Rhea 19

1704 Kata
Manda yang sedang meniru gaya juara satu kelasnya disikut oleh teman sebangkunya. “Sst.. Mand,” Gadis itu masih meletakkan kepalanya di atas meja ketika Anya, teman sebangkunya, kembali berbisik. “Ada yang nyari itu.. langganan lo.” Manda mengangkat wajahnya hanya untuk memberikan tatapan mematikan pada teman baiknya itu. “Langganan lo bilang? Kaya gue buka warung aja,” ucap Manda sebelum memberikan tatapan yang sama pada satu orang yang sama menyebalkannya dengan Anya. Adrian Russel sangat menyebalkan sehingga Manda tidak ingin berurusan dengannya tapi juga tidak ingin pria itu mengalihkan perhatiannya pada perempuan selain dirinya. Complicated? Begitulah adanya. Manda berjalan menuju jendela kelasnya padahal Drian berdiri di ambang pintu. Mau tidak mau Drian tentu mendekati jendela pada bagian luar. Sekarang keduanya sudah berhadap-hadapan dengan sebuah dinding sebagai penghalang. “Kamu gangguin aku lagi minggu depan aja, Yan.” “Loh kenapa? Aku belum ngomong sepatah kata pun tapi kamu udah langsung ngusir. Ngusirnya ga tanggung-tanggung sampe seminggu pula,” kata Drian yang biasanya hanya diusir dari kelas Zaki tapi tiba-tiba diusir sampai tujuh kali dua puluh empat jam ke depan. Manda menghela napas. Ia sedang dalam masa haid dan hal itu membuatnya kesal pada mantan pacarnya ini. Pokoknya Manda yang saat ini halangan dan berhadapan dengan Drian jadi teringat kembali bagaimana teganya Drian pada Kakaknya sendiri hari itu. Manda menolak menggunakan k********r atau kejam karena Drian tidak melakukan hal yang menyebabkannya pantas mendapat kata tersebut. Dia hanya akan bertahan di kata ‘tega’. Kamu pasti tau maksudnya bukan? “Ya, udah, nih.” Drian kembali bersuara sambil mengulurkan kotak bekal titipan Rhea pada Manda. Ia juga teringat dengan pesan terakhir Rhea padanya. Bahwa ia harus langsung putar balik setelah Manda menerima bekalnya. “Ini apa?” “Ga tau. Rhea yang bikin.” “Kok dikasih ke aku?” “Masa dikasih ke ketua OSIS?” ucap Drian sambil berbalik dan meninggalkan mantan pacarnya begitu saja. Yang dia kira Manda tidak mendengar apa pun tapi cowok itu justru salah besar. Celetukan Drian tentang ketua OSIS dan kiriman makanan dari kakaknya membuat mood Manda tiba-tiba membaik. Mumpung jam pelajaran kosong, gadis itu langsung kembali ke tempat duduknya dan membuka bekal buatan Kak Rhea. Jangan pikirkan apa yang teman-temannya pikirkan tentang hubungan Manda dan Drian. Semua orang sudah pada maklum. Putus, nyambung hubungan sepasang kekasih di sekolah, satu angkatan pasti tau. “Idih.. dikasih surat,” goda Anya dan merampas selembar kertas tersebut dari teman sebangkunya. “Selamat makan, Manda. Semoga kamu ga ikut-ikutan marah sama Kakak?,” ucap Anya dengan nada tanya di kata terakhir yang ia ucapkan. “Ini surat bukan dari Adrian,” ucap Anya kemudian mengembalikan kertas tersebut pada pemiliknya. Anya bersyukur karena tidak mendapat cubitan mautnya Manda ketika ia mengembalikan surat tersebut. Manda membaca tiap kata yang Kak Rhea tuliskan kemudian melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam kantong seragam. Setelahnya ia tidak lagi bicara pada Anya. Sepanjang hari ia juga tidak melihat Drian berkeliaran. Bukan berarti Drian selalu berkeliaran di sekitarnya. Hanya saja teman baik pria itu adalah teman sekelasnya Manda sehingga Drian cukup sering datang ke kelas. Kalau bukan untuk Manda ya untuk Zaki. >>> Rhea memeluk Ibuk dengan erat. Hari ini adalah hari dimana ia bisa bertemu Ibuk dengan kedok belanja. Meski tidak bisa memeluk beliau selama yang ia inginkan, Rhea tetap bersyukur bisa memeluk Ibuk walau sebentar saja. Tapi sebagai gantinya, Rhea akan menemani Ibuk keliling pasar. Mereka selalu punya waktu yang menyenangkan saat berdua seperti ini. Rhea sedang mendengarkan rencana Ibuk untuk makan malam ketika matanya menangkap sebuah kemeja. Tidak ada yang spesial tentang kemeja itu tapi Rhea tau satu hal. Pakaian itu akan terlihat spesial jika Bapak yang memakainya. Makanya sebelum Ibu naik angkot untuk pulang, Rhea menarik beliau ke dalam toko pakaian tersebut. “Untuk suami?” goda Ibuk pada Rhea atau yang sekarang berpura-pura menjadi Alesha. “Ngga, Buk. Buat Bapak. Tapi Ibuk jangan bilang ini dari aku ya.. Bapak ga suka sama aku.” “Eh ga usah. Bapak bisa beli sendiri kok, kamu udah sering banget beli-beliin Ibuk. Masa Bapak juga dibeliin. Suami kamu ga nanya kemana uang bulanan kalian?” “Engga,” ucap Rhea pendek. Kemudian senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Suami aku ga banyak protes asalkan lauk di rumah ga mondar mandir di antara tahu ama tempe juga ikan teri,” kikiknya. Rhea dalam posisi sangat sadar bahwa Adrian Russel yang bersamanya saat ini bukan lah suaminya. Hanya saja komentar Drian yang paling baru tersebutlah yang langsung teringat olehnya. Ibuk membiarkan Ale memilih baju. Ekspresi wajahnya tampak bahagia sekali padahal wanita muda itu tidak memilihkan baju untuk Ayahnya juga bukan untuk suaminya. Namun demikianlah ekspresi yang ia lihat. Sekarang keduanya sudah berdiri di depan angkot yang sedang ngetem. Menunggu penuh sebelum berangkat dan Alesha seperti biasa belum akan beranjak jika dirinya sudah pergi bersama angkot. Ale sudah menaruh belanjaan Dela di dalam angkot namun dia tidak mengizinkan Dela untuk duduk di dalam angkot. Panas, begitu katanya. Sekarang mereka sedang duduk sambil meminum es kelapa muda. “Ibuk mau beli apa nih? Aku beliin Bapak tapi ga ngasih Ibuk apa-apa.” “Ibuk udah ga butuh apa-apa,” ucap Dela dengan senyum tulusnya. “Jangan sungkan-sungkan sama aku, Buk.” “Ibuk udah ga bisa sungkan sama kamu Ale,” kekeh Dela. Keduanya tertawa kemudian menikmati kebisingan dengan segarnya es kepala muda. Dela menoleh pada Alesha yang sedang memperhatikan seorang wanita dan putrinya. Ale tersenyum melihat bagaimana wanita itu kerepotan membawa belanjaan sementara putrinya yang baru bisa berjalan terlihat sangat aktif. “Ibuk boleh tanya ga?” “Tanya aja langsung, Buk.. ga usah ijin-ijinan segala.” Kini Rhea kembali menatap pada Ibuknya. “Cucu Ibuk udah umur berapa?” Rhea tidak bisa menjawab pertanyaan barusan. Cucu Ibuk, begitu ucap sang Ibu yang tidak pernah bisa bertemu cucunya. Rhea juga terlalu paham bahwa Ibuk sedang menanyakan putri Alesha yang bukan siapa-siapa baginya. Tapi pemilihan kata Ibuk membuat seolah-olah beliau tau bahwa Rhea adalah Rhea-nya. “Beberapa bulan yang lalu waktu awal-awal kita kenal, pakaian kamu basah. Ibuk langsung tau kalau kamu adalah Ibu muda yang masih menyusui anaknya.” Rhea kembali meneguk ludahnya kasar. “Ib- Ibuk lihat d**a aku basah?” “Ga terlalu kelihatan. Cuma kalau bener-bener diperhatikan baru ketahuan. Kalau Ibuk memang selalu perhatiin kamu. Soalnya kamu mirip banget sama Rhea. Semua tentang kamu.” .. Rhea masih tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Ia juga kembali mengalihkan pandangan dari Ibuk. Saat dirinya merasa siap, Rhea menatap wanita yang melahirkannya itu dengan tangis yang siap pecah kapan saja. “Buk, anakku.” Rhea memejamkan kedua matanya. Melihat wajah Ibuk dengan pengakuan yang akan ia ucapkan adalah hal yang paling berat untuk dilakukan. “Anakku sudah ga ada, Buk,” ucapnya dengan nada yang lebih terdengar seperti bisikan. Hal yang selama ini, setiap malamnya, Rhea pendam sendiri akhirnya keluar juga dan tidak tanggung-tanggung, orang pertama yang mengetahui hal tersebut adalah Ibuk. Seorang pun tidak perlu mengatakan betapa tidak becus dan tidak bertanggungjawabnya Rhea pada putrinya sendiri. Karena dia bisa mengetahui hal itu tanpa harus diberitahu. Dan yang tidak akan pernah bisa dimengerti oleh semua orang sekalipun oleh Ibu-Ibu yang pernah kehilangan anak mereka adalah bagaimana Rhea tidak bisa melihat juga memeluk jasad putrinya. Karena mungkin hal gila ini hanya terjadi pada hidup Rhea seorang. Matahari semakin terik dan tidak ada tanda-tanda angkot yang mereka tunggui akan penuh dalam waktu cepat. Sementara itu Rhea menumpahkan segala tangisnya di pelukan sang Ibuk. Sedangkan Dela, wanita itu langsung meraih Ale dan membawa wanita muda itu ke pelukannya selain untuk mencoba menenangkan Ale, hal tersebut juga ia lakukan untuk dirinya sendiri. Karena Dela adalah seorang Ibu yang juga sudah kehilangan putrinya. Mungkin, mungkin akan lebih baik jika polisi bisa menemukan mayat Rhea. Sehingga Dela punya tempat yang bisa ia kunjungi ketika rindu mendera. Tempat bernama makam. Terisak sejadi-jadinya, Rhea menarik Ibuk semakin dekat padanya. Karena semakin lama dia menghidu wangi wanita tersebut seharusnya Rhea merasa semakin tenang. Tapi kenyataannya ia hanya menyakiti Ibuk. Makanya walaupun enggan, dia akhirnya melerai pelukan dan menghapus jejak air mata di pipi beliau. Dulu Rhea pernah berpikir jika ia kehilangan Adrian, kehilangan Alesha dan kehilangan semua cerita mereka. Semua itu setimpal karena ia mendapatkan Ibuknya kembali. Tapi Rhea salah. Diam-diam wanita itu menginginkan semuanya. Ibuk, Bapak, Drian, Alesha dan hidupnya yang lama. “Ibuk jadi ikut-ikutan nangis,” ucap Rhea yang sudah kembali pada mode cerianya. Rhea masih punya beberapa hal untuk dikatakan pada Ibuk seperti permintaan maaf karena pelukannya barusan hampir membuat Ibuk remuk, meminta Ibuk untuk tidak perlu memikirkan dan jangan ikutan sedih karena Rhea tau Ibuk juga punya masalahnya sendiri tapi angkot yang mereka tunggui sudah menekan klaksonnya berkali-kali sehingga Ibuk harus cepat-cepat pulang. >>> “Kakak kenapa?” Rhea mengangkat wajahnya dan menemukan Manda di depan rumah. Melirik kiri-kanan, ia tidak menemukan adanya motor Drian di rumah. “Kamu datang ga ngasih tau Drian?” tanya Rhea yang masih larut dalam pikirannya. Entahlah, Rhea merasa dirinya belum siap untuk menjadi Kakaknya Adrian Russel dan berurusan dengan Manda. Malah kalau bisa, ia ingin Manda pulang saja. Jika ia datang besok, Rhea mungkin bisa memperlakukannya lebih baik dari ini. Manda menggaruk tengkuknya. Bingung harus menjawab apa. “Aku, ‘kan, udah putus sama dia,” ucap Manda pada akhirnya. “Jadi kamu ga datang kemari karena pengen ketemu Drian?” tanya Rhea skeptis yang dijawab terlalu cepat oleh Manda. “Engga lah.. enak aja.” “Dan ini adalah bagian yang juga paling ga masuk akal di cerita ini,” gumam Rhea pada dirinya sendiri. Entah Manda ini sedang berpura-pura untuk mendapatkan perhatiannya, perhatian Kakak kandungnya Adrian Russel lebih tepatnya, atau justru dirinya memang beginilah dirinya yang sebetulnya. “Ayo masuk, Mand. Ini ada martabak,” ucap Rhea yang sedang membuka pintu rumah. Dan wanita itu tidak sadar bahwa dirinya juga adalah bagian yang sangat konyol dalam cerita ini karena menawarkan martabak dari Ibuk untuk dimakan oleh Manda. “Kakak habis belanja?” “Hm..” “Besok-besok ajak aku ya,” pinta Manda yang suaranya makin kecil karena mereka sudah masuk ke dalam rumah. “Katanya kamu udah putus sama Drian.” “Aku, ‘kan, cuma mau nemenin Kakak belanja. Bukan nemenin adik Kakak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN