Saya yang bayar, Bang. Tenang aja.” Drian tidak menyangka bisa bertemu dengan orang yang akan sebaik ini padanya. Mengabulkan permintaannya sehingga mau tidak mau Manda tidak punya pilihan selain ikut dengannya. Saat ini Abang tersebut sudah mendorong motor Manda ke dalam bengkel. Drian bangkit dari jongkoknya kemudian berdiri di depan Manda yang menatapnya kesal. “Engga, Manda. Aku ga ngeliat ada gunanya kamu putus dari aku.” “Mana Adrian Russel, cowok paling menyenangkan yang aku kenal?” gerutu Manda mengikuti mantan pacarnya menuju motor yang cukup sering jadi saksi kencan keduanya. “Cowok sakit mana yang bakal bersikap menyenangkan sama cewek yang bukan pacarnya?” cibir Drian. Pria itu sudah kembali mendekati motornya karena Abang pemilik bengkel benar-benar menutup pintu kayu bengkel satu per satu. “Kata orang yang mau aja jemputin cewek yang sama sekali bukan pacarnya,” dengus Manda. Dan Drian tidak bisa menyembunyikan senyumnya mulai dari Manda yang berjalan menghentak-hentakkan kaki mendekatinya sampai akhirnya memeluk pinggang Drian selama perjalanan ke bioskop >>> Drian adalah remaja yang sedang dimabuk cinta. Semua orang bisa melihatnya. Yang tidak semua orang ketahui adalah bagaimana Drian semakin dimabuk kepayang justru setelah remaja itu putus dengan Manda. Hanya Rhea dan Zaki saja tentunya yang mengetahui ini. Rhea yang menyaksikan cengengesan Drian selama berada di rumah dan Zaki yang menjadi korban rengekan sahabatnya sendiri. “Lo kenapa senyum-senyum ngeliatin gue?” tanya Drian pada Rhea yang tepat seperti orang yang sedang kasmaran. Sama seperti dirinya. Tapi seingat Drian pemuda kompleks ataupun hansip kompleks tidak ada yang mendekati Rhea. Jadi apa yang membuat Rhea cengengesan? “Karena ngeliatin kamu cengengesan.” “Kok gue?” “Karena aku bersyukur bisa liat langsung gimana kamu menjalani hidup dengan bahagia,” ucap Rhea tulus. “Siapa bilang gue ga bahagia?” Rhea mengendikkan bahunya. Tapi yang pasti, ia mengenal seseorang yang mengaku tidak pernah benar-benar bahagia setelah ditinggalkan oleh wanita yang telah melahirkannya. Tapi tentu saja tidak selamanya Adrian Russel cengengesan. Sebanyak ia senyum-senyum sendiri melihat layar ponselnya, lebih banyak lagi Drian yang pulang dan menghempaskan semua pintu yang ia lalui. Jika di awal-awal waktu Rhea mulai tinggal disana Drian sering pulang telat, sekarang anak ini bahkan pulang awal. Bagaimana ceritanya anak SMA yang harusnya pulang pukul tiga sore sudah sampai di rumah pukul sembilan pagi? “Please, Ki..” ucap Drian pada ponselnya. Rhea bukan berniat mengintip tapi rumah ini tidak cukup kedap suara sehingga ia bisa mendengar Adrian Russel memohon pada sahabatnya, Zaki, untuk membantunya mendekati Manda. Melalui Adrian Russel yang saat ini ia lihat dengan kedua matanya, Rhea rasa-rasanya bisa melihat bagaimana dirinya dulu saat tergila-gila pada Drian. “Juara tiga kelas gue lagi sensitip,” sahut Zaki dari seberang sana. Drian tentu tidak ingin repot-repot menahan ponselnya di telinga karena kedua tangannya sibuk memainkan stik PS. Rhea mencibir. Selalu seperti ini. Rhea kebagian hempasan pintu dan Zaki kebagian tugas kotor untuk membuat Drian bisa berdekatan dengan Manda. Jujur saja hal ini tidak mengganggu Rhea sama sekali. Ia tidak merasa gelisah atau apapun. Seolah siapapun yang Adrian Russel yang saat ini bersamanya sukai, hal itu tidak akan merubah apapun. Antara Rhea yang percaya hal itu tidak akann merubah apapun atau mungkin jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, Rhea sudah pasrah dengan semua yang akan terjadi. Que sera sera. Tapi lama-lama Rhea tidak bisa tinggal diam. Adrian Russel yang ia kenal adalah pria yang pada akhirnya bisa menghidupi anak dan istrinya tanpa meminta atau pun bergantung pada kekayaan orang tuanya. Jika Drian sesibuk ini untuk mendapatkan Manda kembali, Rhea tidak yakin Drian bisa menempuh pendidikan yang seharusnya. Alih-alih jadi seorang pria bertanggung jawab, Drian bisa jadi beban keluarga. Atau jika keadaan jadi jauh lebih buruk, Drian bahkan bisa jadi beban negara. Maksud beban keluarga adalah jika pria ini tidak bisa melakukan apa-apa untuk dirinya sendiri bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan beban negara, Drian bisa jadi buron atau teroris. >>> Satu pukulan. Dua pukulan. Tiga pukulan. Dan kali ini Rhea mendapat tendangan sebagai balasan. “Bangun ga!” teriak Rhea yang beberapa bulan lalu hanyalah ibu dari seorang bayi perempuan cantik bernama Alesha Zaneta Russel. Tapi sekarang agak-agaknya ia menjelma menjadi ibu seorang remaja yang malas sekolah. “Berisik! Gue ga mau sekolah.” “Bucin juga ga b**o-b**o amat, ya, Adrian Russel! Kalo segitu sukanya sama Manda ya pepet terus. Ngaku aja suka tapi langsung mundur padahal baru sekali dua kali diusir.” Drian kehilangan kantuknya seketika. Bucin? ulangnya dalam hati. Drian tidak pernah mendengar kata satu itu. Tapi sayang sekali sesuatu dari kalimat Rhea lebih menarik perhatiannya. “Lo jangan sok tau deh, Rhe! Gue kalo masih gangguin dia lagi, Manda ngancem mau pacaran sama ketua OSIS. Gue bisa apa?” “Baru diancem doang! Belum tau ya rasanya nguber-nguber pacar orang? Belum pernah ngerasa p****t sakit abis nyium aspal, jidat bocor, disorakin rame-rame sama satu kampus, dibentak, dimaki-maki. Belum, ‘kan?” Drian terdiam. Mana pernah dirinya sampai se-ngenes itu. “Makanya cepat bangun dan sekolah yang bener. Dia yang nguber-uber pacar orang aja akhirnya bisa nikah. Perjuangan kamu belum seberapa.” Rhea mendengus melihat tubuh bagian atas Drian yang tidak ditutupi apa-apa. Tidak seperti tubuh yang Rhea ingat. Mendekati saja tidak. Rhea berbalik kemudian menyambar handuk untuk kemudian dilemparkan pada Drian. “Tapi siapa dulu nih? Beneran sampe nikah? Ini bukan semacam motivasi biar gue mau sekolah, ‘kan, Rhe?” “Te- tetangga sebelah rumahku,” ucap Rhea tanpa balas menatap Drian. “Sampe punya anak malah. Makanya jangan mau kalah. Cewek yang aku kenal aja bisa ngerebut pacar orang. Kamu juga bisa ngerebut calon pacarnya ketua OSIS.” Rhea sudah berada di ambang pintu ketika ia sadar bahwa dirinya belum selesai. “Kalau Manda bisa pacaran sama ketua OSIS, kamu juga bisa pacaran sama penggerek bendera, pembaca Undang-Undang Dasar, bendahara OSIS atau sekretaris OSIS sekalian. Junioor cewek juga bertebaran dimana-mana.” “Ngapain gue pacaran sama semua yang lo sebutin kalo yang gue suka cuma satu orang? Dan penggerek bendera sekolah kami tiga-tiganya cowok, asal lo tau.” Rhea menunjuk-nunjuk tengkoraknya sendiri, “Susah ngomong sama orang baru bangun tidur,” ucapnya sebelum benar-benar pergi, meninggalkan Drian yang duduk ditengah-tengah ranjang dengan pandangan nanar. Ya, ‘kan, ga harus pacaran beneran gitu loh. Cuma biar Manda cemburu aja. Duh, Drian parah ih begonya. Dua puluh menit kemudian Drian siap untuk berangkat sekolah meskipun Rhea yakin ia akan mendapat masalah karena datang jam segini. Namun begitu setidaknya Drian datang ke sekolah dan mendengarkan penjelasan Ibu atau Bapak Gurunya. Drian melirik pergelangan tangannya ketika Rhea mengulurkan kotak bekal. “Ga ada anak cowok yang datang ke sekolah jam setengah sepuluh pagi dan bawa bekal pula, Rhea Davina Russel.” “Rhea Davina aja! Memangnya kapan aku pernah nyiapin bekal untuk kamu?” tanya Rhea ketus. Ini emosi Rhea sudah sama dengan emosi emak-emak yang cemas jika anaknya tidak bisa lulus sekolah dan menjadi orang yang berguna di masyarakat. “Ini untuk Manda?” “Pinter. Kasih ini ke Manda dan jangan nyoba bikin dia emosi lagi. Setelah dia terima bekalnya langsung puter balik. Paham kamu Adrian Russel?” “Ga elo, ga Manda, ga Zaki, bawaannya emosi mulu sama gue,” gerutu Drian sambil menyambar kotak bekalnya Rhea. Remaja itu hanya tidak pernah menyangka bahwa dengan sebuah bekal makan siang saja, tau-tau nantinya Manda sudah duduk manis di rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN