Raya membaringkan tubuhnya di atas kasur empuknya. Setelah menunggu berjam-jam, ia dan Zio malah tidak jadi jalan-jalan karena acara meeting Zio lebih panjang dari pada yang ia kira. Raya lebih memilih pulang dari pada menunggu Zio yang entah kapan selesainya.
Raya bergegas mengganti bajunya dengan baju santai. Sesaat ia terdiam menatap pantulan dirinya di cermin, ada bercak merah keunguan di lehernya walaupun tidak terlalu kontras. Mahakarya Zio yang membuat Raya meringis mengingat kejadian tadi.
"Aku rasa ini terlalu jauh," gumam gadis itu.
Raya meraih sebuah foundation miliknya yang ada di meja riasnya, memoleskan dan meratakannya pada beberapa titik yang terdapat tanda kemerahan itu untuk menutupinya.
Setelah merasa semua aman dan tertutup, Raya keluar dari kamarnya untuk ke supermarket di gang depan. Ibunya dan Dela belum pulang. Ibunya mungkin masih bekerja, karena akhir akhir ini ibunya bekerja dengan random shift. Aneu adalah salah satu pelayan di sebuah restoran besar. Jika gajinya tidak banyak, maka Aneu tidak mau bekerja di sana dengan shift yang berubah-ubah.
Raya mengambil keranjang belanjaan lalu menyusuri lorong tempat makanan ringan. Gadis itu mengambil beberapa bungkus makanan ringan dan beberapa minuman dingin. Lalu Raya beralih pada lemari eskrim. Gadis itu tersenyum sambil mengambil beberapa bungkus eskrim. Setelah selesai, Raya membayarnya dan ia pergi ke taman yang ada di sebrang jalan.
Raya memperhatikan beberapa anak kecil yang tengah bermain sambil berjalan menuju bangku di dekat air mancur. Sesekali tertawa saat balita berwajah lucu itu terjatuh saat hendak mengambil bola. Saking fokusnya, Raya sampai tidak menyadari bahwa di depannya ada orang dan ia menabraknya hingga eskrimnya jatuh mengenai baju orang itu.
Raya tersentak kaget, ia menjatuhkan kantung belanjaannya lalu meraih tisu yang ia beli dan mengusapkannya pada baju orang itu yang kotor karena ulahnya. "Duh, maaf ya saya nggak sengaja," ucap Raya merasa bersalah.
"Nggak pa-pa, Raya."
Raya mendongak, matanya membulat. "Adi? Aduh, sorry banget baju lo jadi kotor gini."
Adi terkekeh, cowok itu menarik Raya untuk duduk di bangku di belakangnya, tak lupa
mengambil barang belanjaan Raya.
Adi adalah teman sekelas Raya.
"Nggak pa-pa, ini sedikit kok. Sorry juga eskrim lo jadi jatuh," ujar Adi seraya mengelap bagian kotor di bajunya.
"Aduh, ini bukan soal eskrim, baju lo kotor, biar gue cuciin sini."
"Nggak usah. Gue nggak mau balik telanjang," ucap Adi.
Raya menggaruk kepalanya kikuk.
"Lo habis dari mana?" tanya Adi.
"Dari supermarket." Raya membuka pelastik belajaannya, mengeluarkan satu minuman lalu menyodorkannya kepada Adi. "Nih, sebagai tanda permintaan maaf gue karena udah bikin baju lo kotor."
Adi tersenyum lalu menerimanya. "Thanks."
Raya mengangguk, ia mengambil satu buah eskrim lagi rasa coklat lalu membukanya. "Lo sendiri ngapain di sini? Ini bukan daerah tempat tinggal lo, ‘kan?" tanya Raya.
Adi mengangguk. "Cuma main-main aja. Seharian gue di warnet deket sini terus mampir ke sini sebelum pulang, eh nggak taunya ketemu sama lo di sini," ujarnya.
Adi menaruh botol minuman itu di sampingnya, ia kemudian menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dan menengadahkan kepalanya dan menutup mata. Cowok itu menikmari embusan angin yang menyapu permukaan wajahnya.
Raya mengamati Adi dari samping.
Setelah tiga tahun ia satu kelas dengan cowok itu, baru kali ini Raya ngobrol dengan Adi selama dan sedekat ini. Biasanya di sekolah mereka hanya bertegur sapa singkat atau berbicara seperlunya saja.
"Adi, gue balik dulu ya," ucap Raya.
Adi merubah posisinya seperti semula. "Mau gue anter?"
Raya menggeleng. "Nggak usah. Deket kok. Bye!"
Adi mengangguk, menatap Raya yang mulai menjauh darinya.
***
Zio melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Ia baru pulang menjelang magrib karena ada beberapa pekerjaan dadakan yang harus segera ia tangani. Dilihatnya kedua orangtuanya sedang bercengkrama di ruang keluarga.
"Baru pulang, Zi?" tanya Fabrio seraya menaruh iPad yang semula dipegangnya.
Zio mengangguk lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa. Tubuhnya lelah dan pikirannya lelah. "Zio?"
Mendengar suara maminya yang terdengar menjengkelkan, Zio menebak bakalan ada
sesuatu yang akan terjadi. Seperti adu mulut seperti biasa misalnya.
"Tadi Kelly datang ke Mami sambil nangis. Kamu bisa nggak sih bersikap baik sama Kelly? Nanti kalo orangtuanya tau, Mami bisa malu," ujar Ely jengkel.
Nah ‘kan!
"Mi, Zio capek. Itu dibahas nanti lagi aja," ucap Zio masih dengan mata tertutup.
"Nggak bisa, Zio. Kamu keterlaluan. Dan apa yang Kelly bilang itu bener? Kamu pacaran sama anak SMA?"
Fabrio menoleh terkejut ke arah istrinya itu.
"Iya, Pi! Mami nggak habis pikir sama anakmu itu," ucap Ely, peka terhadap tatapan suaminya. "Tinggalkan perempuan itu dan perpacaranlah dengan Kelly!"
Zio membuka kedua matanya. "Zio nggak akan pernah mau!"
"Kamu membantah ucapan Mami, Zio?"
Zio menegakkan tubuhnya. "Mi, Zio berhak atas hidup Zio, dan Mami nggak perlu ngatur-ngatur hidup Zio. Dan asal Mami tau, Zio nggak akan pernah ninggalin dia hanya karena permintaan Mami!"
"Zio! Tinggalin dia atau Mami bertindak lebih?" ancam Ely, tentu saja wanita itu tidak main- main dengan ucapannya.
"Mami!" tegur Fabrio, berharap istrinya berhenti bersikap keras.
"Jangan kira Zio takut sama ancaman Mami. Mi, Zio nggak pernah sesayang ini sama perempuan asal Mami tau, dan Raya adalah perempuan pertama yang membuat Zio bisa ngerasa nyaman hanya dengan sebuah senyuman saja," ujar Zio menatap Ely, berharap kbunya itu mengerti dirinya, mengerti hatinya.
"Secantik apa dia sampai-sampai kamu nggak bisa lihat Kelly yang jelas lebih segala- galanya dibanding perempuan itu?" tanya Ely sarkatis. "Dia hanya gadis SMA, Zio, sedangkan Kelly lebih cantik dan lebih berpendidikan."
Zio tersenyum kecil. "Zio nggak nyari pendamping yang harus punya pendidikan tinggi," ucapnya. "Mami jangan ngehalangin hubungan Zio lagi. Karena semakin Mami berusaha mengahalangi Zio, maka Zio akan semakin membangkang Mami."
"Zio! Mami bisa bertindak lebih jika kamu terus membantah ucapan Mami!" bentak Ely.
"Mi, udah!" lerai Fabrio yang sedari tadi diam.
"Maaf, Mi, kalo urusan ini Zio nggak bisa. Zio akan tetap memperjuangkan Raya walau
Mami menghalangi jalan Zio," ujar Zio, pria itu kemudian berdiri.
Ely berdiri dengan wajah merah penuh emosi. "PERGI DARI RUMAH INI ATAU
TURUTIN SEMUA APA KATA MAMI?!"
Fabrio membulatkan matanya. "Mami!" tegurnya, suaranya sedikit membentak. "Masuk ke kamar, Zio."
Zio berdiri lalu menyeret kedua kakinya masuk ke dalam kamarnya.
"Kamu apa-apaan sih, El?"
"Dia membantah ucapanku, Pi. Mami ngelakuin ini karena Mami mau yang terbaik buat Zio. Dua sudah berumur dan sudah sepantasnya dia menikah bukan main-main dengan gadis SMA," ujar Ely masih dengan emosi yang menguasai dirinya.
Tak lama kemudian, Zio turun dengan menyeret sebuah koper berwarna hitam juga tas ransel yang disampirkan di bahu kanannya.
"Zio," ucap Fabrio.
"Ini kan yang Mami mau?" Zio memajukan sedikit kopernya. "Zio pamit."
Tanpa menunggu ucapan kedua orang tuanya, Zio bergegas keluar dan memasukkan kopernya ke jok penumpang. Ia sudah berjanji akan bersama Raya. Dan ia akan memperjuangkan Raya sekarang. Zio tidak peduli apa pun, ia sudah bisa menebak jika hal ini akan terjadi.
***