Rhea 30

1595 Kata
Rhea tidak pernah memeluk Shaqeel seerat ini apalagi sejak tiga tahun belakangan predikat menyebalkan sudah tersemat pada saudaranya ini. Tapi Shaqeel memberikannya sesuatu yang sangat penting bagi Rhea. Sesuatu yang bisa membuktikan bahwa ia tidak gila seperti yang semua orang katakan. Meski bukan pada semua orang, setidaknya Rhea bisa membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dirinya tidak gila. Semua yang ia alami empat belas bulan tepatnya sepuluh tahun yang lalu adalah nyata. Karena tempat ia berdiri saat ini pun lebih dari sekedar nyata. Rhea bahkan bisa mendengar suara bayi perempuan ini memanggil-manggil namanya. Dan hal tersebut hanya membuat tangisnya semakin menjadi-jadi. Rhea tidak peduli bahwa saat ini ia membasahi baju Shaqeel. Sedangkan Shaqeel yang tidak tau bahwa alasan kenapa Rhea sangat menginginkan apartemen ini ada hubungannya dengan masa lalu saudaranya itu, hanya bisa membalas pelukan Rhea. Tidak ada cara menghentikan wanita ini menangis karena Rhea Davina hanya akan berhenti menangis saat dia sendiri merasa cukup. Selalu seperti ini sejak Mama pertama kali membawanya ke rumah. Rhea menatap malu-malu Dokter Sonia yang pasti datang untuk mengecek keadaannya. Bagaimana tidak malu karena Rhea begitu heboh saat mengetahui bahwa dirinya harus dioperasi. Operasi? Disuntik saja Rhea tidak mau. Jika ada yang bisa dokter berikan padanya, itu adalah obat telah yang bisa membantu gadis itu menahan rasa sakit. Tapi tidak, beliau malah marah-marah karena Rhea yang berpikir ia bisa mengatur segalanya. Om Drian yang tidak pernah memarahinya sejak kejadian terakhir di tempat les yang juga merupakan hari terakhirnya les juga ikutan marah. Kedua orang dewasa itu sempat-sempatnya marah pada Rhea yang saat ini menahan sakit. Tapi ternyata Dokter Sonia aslinya tidak galak. Dia justru sangat sering mengecek keadaan Rhea setelah operasi selesai dilakukan. Kata beliau, Rhea dengan rambut ombrenya adalah gadis paling cantik yang pernah dilihatnya dan sangat ingin membawa Rhea pulang. Tapi sayang sekali Rhea punya Om yang galak. “Om Drian kok belum datang, ya, Dok?” Pertanyaan Rhea simpel. Tapi pertanyaan tersebut membuat Dokter Sonia berpikir lama. Rhea terus mengoceh bahwa ia terus merasa sakit pada bekas operasinya. “Bukan sakit yang sakit banget tapi kalo ingat Dokter Sonia membedah tubuh aku disana, tiba-tiba aja aku kaya bisa ngerasain sakit,” terang gadis penuh drama kita. Sedangkan Dokter Sonia yang tidak merasa pernah melakukan tindakan pada gadis dengan warna rambut yang pertama kali ia lihat ini, yang bahkan artis ibukota saja tidak pernah memiliki rambut dengan warna demikian langsung mengecek bekas operasi Rhea. “Kenapa remaja ini bisa ada di rumah sakit kita dengan bekas operasi tapi kita tidak punya datanya?” tanya Sonia pada perawat bagian penerima pasien yang harusnya paling mengetahui semua data pasien rumah sakit mereka. Hal itu membuat Sonia enggan mengalihkan perhatiannya dari Rhea. Pada gadis yang jujur saja sudah mendapatkan perhatiannya sejak kali pertama Rhea menunjukkan senyum polos berikut ocehannya. Sonia memastikan Rhea untuk tidak merasa kesakitan apalagi ternyata gadis itu lebay. Setiap kali berkunjung, Rhea akan menanyakan apakah Dokter Sonia akan menyuntiknya. Karena jika jawaban sang Dokter adalah iya, Rhea berkata agar Dokter Sonia balik kanan saja. Keduanya menjadi sangat dekat karena kalimat demi kalimat asal yang Rhea lontarkan sampai pada akhirnya Sonia harus berpisah dengan gadis favoritnya di rumah sakit karena Rhea sudah tidak memiliki keluhan apa pun. Pada titik ini, Sonia memilih untuk mempercayai bahwa ia lupa pada pasiennya sendiri. Rumah sakit juta sepertinya terlalu sibuk sampai lupa meminta data Rhea. Yang mana sebetulnya adalah mustahil. “Om Drian ga jemput, Dok?” tanya Rhea dengan wajah cemas. Terakhir kali Om Drian pergi, beliau berkata bahwa akan kembali sebelum Rhea bahkan sadar bahwa pria itu pergi. Meskipun tidak mengerti apa kalimat Papanya Ale tersebut, Rhea mengangguk. Karena kasihan melihat Alesha yang tampak tidak nyenyak tidurnya dan saat terjaga pun balita itu tidak nyaman di tempat ini. Tapi sampai sekarang Om Drian tidak pernah muncul. Hanya Dokter Sonia yang selalu menemaninya. Saat itulah Dokter Sonia mengaku bahwa ia tidak mengenal siapa Om Drian yang selalu Rhea bicarakan. Mereka juga tidak punya kontak Om-nya Rhea. Dan kebetulan sekali Rhea tidak membawa ponsel bersamanya sehingga hal tersebut membuat mereka kesulitan untuk menghubungi Om Drian. “Terus gimana caranya aku pulang, Dok? Gimana cara pesan taxsi online?” Dokter Sonia tidak terlalu mempedulikan satu kata terakhir yang ada pada kalimat tanya Rhea barusan. Dia berjanji untuk mengantarkan Rhea pulang. Hanya saja Rhea harus menunggunya selesai bekerja. Keanehan baru terjadi saat Dokter Sonia mengemudikan mobilnya ke arah yang Rhea tunjukkan. Bukan fakta bahwa Rhea mengetahui jalan-jalan tikus dengan baik tapi karena lama ke lamaan mereka justru menuju kompleks apartemen yang baru dalam tahap pembangunan. Dan persis seperti dugaan Sonia, mereka memang baru berhenti di depan bangunan tinggi yang baru ada kerangka bangunannya saja. Rhea keluar dari mobilnya dengan buru-buru hanya untuk masuk ke kawasan proyek yang langsung saja dicegah oleh Sonia. Awalnya gadis itu bertanya kenapa apartemennya menghilang, dia juga menjelaskan bahwa bangunan yang ada di depan mereka saat ini, aslinya tidak terlihat seperti sekarang. Yang mena tentu saja membuat Sonia semakin bingung. Kemudian Rhea berucap tentang kembali. Sonia tidak mengerti makna dari Rhea yang kembali, yang ia pedulikan adalah dimana ia bisa meninggalkan anak ini karena tempat yang mereka tuju bahkan belum bisa dihuni. “Dokter Sonia boleh pergi sekarang. Aku akan cari cara pulang sendiri,” ucap Rhea yang tidak tega harus membuat Dokter baik hati itu mengantarnya ke rumah Bapak dan Ibuk yang jelas-jelas berlawanan arah dengan tempat di mana mereka berdua sedang berdiri. Namun begitu Dokter Sonia dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak akan meninggalkan Rhea dan baru bisa istirahat dengan tenang setelah memastikan bahwa Rhea sudah pulang ke rumahnya, Rhea begitu lega. Karena jujur saja, ia tidak tau bagaimana caranya pulang saat tidak ada ponsel bersamanya, dan juga tidak ada uang sepeserpun di kantong pakaiannya. Tunggu, pakaiannya bahkan tidak memiliki kantong. Berbeda dengan Dokter Sonia yang sudah mulai merasakan keanehan sejak menuju lokasi proyek pembangunan apartemen, Rhea justru baru merasakan keanehan tersebut saat akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di depan rumah yang ia kenal dengan terlalu baik. Tidak ada orang di rumah. Lampu bahkan tidak ada yang nyala padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sebanyak apapun Rhea memanggil, tetap saja tidak ada yang menyahut karena rumah tersebut sudah tidak memiliki penghuni. Rhea baru mengetahui hal tersebut setelah ia mengetuk pintu tetangganya. Ekspresi yang tetangganya berikan saat menemukan Rhea lah yang mengetuk pintu rumahnya adalah pucat pasi. Seperti melihat hantu. Bagaimana tidak pucat jika remaja yang hilang sejak hampir enam tahun yang lalu berdiri dengan utuh dan sehat di depannya. Dan Rhea tidak terlihat seperti orang yang berada dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) selama bertahun-tahun karena penampilannya menujukkan hal yang sebaliknya. “Ibuk, Bapak sama Tante, kemana ya, Mak?” tanya Rhea pada Mak Tati. “Anakku,” ucap Mak Tati sambil memeluk Rhea yang masih terlihat seperti kali terakhir wanita tua itu melihat gadis itu jajan di warung miliknya. Terasa seperti kemaren karena Rhea sama sekali tidak terlihat berubah padahal nyaris enam tahun berlalu. Pelukan Rhea semakin kencang seolah ia ingin mengubur dirinya pada Shaqeel. Wanita itu teringat ucapan Mak Tati yang juga sudah tiada sejak satu tahun lalu. Bahwa semua keluarganya telah meninggal dunia satu tahun sebelum mereka bertemu malam itu. Rhea ingat dirinya mengamuk dalam pelukan wanita tua itu yang membuatnya menyakiti beliau. Tidak ada satupun kalimat dari Mak Tati yang masuk akal bagi Rhea. Kenapa Bapak, Ibuk dan Tantenya meninggal saat belum waktunya bagi mereka untuk meninggal? Kenapa Mak Tati mengatakan bahwa enam tahun berlalu sejak Rhea menghilang karena Rhea tidak bodoh untuk mengetahui bahwa ia hanya bersama Om Drian dan Ale selama empat belas bulan saja. Keluarganya berakhir tragis. Ibuk yang meninggal karena tubuh beliau makin lama makin kurus, banyak pikiran dan sakit-sakitan. Tante yang menyusul Ibuk tidak lama kemudian. Lalu Bapak dengan duka karena kematian istri tercinta mencoba untuk terus menghidupkan harapan bahwa putri malangnya masih ada di luar sana karena polisi tidak pernah menemukan amayat Rhea memuskan untuk terus mencari. Bapak bergabung dengan tim SAR dan juga berakhir tewas saat mencoba menyelamatkan orang. Rhea tidak gila karena mengalami semua yang orang pikir mustahil dialaminya. Tapi gadis itu benar-benar gila mendengar apa yang menimpa keluarga kecilnya yang harusnya bahagia. Rhea depresi selama dua tahun penuh. Saat ia mendapatkan kesadarannya kembali, dia mengetahui bahwa dirinya berada di tengah-tengah orang gila. Rhea tidak tau kenapa dirinya berakhir di rumah sakit jiwa. Mungkin Pak RT dan warga setempat yang memasukkannya kesana dan hal itu bisa dimaklumi karena Rhea tidak punya sanak saudara yang bisa mengurusnya lagi. Tapi kemudian suatu hari Dokter Sonia dan putranya muncul di depan Rhea yang setiap hari hanya menatap gerakan pelan awan. Atau jika cuaca tidak bersahabat baka ia akan menatap tetesan hujan dalam diam. “Ayo pulang! Tapi sebelum itu kenalan dulu sama Abang,” ucap Dokter Sonia hari itu sehingga Rhea yang biasanya tidak bicara sepatah kata pun bahkan pada orang gila yang mencakar lehernya dan membuatnya kesakitan menjadi bisa berteriak kesal seperti siang ini ketika Shaqeel lagi-lagi mengerjainya. “Are you okay?” tanya Shaqeel yang mengangkat Rhea sehingga wanita itu melingkarkan kakinya di sekeliling pinggang sang youtuber. Interaksi yang tidak seorang pun pikirkan bisa terjadi di antara keduanya. Tidak para penggemar Shaqeel apalagi Sonia. Aparteman yang ia hadiahkan pada Rhea benar-benar kosong. Shaqeel bukan tidak mau mengeluarkan uang lebih untuk Rhea. Ia tau bahwa Rhea akan jauh lebih bahagia jika wanita itu sendiri yang memenuhi apartemen impiannya. Karena tidak ada tempat duduk, Shaqeel berjalan menuju jendela besar yang sedang menampilkan pemandangan kota di malam hari. Pria itu duduk bersandar pada kaca sedangkan di atas pangkuannya ada Rhea yang masih menangis dengan punggungnya diusap-usap oleh sang abang angkat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN